Gerakan budaya bebasGerakan budaya bebas adalah gerakan sosial yang menggalakkan kebebasan untuk mendistribusikan dan memodifikasi karya kreatif orang lain dalam bentuk konten bebas[1] atau konten terbuka[2][3] tanpa adanya kompensasi atau persetujuan dari pencipta asli karya tersebut, dengan memberdayakan Internet dan bentuk media lainnya. Gerakan tersebut menolak sesuatu yang dianggap terlalu membatasi dalam undang-undang hak cipta. Banyak anggota gerakan tersebut berpendapat bahwa undang-undang semacam itu menghambat kreativitas.[4] Mereka menyebut sistem ini "budaya izin", yakni suatu istilah yang disuarakan oleh Lawrence Lessig dan aktivis hak cipta lainnya.[5] Gerakan budaya bebas dengan etos pertukaran ide yang bebas, selaras dengan gerakan-gerakan terbuka lainnya, seperti gerakan perangkat lunak bebas dan sumber terbuka (free and open-source) serta gerakan dan filosofi lain seperti akses terbuka (OA), budaya remix, budaya peretas, gerakan akses terhadap ilmu pengetahuan, gerakan copyleft dan gerakan domain publik. PengertianPada periode 2005/2006 dalam gerakan budaya bebas, Creative Commons dikritik oleh Erik Möller[6] dan Benjamin Mako Hill karena kurangnya standar minimum untuk kebebasan.[7] Berikutnya, "Definisi Karya Budaya Bebas" dibuat sebagai hasil kolaboratif dari banyak orang, termasuk Erik Möller, Lawrence Lessig, Benjamin Mako Hill dan Richard Stallman. Kemudian, pada Februari 2008, beberapa lisensi Creative Commons "disetujui untuk karya budaya bebas", yaitu "CC BY" dan "CC BY-SA" (kemudian juga CC0).[8] Lisensi Creative Commons dengan pembatasan penggunaan komersial atau karya turunan tidak disetujui. Pada Oktober 2014, Open Knowledge Foundation menjelaskan definisi mereka tentang "terbuka", untuk konten terbuka dan pengetahuan terbuka, sebagai sinonim dengan definisi "bebas" dalam "Definisi Karya Budaya Bebas", mencatat bahwa keduanya berakar pada "Definisi Sumber Terbuka" dan Definisi "Perangkat Lunak Bebas".[9] Oleh karenanya, tiga lisensi Creative Commons yang sama direkomendasikan untuk konten terbuka dan konten bebas, yakni "CC BY", "CC BY-SA", dan "CC0".[10][11] Open Knowledge Foundation mendefinisikan tiga lisensi tambahan, khusus untuk data dan database yang sebelumnya tidak tersedia, yakni Open Data Commons Public Domain Dedication and License (PDDL), Open Data Commons Attribution License (ODC-BY) dan Open Data Commons Open Database License (ODbL). SejarahPeloporPada akhir 1960-an, Stewart Brand mendirikan Whole Earth Catalog dan berpendapat bahwa teknologi dapat membebaskan daripada menindas.[12] Pada 1984, Ia menciptakan slogan "Informasi ingin dibebaskan"[13] untuk menentang pembatasan akses informasi oleh kendali pemerintah, yang mencegah informasi terhadap domain publik.[14] Latar belakangPada tahun 1998, Kongres Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Perpanjangan Jangka Waktu Hak Cipta Sonny Bono yang ditandatangani Presiden Bill Clinton menjadi undang-undang. Undang-undang tersebut memperpanjang perlindungan hak cipta selama dua puluh tahun tambahan, sehingga total jaminan jangka waktu hak cipta tujuh puluh tahun setelah kematian pencipta. RUU tersebut sangat dilobi oleh perusahaan musik dan film seperti Disney dan dijuluki sebagai Undang-Undang Perlindungan Mickey Mouse. Lawrence Lessig mengklaim hak cipta merupakan hambatan bagi penciptaan karya budaya, berbagi ilmu pengetahuan, inovasi tentang teknologi dan bahwa kepentingan pribadi (kebalikan dari kepentingan publik) yang menentukan hukum.[15] Pada tahun 1998, Ia berkeliling Amerika dengan memberikan ratusan pidato dalam setahun di kampus-kampus dan memicu adanya gerakan tersebut. Hal ini mengarah pada pembentukan cabang pertama dari Pelajar untuk Budaya Bebas di Swarthmore College. Pada tahun 1999, Lessig menentang Undang-Undang Bono dengan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Terlepas dari keyakinannya pada kemenangan, mengutip bahasa sederhana Konstitusi tentang ketentuan hak cipta "terbatas", Lessig hanya memperoleh dua suara yang tidak setuju, yakni dari Hakim Stephen Breyer dan John Paul Stevens. Pendirian Creative CommonsPada tahun 2001, Lessig memprakarsai Creative Commons, sebuah sistem lisensi alternatif "beberapa hak dilindungi undang-undang" atas sistem hak cipta bawaan "semua hak dilindungi undang-undang" (all rights reserved). Lessig berfokus pada penggunaan wajar antara kepentingan publik untuk digunakan dan berpartisipasi dalam karya kreatif yang diterbitkan dan perlunya perlindungan atas karya pencipta yang masih memungkinkan budaya remix "baca-tulis".[4] Pada awalnya, istilah "budaya bebas" digunakan sejak 2003 dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi Dunia tentang Masyarakat Informasi.[16] untuk menghadirkan lisensi bebas pertama atas penciptaan karya artistik secara luas, yang diprakarsai oleh sikap tim Copyleft di Prancis sejak 2001 (bernama Lisensi Karya Seni Bebas). Hal ini kemudian dikembangkan dalam buku Lawrence Lessig yang bertajuk Free Culture pada tahun 2004.[17] Melalui pengumuman pada Agustus 2003, Creative Commons merupakan proyek penerus Proyek Konten Terbuka yang digagas oleh David A. Wiley pada 1998. Kemudian Wiley bergabung sebagai direktur.[18][19] OrganisasiOrganisasi yang umumnya diasosiasikan dengan budaya bebas adalah Creative Commons (CC) yang didirikan oleh Lawrence Lessig. CC menggalakkan berbagi karya kreatif dan menyebarkan ide untuk menghasilkan semangat budaya, progres ilmiah dan inovasi bisnis. QuestionCopyright adalah organisasi lain yang misinya menyatakan "untuk menyoroti kerugian ekonomi, artistik dan sosial yang disebabkan oleh monopoli distribusi dan untuk menunjukkan bagaimana distribusi berbasis kebebasan lebih baik bagi seniman dan penonton."[20] QuestionCopyright mungkin paling dikenal karena hubungannya dengan artis Nina Paley, yang memenangkan banyak penghargaan atas film animasi Sita Sings The Blues yang didistribusikan secara bebas[21] di bawah naungan "Proyek Distribusi Sita".[22] Situs web organisasi tersebut memiliki sejumlah sumber daya, publikasi dan rujukan lain terkait berbagai masalah hak cipta, paten dan merek dagang. Organisasi pelajar yang bernama Pelajar untuk Budaya Bebas kadang membingungkan disebut "Gerakan Budaya Bebas," tetapi nama tersebut adalah bukanlah nama resmi. Organisasi tersebut merupakan bagian dari gerakan yang lebih besar. Cabang pertama didirikan pada 1998 di Swarthmore College, lalu tercatat hingga memiliki dua puluh enam cabang pada 2008.[23] Gerakan budaya bebas mengikuti teladan dari gerakan perangkat lunak bebas dan sumber terbuka yang diperluas dari bidang perangkat lunak ke semua karya budaya dan kreatif. Richard Stallman (pendiri Free Software Foundation dan gerakan perangkat lunak bebas) mendukung organisasi tersebut pada awal perjalanan Creative Commons. Ia menarik dukungannya karena pengenalan beberapa lisensi termasuk di negara-negara berkembang (mundur pada 2007) [24] dan lisensi sampling.[25] Stallman kemudian memulihkan beberapa dukungannya ketika Creative Commons menghentikan lisensi tersebut. Gerakan musik bebas, bagian dari gerakan budaya bebas, dimulai tepat ketika Web semakin populer dengan Filosofi Musik Bebas[26] oleh Ram Samudrala pada awal 1994. Hal tersebut juga didasarkan atas gagasan perangkat lunak bebas oleh Richard Stallman yang bertepatan dengan lahirnya seni terbuka dan gerakan informasi terbuka (dalam hal ini disebut secara kolektif sebagai "gerakan budaya bebas"). Filosofi Musik Bebas menggunakan pendekatan tiga cabang yang mendorong secara sukarela atas penyebaran penyalinan tanpa batas, berdasarkan fakta bahwa salinan rekaman dan komposisi dapat dibuat dan didistribusikan dengan mudah melalui Internet dengan akurasi lengkap. Gerakan musik bebas berikutnya dilaporkan oleh berbagai media termasuk Billboard, Forbes, Levi's Original Music Magazine, The Free Radical, Wired dan The New York Times. Seiring dengan ledakan Web yang didorong oleh perangkat lunak open source dan Linux, munculnya P2P dan kompresi lossy serta terlepas dari upaya industri musik, musik bebas sebagian besar menjadi kenyataan di awal abad ke-21. Organisasi seperti Electronic Frontier Foundation dan Creative Commons dengan juara informasi gratis seperti Lawrence Lessig sedang merancang banyak lisensi yang menawarkan rasa hak cipta dan hak cipta yang berbeda. Pertanyaannya bukan lagi mengapa dan bagaimana musik harus bebas, melainkan bagaimana kreativitas akan berkembang sementara musisi mengembangkan model untuk menghasilkan pendapatan di era Internet. PenerimaanKeraguan dari FSFAwalnya, pendiri Free Software Foundation (FSF) Richard Stallman, tidak melihat pentingnya karya bebas di luar perangkat lunak.[27] Demikian pula, pada tahun 1999 Stallman mengatakan bahwa ia melihat "tidak ada keharusan sosial untuk desain perangkat keras bebas seperti keharusan sebagaimana perangkat lunak bebas".[28] Penulis lain, seperti Joshua Pearce, mengutarakan pendapat bahwa terdapat keharusan etis untuk perangkat keras sumber terbuka, khususnya yang berkaitan dengan teknologi yang sesuai dengan sumber terbuka untuk pembangunan berkelanjutan.[29] Kemudian, Stallman mengubah sedikit kedudukannya dan menganjurkan untuk berbagi informasi secara bebas pada tahun 2009.[30] Namun, pada tahun 2011 Stallman mengomentari penangkapan pendiri Megaupload, "Saya pikir semua karya yang dimaksudkan untuk penggunaan praktis harus bebas, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk musik, karena musik dimaksudkan untuk apresiasi, bukan untuk penggunaan praktis."[31] Dalam tindak lanjutnya, Stallman membedakan tiga kelas: Karya yang bersifat praktis harus bebas, Karya yang mewakili sudut pandang harus dapat dibagikan tetapi tidak dapat diubah dan karya seni atau hiburan harus memiliki hak cipta (tetapi hanya untuk 10 tahun).[32] Dalam sebuah esai pada tahun 2012, Stallman berpendapat bahwa permainan video sebagai perangkat lunak harus bebas tetapi bukan karya seninya.[33] Pada 2015 Stallman menganjurkan desain Perangkat Keras Bebas.[34] Pendukung hak ciptaKritik vokal terhadap gerakan budaya bebas datang dari para pendukung hak cipta. Teknolog dan musisi terkemuka Jaron Lanier membahas perspektif Budaya Bebas ini dalam bukunya yang diterbitkan pada 2010 berjudul You Are Not a Gadget. Kekhawatiran Lanier termasuk depersonalisasi media anonim yang bersumber dari orang banyak (seperti Wikipedia) dan martabat ekonomi seniman kreatif kelas menengah. Andrew Keen, seorang kritikus Web 2.0, mengkritik beberapa ide Budaya Bebas dalam bukunya, Cult of the Amateur yang menggambarkan Lessig sebagai "komunis kekayaan intelektual."[35] Penurunan pangsa pasar industri media berita disalahkan pada budaya bebas tetapi bagi tokoh intelektual seperti Clay Shirky mengklaim bahwa pasar itu sendiri yang membunuh industri jurnalisme, bukan budaya bebas.[17] Referensi
Pustaka lanjutan
Pranala luar
|