Share to:

 

Gereja Santa Theresia Liseux, Boro

Gereja Santa Theresia Liseux Boro (disebut dengan Gereja Boro) adalah sebuah gereja Katolik tertua di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Gereja tersebut berada di dalam Komlek Misi Boro bersamaan dengan Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan (Gereja Promasan) yang dibangun di lokasi berdekatan. Gereja Boro tersebut diyakini telah dibangun sekitar tahun 1930-1940 dan memiliki peran besar dalam merintis pengajaran dan penyebaran ajaran Katolik di Kulon Progo. Selain itu, gereja tersebut memiliki keunikan tersendiri dalam hal bangunannya. Keunikan itu adalah fasad bangunan berupa menara lonceng yang masih berfungsi sampai sekarang.

Sejarah Komplek Misi Boro

Gereja Theresia Liseux Boro disebut juga sebagai Gereja Boro karena lokasinya yang berada di Komplek Misi Boro. Di dalam Komplek Misi Boro juga terdapat bangunan lain seperti pastoran dan kantor pengelola gereja, Rumah Sakit Santo Yusup, Susteran St. Fransiskus Boro, Bruderan F.I.C Boro, Panti Asuhan Sancta Maria Boro, Pertenunan Sancta Maria dan Sekolah Pangudi Luhur (SD-SMP). Dalam sejarahnya, Gereja Theresia Liseux Boro mulai dibangun pada tanggal 31 Agstus 1931. Sebelum dibangun Gereja Boro, Boro awalnya merupakan bagian dari stasi-stasi Kalibawang yang dilayani oleh Paroki dari Muntilan, Magelang, Magelang. Kehidupan kegamaan di sana mulai hidup kembali ketika Romo J. Prenthaler, S.J.[1] ditugaskan sebagai pembimbing wilayah Boro. Komplek Misi Boro sendiri terdiri dari beberapa bangunan seperti gereja, susteran, panti asuhan, pabrik tenun, bangunan Bruderan F.I.C Boro, bangunan Taman Kanak-Kanak, dan Sekolah Dasar “Marsudirini”, serta Sekolah Menengah Pertama “Pangudi Luhur”.

Pembangunannya sendiri berlangsung dari tahun 1928 hingga 1938 dengan bangunan pastoran sebagai bangunan pertama yang dibangun. Pembangunan dilanjutkan ke bangunan-bangunan lain hingga panti asuhan yang menjadi bangunan terakhir yang dibangun. Sumber dana yang digunakan untuk membangun Komplek Misi Boro diperoleh dari bantuan Belanda, mengingat biaya yang diperlukan tidak sedikit pada saat itu. Namun demikian, Romo J. Prenntahaler, S. J. tidak ingin terlalu banyak bergantung pada Belanda, sehingga ia mendirikan perkumpulan untuk menggalang dana dari para donator, yaitu Serikat St. Klaver, Rooms Katholieke Meisjes Hogere Burger School (Sekolah Tinggi Katolik Roma untuk pada Pemudik)[2] yang ada di Amsterdam, Belanda. Dalam perkembangannya, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan gereja ternyata semakin berkurang. Akhirnya, Romo J. Prennthaler memilih untuk menutupi kekurangan dana tersebut dengan mengambil dana pribadinya dari hasil menulis artikel di majalah Fahne Mariens, Ktaholische Mariens, serta menggalang dana dari tokoh-tokoh Katolik yang lain sekaligus menjual perangko. Selain itu, umat Katolik yang ada di Kalibawang juga ikut andil dalam pembangunan Komplek Misi Boro tersebut. Mereka juga berpartisipasi menggalang dana untuk pembangunan meskipun tidak banyak. Lambat laun, kerjasama segala unsur masyarakat tersebut mampu membuat Komplek Misi Boro berdiri hingga saat ini.[3]

Secara khusus, Gereja Boro baru dibangun pada bulan Juni-Juli 1928 yang terdiri dari dapur, kamar mandi, kamar makan, kamar untuk katekis, kamar untuk para romo Paroki, satu kamar tamu, serambi depan, jalan kecil yang melintasi pastoran, dam tangga-tangga di depan serambi. Dalam perkembangannya, bangunan pastoran mengalami banyak perubahan akibat semakin meningkatnya kebutuhan mereka akan ruang-ruang tertentu. AKhirnya dibangunlah beberapa ruang baru seperti ruang komputer, ruang santai atau ruang televisi, dan garasi. Pastoran dan Gereja Boro adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, mengingat bangunan gereja baru didirikan satu tahun kemudian setelah bangunan pastoran berdiri. Pembangunnanya sendiri dilakukan pada tahun 1929 dengan melibatkan beberapa tokoh perintis pembangunan Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran, yaitu Dr. Schmutzer dan seorang arsitek bernama Maclaine Pont. Awalnya, Dr. Scmutzer mengajukan gagasan untuk membangun Gereja Baru sebagaimana arsitektur gereja-gereja di Eropa. Ide tersebut oleh Romo J. Prennthaler ditolak karena dirasa tidak mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat di Boro. Akhirnya, arsitektur gereja dibuat dengan corak Jawa dimana atapnya berbentuk Joglo. Gereja juga dibangun dalam teras-teras dengan bagian tertinggi sebagai altar, kerangka dari bahan besi, dan tinggi fasad mencapai 16-20 meter. Gereja juga menggunakan penutup berupa dinding, tetapi lebih cenderung terbuka seperti pendopo.[4]

Sebagaimana penjelasan di muka, dalam Komplek Misi Boro juga terdapat Susteran Santa Fransiskus Boro. Susteran tersebut mulai dibangun sekitar tahun 1931 hampir bersamaan dengan pembangunan Rumah Sakit Santo Yusup Boro pada tahun 1930.[4] Kedunya menjadi sangat berkaitan mengingat kedatangan pertama suster-suster ke Boro sangat menitikberatkan karya mereka di bidang kesehatan, karena dalam konteks sosial waktu itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat Boro dan sekitarnya. Perlu diketahui, pada sekitar tahun 1926 hingga tahun 1930, di Boro terjadi wabah disentri dan malaria. Keberadaan para suster di Boro berikut Rumah Sakit Santo Yusup dengan demikian menjadi sangat diperlukan. Dalam perkembangannya, peran suster-suster tersebut tidak hanya mencakup bidang kesehatan, melainkan juga bidang-bidang lain seperti pendidikan dan pelayanan sosial. Oleh karena itu, di Komplek Misi Boro juga dibangun Sekolah Dasar St. Theresia Marsudirini dan beberapa panti asuhan.[3]

Kondisi Lokasi Bangunan

Sebagaimana yang telah dijabarkan di muka, bangunan Kompleks Misi Boro berdiri di wilayah Kecamatan Kalibawang. Lokasi tersebut berada di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekaligus berbatasan langsung dengan daerah Jawa Tengah, terutama Magelang. Secara lebih rinci, berikut ini adalah penjelasan dari batas-batas wilayah geografis lokasi tersebut:[5]

Secara umum, lokasi tersebut berada di wilayah Pegunungan Menoreh dengan kontur atau ketinggian yang bervariasi. Wilayah tersebut secara keseluruhan memiliki luas wilayah 5.296.368 ha dengan luas 250,05 ha berada dalam 26-100 meter di atas permukaan laut sedangkan tanah seluas 4900,85 ha memiliki ketinggian sekitar 100-500 meter di atas permukaan air laut.[6] Curah hujan rata-rata yang dialami oleh lokasi tersebut adalah berkisar 240 mm dengan rata-rata haru hujan 11 hh.[7] Di dalam Kecamatan Kalibawang juga terdapat beberapa desa seperti Banjaroyo, Banjarharjo, Banjarsari, dan Banjararum.

Dalam kurun waktu 1930-1940, tanah di Kecamatan Kalibawang masih didominasi oleh lahan gamping yang tandus sebab tanah berupa tanah liat. Setelah kurun waktu itu berlalu, pengelolaan tanah untuk kepentingan pertanian menjadi semakin massif. Berbagai macam jenis tanaman pertanian banyak dibudidayakan oleh penduduk setempat. Beberapa jenis tanaman yang populer adalah padi, jagung, ubi-ubian, kopi, dan kelapa. Bidang pertanian adalah matapencaharian utama masyarakat Kalibawang. Hingga saat ini, perkampungan mereka masih didominasi oleh lahan pertanian.[5]

Kondisi Perkembangan Agama Katolik

Perkembangan agama Katolik di wilayah Kalibawang dan wilayah Pegunungan Manoreh secara umum dipengaruhi oleh keberadaan empat pastor Belanda yang bernama Van Lith, Keyzer, S.J., K. Hebrans, L.j., dan Hoevenaars. Mereka memiliki kewajiban untuk menyebarkan agama Katolik ke Pulau Jawa, terutama di Semarang, Demak, Kudus, dan Jepara, serta Muntilan, Magelang, Ambarawa, Bedono, dan Magelang, sekaligus Yogyakarta.[8]

Meskipun Kalibawang tidak secara spesifik menjadi area persebaran agama oleh empat pastor tersebut, lokasinya yang berdekatan dengan Muntilan secara tidak langsung juga ikut terpengaruh. Pada masa itu juga belum tersedia akses dari Yogyakarta ke Kalibawang sehingga menyebabkan misi Gereja Santa Antonius di Kotabaru, Yogyakarta tidak menjangkau wilayah Kalibawang, melainkan dijangkau oleh misi Paroki muntilan.

Pada awalnya, empat tokoh pribumi dari Kalibawang memeluk agama Katolik, di antaranya adalah Barnabas Sarikromo, Lukas Suratirta, Markus Suradrana, dan Yokanan Surawijaya. Keempat penduduk pribumi tersebut tertarik belajar agama Katolik kepada Van Lith di sekolah misi Muntilan. Pembabtisan kepada keempatnya dilakukan bersamaan dengan pembatisan 174 orang penduduk Kalibawang yang kebanyakan bermatapencaharian sebagai petani. Pembatisan tersebut berlangsung pada tahun 1404 di mata air Sendangsono oleh Van Lith. Selanjutnya, keempat tokoh pribumi tersebut dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Katolik di Kecamatan Kalibawang serta wilayah Pegunungan Menoreh lainnya.[8]

Setelah proses pembatisan itu selesai, mata air Sendangsono dianggap sebagai tempat untuk berziarah umat Katolik. Di sekitar mata air itu juga terdapat gua yang bernama Mario Lourdes dan merupakan ikon dari lokasi tersebut. Perkembangan misi Katolik dari tahun ke tahun menjadi semakin pesat. Pihak misi Semarang kemudian mengutus Romo Groenwegan, S.J. untuk membimbing umat Katolik di sekitar Kalibawang. Para jemaat di Kalibawang harus beribadah ke gereja di Muntilan oleh sebab belum lengkapnya fasilitas peribadatan yang ada disana. Setiap hari Sabtu dan Minggu, mereka menempuh perjalanan ke Muntilan sekaligus untuk mengikuti sekolah misi dan perayaan Ekaristi. Hal itu mendorong Romo Groenwegen untuk mendirikan Sekolah Rakyat Ploso pada tahun 1918 yang selesai dibangun pada tahun 1922. Sekolah itu tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penyelnggaraan pendidikan, melainkan juga berfungsi sebagai kapel stasi.[9]

Dalam perkembangannya, penyebaran agama Katolik di wilayah Kalibawang juga berdampingan dengan penyebaran agama Islam. Secara tidak langsung, hal itu menjadi hambatan bagi perkembangan agama Katolik. Wilayah pedesaan di lereng tenggara Pegunungan Manoreh mulai menerima pengaruh dari ajaran Islam. Salah satu organisasi yang berperan besar dalam perkembangannya adalah Muhammadiyah. Namun demikian, banyak di antara nereka yang juga masih menerima ajaran-ajaran lokal seperti menyembah roh-roh nenek moyang.

Meskipun demikian, persebaran agama Katolik di wilayah itu bukan berarti terhenti. Cara penyebaran agama yang dilakukan oleh Romo Prennthaler yang langsung terjun ke masyarakat dinilai lebih menarik. Umat yang memeluk agama Katolik pun menjadi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai misal, antara tahun 1930-1927 jumlah pemeluk agama Katolik yang ada telah mencapai 981 jiwa. Dua tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 1.225 jiwa.[10]

Bangunan Kompleks Misi Boro

Bangunan Komplek Misi Boro dibangun di lokasi yang memiliki kontur tanah berbukit-bukit dengan sisi utara dan barat terdapat permukaan tanah yang lebih tinggi. Lokasi tersebut tepatnya berada di perbukitann Manoreh. Lingkungan yang ada di sekitar kompleks gereja adalah berupa persawahan terutama di bagian selatan, barat, dan timur. Luas keseluruhan Kompleks Misi Boro adalah 22.000 m2 yang terdiri dari bangunan utama berupa gereja dan pastoran, serta bangunan pendukung kegiatan peribadatan berupa rumah sakit, susteran, dan kompleks brunderan. Antar bangunan yang ada di dalam kompleks tersebut dihubungkan dengan sebuah jalan beraspal yang sekaligus juga berfungsi sebagai jalan utama desa yang ada di sekitarnya.[3]

Bangunan pastoran dan gereja berada di ujung timur atau paling depan dari Kompleks Misi Boro. Kedunya terletak di atas tanah yang lebih tinggi dari jalan utama, sehingga harus melalui jalan yang sedikit menanjak untuk menuju ke halaman parkir dari kedua bangunan tersebut. Bangunan Paroki berada di utara halaman parkir, sedangkan gereja terletak di bagian sisi barat. Sementara itu, bangunan rumah sakit dan susteran terletak pada kompleks yang terpisah. Meskipun terpisah, jalanan aspal yang ada mampu mengintegrasikan bangunan rumah sakit dan susteran dengan bangunan-bangunan lain seperti gereja dan pastoran. Bangunan rumah sakit dan susteran terletak di lokasi dengan permukaan tanah yang lebih rendah daripada bangunan-bangunan yang lain.

Bangunan pastoran berdiri di atas lahan dengan posisi lebih tinggi dibandingkan bangunan gereja. Bangunan tersebut tidak bertingkat serta memiliki massa kecil dan memiliki tipe atap limas berdenah “L”. Di belakang sisi pendekd ari denah “L” terdapat bangunan bermasa lebih besar karena berlantai dua dengan tipa atap pelana yang menaungi rungan berdenah bujur sangkar. Akses untuk menuju ke pastoran dari halaman timur gereja dapt melalui tangga pada sebelah selatan bangunan atau melalui jalan cor beton yang berada di sebelah timur. Selain itu, pintu pada serambi bangunan juga dibuat dengan menggunakan model kupu tarung berhiaskan panel bujur sangkar. Pintu tersebut memiliki lapis dua yang menyerupai bentuk pintu koboi tetapi penuh sampai bawah. Pintu yang berada di lapis kedua, sebagaimana pintu pada umumnya, juga mampu menutupi bagian yang berlubang. Lantai serambi bangunan pastoran juga dilapisi oleh keramik putih, sama halnya dengan lantai yang ada di ruangan lain di bangunan Pastoran.[10]

Semula, bangunan pastoran yang ada di Kompleks Misi Boro berdenah “L” yang terdiri atas beberapa ruangan, seperti dapur, kamar mandi, kamar makan, kamar katekis, kamar untuk room, satu kamar tamu, dan serambi depan. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan bangunan menjadi semakin banyak dan beragam. Pengurus kompleks kemudian menambahkan ruang-ruang lain seperti ruang untuk tamu dan ruang untuk menonton televise. Kedua ruangan tersebut berfungsi sebagai ruang pendukung dari bangunan berdenah “L”. Aktivitas pelayanan tetap dilangsungkan di bangunan lama. Perbahan ruang tidak hanya terjadi pada ruang menonton Televisi atau ruang tamu, melainkan juga terjadi pergantian fungsi pada ruang-ruang lain seperi ruang sekretariat Paroki dan kamar romo.

Bangunan utama lain dari Kompleks MIsi Boro selain pastoran adalah bangunan Gereja Boro. Bangunan gereja tersebut berada di lahan seluas 40 x 35 m dengan luas bangunan 32 x 29 m dan memiliki arah hadap ke barat-timur. Bangunan atap gereja berbentuk limas berjajar tinggi dan membentuk denah salib tambun dengan bagian bawah lebih pendek. Gereja Boro juga memiliki menara setinggi 20 m dengan ujung berupa tugu salib. Pada badan menara, terdapat relief berupa ikan, mangkuk, dan gelas serta relung dengan patung Santa Theresia yang ditutup dengan kaca. Bagian badan gereja juga setengahnya menggunakan batu alam tempel, tetapi hanya berupa hiasan dan setengahnya menggunakan konstruksi bata.[3]

Pada bagian dalam gereja, akan terlihat ruang utama berupa persegi panjang yang terdiri atas ruang depan, panti umat, dan panti imam. Keempat ruangan tersebut diapit oleh sayap bangunan di sisi utara dan di sisi selatan. Ruang depan gereja terdiri dari balkon dan ruang yang berada di antara pintu utama dengan panti umat. Di ruang depan juga terdapat fasilitas peribadatan seperti bejana berbentuk setengah lingkaran, lukisan “Jalan Salib” dan tempat pentimpanan barang. Sementara itu, panti umat adalah salah satu ruang utama yang menjadi ruang bagi umat untuk prosesi peribadatan. Panti umat dilengkapi dengan dua deret kursi kayu yang masing-masing memanjang dari utara ke selatan dan keramik merah yang juga disusun memanjang menuju panti imam yang kontras karena berwarna keramik putih susu. Selain itu, panti imam dalam bangunan gereja dijadikan sebagai tempat imam memimpin peribadatan. Letak ruangan tersebut berada di sisi timur panti umat dengan posisi yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya. Lantai panti imam tertutup keramik yang berwarna putih susu dengan bentuk ruangan berupa segi delapan yang bertingkat dua. Pada sisi depan tembok panti imam juga terdapat hiasan berupa ornamen gapura dari kayu yang diukir bermotif sulur-suluran, buah anggur, serta bentuk yang menyerupai burung dengan sayap mengembang.[8]

Perubahan Kompleks Misi Boro

Kompleks Misi Boro telah mulai dibangun pada tahun 1928. Lama waktu berdirinya gereja tersebut tentu tidak luput dari berbagai perubahan, termasuk penambahan maupun pengurangan, yang banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Sebagai misal, bencana gempa bumi yang menimpa Yogyakarta pada tahun 2006 silam turut memberikan pengaruh pada kondisi bangunan gereja. Sebagian besar bangunan mengalami retakan-retakan sehingga perlu dilakukan perbaikan. Sebelum terjadinya gempa bumi, seluruh bangunan berwarna putih, namun setelah terjadi gempa, seluruh bangunan diubah dengan konstruksi batu alam yang kemudian juga diterapkan pada sebagian besar dinding bagian bawah gereja. Proses renovasi bangunan itu berlangsung dari bulan Maret tahun 2008 sampai bulan Juli 2008 yang mencakup tahap awal hingga tahap akhir.[8]

Perubahan yang terjadi pada fasade gereja juga diikuti dengan perubahan pada ruang gereja. Secara umum, ruangan gereja tidak memiliki perubahan yang signifikan. Perubahan pada ruangan gereja hanya mencakup hal-hal minor seperti penambahan lukisan “Perjalanan Salib” yang berderet di clerestory dan dinding ruang depan. Perubahan yang signifikan justru terjadi pada ruang imam, terutama pada bagian relung dan dinding depan. Sebelumnya, ruang imam belum berbentuk relung seperti saat ini. Fondasi lantai panti imam juga hanya terdiri dari satu tingkat. Kini, bangunan itu berubah menjadi dua tingkat.[8]

Bukan hanya pada gereja, perubahan juga terjadi pada kompleks secara kesluruhan, baik dari eksterior maupun interior ruangan. Pada interior, perubahan terjadi pada penambahan komponen bangunan untuk memenuhi kebutuhan akan ruang. Perubahan itu terwujud pada penambahan ruang pada kompleks Rumah Sakit Santi Yusup Boro. Ruang yang berubahh itu adalah ruang denah, ruang fisioterapi, ruang rontgen, dan ruang pemeriksaan yang baru selesai direnovasi pada tahun 2015. Sedangkan pada awal pembangunannya, rumah sakit tersebut menempati ruangan yang sekarang difungsikan sebagai susteran. Lebih jauh, bangunan susteran yang ada di dalam kompleks ternyata tidak mengalami perubahan signifikan sebagaimana bangunan-bangunan lainnya. Dalam bangunan susteran hanya terdapat perubahan interior berupa perubahan penataan kursi dan meja serta penambahan keramik untuk memperindang dinding.[3]

Referensi

  1. ^ Haryono, Anton. 2009. Awal Mulanya Adalah Muntilan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
  2. ^ "Verhalen: Hogere Burgerschool voor Meisjes, 1883-1963". www.erfgoedleiden.nl (dalam bahasa Belanda). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-11. Diakses tanggal 2017-12-11. 
  3. ^ a b c d e Hardawiryana, S.J., Dr. Robert. Romo JB Prennthaler SJ: Perintis Misi Di Perbukitan Menoreh Kenangan Penuh Syukur HUT 75 Tahun Paroki St. Theresia Lisieux Boro. Boro: Paroki Santa Theresia Lisieux Boro, 2002.
  4. ^ a b End, Van Den Th, and S.J., Jan Weitjens. Ragi Cerita II. Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an - Sekarang. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002.
  5. ^ a b Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. Kalibawang Dalam Angka. Kulon Progo, 2008. pdf
  6. ^ Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kulon Progo. Luas dan Persentase Luas Wilayah dirinci menurut Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo (Hektar), 2011 dalam Kulon Progo Dalam Angka 2012. Kulon Progo, 2012. pdf
  7. ^ Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo. Rata-rata Curah Hujan dan Hari Hujan menurut Masing-masing Stasiun Hujan di Kabupaten Kulon Progo, 2011 dalam Kulon Progo Dalam Angka 2012. Kulon Progo, 2012. pdf
  8. ^ a b c d e Paroki Santa Theresia Lisieux Boro. 80 Tahun Gereja Santa Theresia Lisieux Boro 1922-2007 "Ayo Gumregah Amrih Dadia Berkah". Boro, 2007.
  9. ^ Haryono, Anton. Misi Jesuit di Yogyakarta: Studi Tentang Pengembangan Pewartaan Agama Bagi Suku Jawa 1914-1940. Thesis, Yogyakarta: Program Studi Sejarah Ilmu Humaniora Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2000.
  10. ^ a b Anonymous. Buku Kenangan 64 Tahun Gereja Santa Theresia Lisieux Boro-Kulon Progo-DIY. Yogyakarta, 1991.
Kembali kehalaman sebelumnya