Global Mediacom
PT Global Mediacom Tbk (IDX: BMTR), lebih dikenal sebagai MNC Media & Entertainment adalah perusahaan media massa dan telekomunikasi asal Indonesia yang didirikan sejak 1981. Perusahaan ini masih berada dalam naungan MNC Asia Holding dan merupakan induk dari Media Nusantara Citra. Sejarah1981—1998Perusahaan didirikan pada 30 Juni 1981 dengan nama PT Bimantara Citra oleh Bambang Trihatmodjo, Rosano Barack, dan Mochammad Tachril Sapi'ie.[1] Nama Bimantara Citra sendiri diberikan oleh Bambang Trihatmodjo, yang artinya siap mengemban tugas yang berat dengan citra yang baik. Bisnis Bimantara awalnya hanya bergerak di bidang teknik dan kontrakto terutama untuk pertambangan.[2] Namun, seiring berjalannya waktu perusahaan ini semakin diperluas ke berbagai bidang, seperti pabrik mobil, pabrik petrokimia, transportasi udara, keuangan, perdagangan, perkapalan, bahkan pernah terlibat dalam monopoli perdagangan jeruk pontianak, menjadikannya salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia pada era Orde Baru. Selain itu, Bimantara juga mendapatkan saham dalam sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, seperti Nestle. Pada 17 Juli 1995, perusahaan resmi mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia).[1] Pada masa Orde Baru juga, Bimantara bisa dikatakan merupakan sebuah perusahaan yang kontroversial karena bisa bertumbuh beranak-pinak dalam waktu yang cepat. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan Bambang Tri sebagai pendiri usaha ini, yang kebetulan merupakan anak ketiga Presiden Soeharto merupakan faktor penting dari "keberhasilan" Bimantara menjadi salah satu konglomerat terbesar di Indonesia pada era Orde Baru. Walaupun ada yang menganggap Bambang sesungguhnya orang yang pintar mengelola bisnis sehingga bisnisnya berhasil, sifat bisnis Bimantara yang "lebih terbuka" dibanding konglomerasi yang lain, dan ia melakukannya untuk kemajuan Indonesia, namun tetap saja faktor koneksi sebagai putra Presiden membuatnya selalu terbawa dalam isu negatif, apalagi pasca kejatuhan Orde Baru.[3] Bahkan, ada yang menyebut Bimantara merupakan singkatan dari Bambang (Trihatmodjo) Ingin Menguasai Nusantara.[4] Beberapa perusahaan dan tindakan bisnis Bimantara yang dianggap kontroversial, seperti:
Seperti telah disebutkan, unsur kronisme yang ditunjukkan Orde Baru telah membuat sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia, harus "terpaksa" menggunakan jalur tikus lewat Bimantara. Beberapa perusahaan asing tersebut, seperti PT Food Specialities Indonesia (Nestle) dan PT Indomiwon Citra Inti yang merupakan kongsi dengan Salim Group dan Miwon Korea Selatan.[12] Namun, kerjasama ini jauh lebih besar terlihat dalam industri kimia dan bahan bakar (gas alam, minyak bumi), misalnya pembentukan PT Trans Javagas Pipeline (dengan ARCO), PT Bimatama Graha Perkasa (dengan Exxon dan Mobil), PT Montrose Pestindo Nusantara (dengan Montrose), PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (dengan American Petroleum Institute dan Pennzoil Product Co).[7] 1998—2007Runtuhnya rezim Orde Baru membuka lembaran baru dalam kehidupan Bimantara. Citra buruk Orde Baru membuat Bambang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai direktur utama Bimantara pada 30 Mei 1998.[6] Perubahan tersebut diiringi dengan perubahan kepemilikan Bimantara. Bambang perlahan-lahan melepas kepemilikkannya (melalui PT Asriland) di PT Bimantara. Saham tersebut akhirnya beralih ke Hary Tanoesoedibjo, pemilik PT Bhakti Investama. Masuknya Hary dalam PT Bimantara ini memang mengagetkan karena dia dianggap pada saat itu tidak punya kekuatan modal besar untuk menguasai "raksasa" bisnis Cendana tersebut. Ada yang menganggap upaya Hary ini mendapatkan "bekingan" dari keluarga Cendana sehingga ia hanya sebagai operator, ada juga rumor yang menuduhnya merupakan kepanjangan tangan Salim Group.[13] Rumor lain mengatakan ia diberi modal oleh investor rahasia, bahkan ada juga yang menuduhnya dibantu oleh investor kawakan George Soros.[14] Namun, Hary membantah semua itu dalam wawancara tahun 2007 dan menyatakan keberhasilannya lebih disebabkan prestasinya menyehatkan Bimantara dengan meningkatkan kinerjanya dan menjual aset-asetnya yang potensial.[15] Setelah ia masuk, pada saat itulah Bimantara melakukan perampingan dengan menyederhanakan fokusnya pada beberapa perusahaan saja, terutama media dari sebelumnya sebuah konglomerasi di banyak bidang. 2007—sekarangUntuk mengubah fokus bisnis dari konglomerat ke media dan telekomunikasi, pada 27 Maret 2007 perusahaan mengganti namanya menjadi PT Global Mediacom, artinya perusahaan media dan telekomunikasi yang menjadi pemain di tingkat global.[15] KepemilikanBerikut ini merupakan daftar kepemilikan perusahaan berdasarkan laporan Keuangan per 30 September 2024.[16]
Anak usahaBerikut ini merupakan daftar anak usaha perusahaan berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2024.[16]
Referensi
Pranala luar
|