Gondang buhunGondang buhun merupakan salah satu jenis tradisi Gondang berupa seni tetabuhan (tutunggulan) yang berasal dari Kampung Adat Kuta, Ciamis, Jawa Barat yang tidak terdapat pada daerah lain. Dalam pelaksanaannya, seluruh pemain Gondang Buhun ini semuanya harus perempuan[1] sebagai pemukul lesung (gondang) yang juga merangkap sebagai juru kawih (sinden).[2] Instrumen yang mereka gunakan berupa alu yang tingginya mencapai 2 meter, dan lesung yang panjangnya 2,5 meter berisi dua ikat padi yang biasa disebut dua geugeus pare oleh masyarakat Kampung Kuta.[3] Padi tersebut kemudian ditalu sehingga suara lesung menghasilkan ritme bunyi yang teratur (harmonis dan polyphonis) diiringi dengan nyanyian para pemainnya.[4] Biasanya tradisi Gondang Buhun ini memiliki beberapa ritus seperti ritus Nyi Pohaci Sanghyang Sri (mapag sri), ritus minta hujan, dan sebagai undangan kenduri.[1] Kampung Kuta Ciamis dikenal juga memiliki Hutan Larangan Kampung Kuta. Pada tahun 2018 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) secara resmi menetapkan tradisi budaya Agraris yang masih bertahan ini sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari provinsi Jawa Barat dengan nomor penetapan 201800682.[5] SejarahTradisi yang bermakna ngayun ini konon berasal dari warisan seorang leluhur dari Kerajaan Galuh yaitu pandita Ki Ajar Sukaresi pada abad ke-6. Tradisi Gondang Buhun yang memiliki arti Gondang Kuno[6] ini dilakukan dalam rangka menghormati Nyi Dewi Sari Pohaci atau lebih dikenal sebagai Dewi Sri (Dewi Padi).[7] Tradisi ini bahkan sudah ada sebelum masuknya agama Islam ke Kampung Adat Kuta seperti halnya tradisi kesenian Rengkong.[4] Makna dari tradisi Gondang Buhun untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang didapat.[1] Ungkapan rasa syukur tersebut ditembangkan melalui siloka (pepatah sunda) yang berisi nasihat bermakna sebagai pengingat aturan hidup untuk mengkaji diri.[8] Pola permainanPola permainannya terdiri dari dua bagian yaitu tutunggulan dan nyanyian. Untuk tutunggulan dalam Gondang Buhun terdapat empat jenis tutunggulan yang terdiri dari:[1]
Adapun motif tumbukan atau tabuhan yang berbeda-beda itu kemudian dipadukan sehingga membentuk sebuah komposisi irama yang terdiri dari: turun-unggah atau midua, tilingting, onjon, kutek, titir, ambruk, dongdo, dan gejog. Referensi
|