Goro (perusahaan)Goro (singkatan dari "Gotong Royong")[1][2] adalah sebuah jaringan toko grosir (perkulakan) yang ada di Indonesia. Perkulakan yang dalam sejarahnya lekat dengan anak bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy) ini muncul sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1995 dan 2018.[3] Layaknya banyak bisnis Tommy lainnya, Goro pun dipengaruhi banyak kontroversi, terutama kasus korupsi yang menjerat sang "Pangeran Cendana" tersebut. Goro (1995-2004)KelahiranInkarnasi dari Goro versi pertama berada di bawah pengelolaan PT Goro Yudhistira Utama, yang lahir dari kerjasama antara pihak swasta dan koperasi. Dari pihak swasta, ada Tommy dan Ricardo Gelael (anak Dick Gelael pemilik Gelael Supermarket) yang membawa bendera PT Goro Batara Sakti (dimiliki 80% oleh Tommy/Humpuss dan 20% oleh Ricardo)[4] dengan kepemilikan 35%, sedangkan dari pihak koperasi memegang sisanya yang terdiri dari INKUD (Induk Koperasi Unit Desa) 25%, Koperasi Warung Goro 20%, KOPEG (Koperasi Penyalur Bulog) 6%, INKOPKAR (Induk Koperasi Karyawan) 5%, INKOPAD (Induk Koperasi Angkatan Darat) 2,5%, INKOPOL (Induk Koperasi Kepolisian Republik Indonesia) 2,5%, dan INKOPAU (Induk Koperasi Angkatan Udara) 2,5%.[5] Menurut suatu sumber, pendirian Goro bermula ketika Tommy, Ricardo dan Menkop Subiakto Tjakrawerdaya berkonsultasi mendirikan perusahaan grosir yang kemudian diterima oleh INKUD. Goro dikonsepkan sebagai perkulakan dimana koperasi dan pedagang kecil bisa membeli barang-barang dagangan mereka dengan harga yang lebih murah, sehingga mereka diuntungkan. Koperasi saat itu ditafsirkan terlalu kecil dan terpecah-pecah, tidak memiliki pusat grosirnya sehingga sulit meningkatkan penjualan mereka, padahal mereka memiliki potensi yang besar. Selain itu, Goro juga dapat menjadi alternatif bagi masyarakat kota untuk memenuhi kebutuhan mereka.[1] Goro didirikan pada 1993,[6] dan awalnya kepemilikan sahamnya dimiliki oleh PT Goro Batara Sakti 60%, Yayasan Bulog 10% dan INKUD 30% sebelum berubah struktur kepemilikannya seperti di atas.[7] Gerai pertama Goro berada di Pasar Minggu, Jakarta Selatan (saat ini lahannya menjadi apartemen Niffaro Park) yang diresmikan pada 12 Juli 1995 oleh Presiden Soeharto di Hari Koperasi ke-48. Perkulakan yang memakan investasi Rp 11 miliar ini diklaim sebagai toko grosir terbesar di Asia Tenggara dan mulai beroperasi sejak 26 Juli 1995, dengan omset kira-kira Rp 350 juta/hari.[1] Nama "Goro" (Gotong Royong) dipilih karena merefleksikan bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial berkecenderungan saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain dan perlu saling membantu.[7] Tidak hanya direncanakan sebagai toko grosir, Goro juga memiliki visi untuk membentuk Kerja Sama Operasi dengan sejumlah koperasi serba usaha yang belum memiliki modal kuat, dengan pengelolaannya dikendalikan Goro dan keuntungannya 60% untuk koperasi. Layaknya perkulakan lain seperti Makro, pengunjung Goro harus mendaftar sebagai anggota, yang ditujukan pada pengusaha dan pedagang kecil maupun koperasi.[1] Anggota/partner dari koperasi dijanjikan bisa mendapat diskon 3-4,5% jika berbelanja grosir di Goro.[8] Tidak hanya mekanisme keanggotaannya, Goro ikut mereplikasi banyak sistem dan teknik dari Makro yang merupakan pionir perkulakan di Indonesia.[9] Tidak lama kemudian, Goro telah memiliki gerai baru di daerah Kelapa Gading (sekarang menjadi gudang Lazada); Pekayon (saat ini tengah dibangun Pakuwon Mall, Bekasi) dan Ujungpandang (sekarang menjadi Goro Arena); mengembangkan unit baru bernama Pusat Distribusi Goro; mengadakan berbagai seminar koperasi;[10] dan membentuk kemitraan dengan pedagang kecil/pasar tradisional dalam bentuk Warung Goro pada Maret 1998 yang rencananya sebanyak 400 cabang.[11][5] Warung Goro memiliki 1.700 produk, dan ditargetkan ada di seluruh Indonesia.[12] Gerai Goro Kelapa Gading, yang dibangun dengan modal Rp 25 miliar[13] diresmikan pada 7 Oktober 1996[9] dengan menjual 20.000 produk, dan target keuntungan Rp 600-900 juta/hari. Sedangkan gerai di Ujungpandang (bernama Goro Puskud Hasanuddin) diresmikan pada 19 Juni 1997. Berbeda dengan yang ada di Jakarta, Goro di Ujungpandang ini tidak dimiliki oleh PT Goro Yudhistira Utama/Batara Sakti melainkan oleh PUSKUD Hasanuddin, meskipun "meminjam" nama dari Goro Jakarta.[14] Tidak hanya itu, Goro berencana membangun gerai di Surabaya dan membuka 5 lagi di Jakarta hingga awal 1998.[15][10] Salah satunya direncanakan akan berkongsi dengan Bakrieland Development dalam PT Bakrie Goro Land.[16] Selain itu, di luar bisnis grosir, nama "Goro" juga digunakan pada beberapa hal yang berkaitan dengan balap mobil di dalam maupun luar negeri, mengingat Tommy memang dikenal cukup menyukai hal tersebut.[17][18] Perubahan kepemilikanPada 4 Mei 1998, INKUD kemudian mengakuisisi seluruh saham PT Goro Batara Sakti (Tommy dan Ricardo) di PT Goro Yudhistira Utama senilai Rp 140 miliar.[5] Penjualan ini terjadi setelah IMF meminta Tommy dan Ricardo agar melepas sahamnya itu, karena dianggap mendapat kredit murah untuk koperasi dari pemerintah sehingga menghalang-halangi reformasi IMF. Mulanya, Tommy dan Ricardo berusaha menawarkannya pada investor asing, namun tidak ada yang berminat. Pemerintah, melalui Menkop Subiakto membujuk agar INKUD mau membeli saham tersebut, dan Ricardo kemudian menemui pimpinan INKUD untuk bernegosiasi. Negosiasi antara INKUD (lewat sebuah tim khusus pimpinan H. M. Rapi'i, ketua INKUD) dan Tommy-Ricardo awalnya cukup rumit, karena INKUD meminta adanya audit oleh auditor dan biaya Rp 115 miliar, namun Ricardo menolak. Tawar-menawar terjadi dengan Ricardo mengusulkan Rp 250 miliar, 192 miliar, 150 miliar dan INKUD Rp 128 miliar, yang akhirnya keduanya bersepakat seperti angka diatas, ditambah penjualannya telah disetujui IMF.[14][9] Pada saat yang sama, saham Tommy dan Ricardo di PT Goro Batara Sakti juga dilepaskan kepada INKUD (52%) dan PUSKUD (48%),[9][14] yang kemudian juga mengoperasikan Goro selain PT Goro Yudhistira.[19][20] Pihak INKUD beralasan pembelian itu dilakukan karena mereka sudah menjadi pemegang saham sebelumnya, memang membutuhkan pusat grosir tersebut untuk koperasi dan keuntungannya yang mencapai Rp 700 juta-1 miliar untuk satu gerai/hari.[21] Sayangnya, tidak lama setelah penjualan itu, Goro mengalami tekanan yang hebat dengan munculnya Kerusuhan Mei 1998. Dalam kerusuhan 3 hari itu, gerai pertama Goro di Pasar Minggu ludes dan hancur dijarah dan dibakar, sedangkan gerai lainnya di Bekasi habis dirampas isinya oleh perusuh.[14] Diperkirakan, kerugian dari kerusuhan yang membuat Goro hanya menyisakan 1 gerai utama di Kelapa Gading ini mencapai Rp 81,2 miliar. Ketua INKUD, Nurdin Halid yang kemudian didapuk menjadi Presiden Direktur PT Goro Yudhistira Utama pasca penjualan saham oleh Tommy dan Ricardo (Ricardo sebelumnya adalah Dirut), melihat kerusuhan itu juga merugikan petani yang menyuplai barang dan masyarakat, sehingga rencananya Goro yang rusak dibangun lagi. Tidak hanya itu, Goro juga menjanjikan bahwa perkulakan miliknya yang sedang dibangun di Margonda, Depok (saat ini menjadi apartemen Saladdin Square) akan tetap dilanjutkan dengan investasi Rp 30 miliar. Selain itu, Goro pun juga harus menghadapi hal-hal seperti tagihan dari pemasok dan pembangun gedung yang mencapai Rp 50 miliar rupiah,[22][14] dan tercatat merugi (meskipun menurut pengelola barunya tidak apa-apa karena mereka lebih mengutamakan jaringan kerjasama Goro bersama koperasi).[23] Akan tetapi, kemudian Goro berhasil menyelesaikan gedung di Depok yang diresmikan oleh Menkop (baru) Adi Sasono pada 17 September 1999 dan memperbaiki gerai Goro di Bekasi, sehingga Goro kembali memiliki 3 gerai (kecuali Pasar Minggu yang ditutup permanen) dan 1 toko lainnya di Ujungpandang (Makassar).[24] Tidak hanya itu, nama Goro kemudian diubah menjadi Perkulakan 33 Goro, yang bisa dikatakan berbau politik karena angka 33 adalah nomor urut Golkar di Pemilu 1999.[25][14] Perubahan nama ini diharapkan mampu membersihkan citra Goro dari nama Tommy.[9] Goro kemudian juga berusaha merintis minimarket bernama Go's Mart,[26] dan kemitraan bersama perusahaan ritel lainnya.[27] PenutupanAkan tetapi, kemudian Goro justru tersandung skandal yang melibatkan pemilik lamanya (Tommy, Ricardo dan beberapa pihak lainnya) terkait Goro Kelapa Gading sehingga namanya makin jelek di mata publik. Pendapatan Goro di 4 gerainya pun melorot, dengan Kelapa Gading turun mencapai Rp 400 juta, Bekasi Rp 250 juta, Depok Rp 100 juta dan Makassar 50 juta pada 2004, dan Goro bahkan harus menunggak gaji karyawannya.[9] Belum lagi tantangan muncul dari keberadaan hipermarket baru di beberapa daerah, seperti Giant di Bekasi.[28] Sejak Juli 2003, Goro pun mulai menunggak pembayaran dan mulai April 2004 berhenti membayar barang dari distributor.[9] Maka, pada 27 Agustus 2003, untuk memperbaiki kondisinya, INKUD menjual Goro kepada mantan Menkop Adi Sasono dan Lulu Harsono[29] sebesar Rp 82,5 miliar yang direncanakan akan dibayar dalam 3 tahap. Sayangnya, Adi saat itu lebih sibuk berkampanye untuk Partai Merdeka pimpinannya menjelang Pemilu 2004, membuat Goro tidak terurus. Muncul rumor dana yang seharusnya untuk rehabilitasi Goro justru dipakai untuk berkampanye partai Adi.[9] Tunggakan hutang itu membuat sejumlah distributor meradang. Pada 25 Maret 2004, tiga penyalur yaitu PT Enseval Putra Megatrading, PT Bali Jeff Marketindo dan PT Mulia Raya Agrijaya menggugat pailit pengelola Goro, PT Goro Batara Sakti. Pengajuan pailit yang dilakukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini diajukan karena ketiganya (yang sebenarnya mewakili 93 penyalur lain) merasa bahwa perkulakan Goro sulit ditagih pasca pergantian kepemilikan, walaupun masih menunggak sebanyak Rp 27 miliar kepada 600 penyalur yang sudah jatuh tempo dari lama.[29][30] Menurut ketiganya mereka telah berkali-kali menagih dan mendatangi toko Goro, namun mereka selalu pulang dengan tangan hampa. Goro memang sempat mengeluarkan bilyet giro untuk membayar utang-utangnya, tetapi saat hendak dicairkan ternyata dananya kosong dan rekeningnya telah ditutup. Mereka menuntut agar 3 gerai Goro di Depok, Kelapa Gading dan Pekayon disita. Pihak PT Goro Batara Sakti berencana mengajukan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) sebagai respon gugatan pailit tersebut.[31] Dengan masalah yang makin banyak, perlahan-lahan kematian Goro pun hanya menunggu waktu. Hutang yang menumpuk membuat sejumlah UMKM yang merupakan penyalur ke Goro bangkrut, sedangkan distributor besar tidak mau menyalurkan barang, sehingga akhirnya barang yang disediakan di gerai-gerai Goro menyusut dan konsumen meninggalkannya. Meskipun Nurdin Halid sempat menjanjikan akan membeli Goro kembali bersama seorang partner setelah kegagalan Adi-Lulu, namun tidak terealisasi.[9] Maka, berakhirlah nasib Goro pada tahun tersebut, dengan gerai-gerainya ditutup[9][28] dimana beberapa dibiarkan terbengkalai saja seperti di Bekasi sampai beberapa tahun kemudian.[32] Saat kasus pailit pertama masih disidangkan, Forum Komunikasi Karyawan Goro (FKKG) ikut menggugat pailit Goro pada 1 Desember 2005 karena masih menunggak gaji, pesangon dan biaya 1.000 karyawan lainnya senilai Rp 20 miliar. Meskipun toko Goro sudah tutup, namun nasib mereka mengambang karena terus dijanjikan investor baru yang tidak pasti tanpa adanya niat PHK.[33] Kemudian, pihak Adi dan Lulu menjanjikan, bahwa Goro yang sudah tidak beroperasi akan dihidupkan dari investor baru bernama PT Tridatama Kertakarya dan World Index Investment, yang dijanjikan akan masuk pada awal 2006, sehingga pailit dari FKKG dicabut pada 1 Maret 2006.[34] Sayangnya, gugatan distributor pada akhirnya tetap berjalan dan berakhir tragis dengan membuahkan status pailit pada PT Goro Batara Sakti.[35][36] Pailit itu bahkan membuat gaji karyawan yang tertunggak itu baru bisa dibayar pada Agustus 2012.[37] Kasus GoroSetelah kejatuhan Orde Baru, Goro sebagai perusahaan yang lekat dengan keluarga Cendana harus menerima nasib sial karena telah dianggap melakukan berbagai tindak korupsi yang merugikan negara. Penjualan sahamSaat Tommy dan Ricardo melepaskan saham di PT Goro Batara Sakti dan Goro Yudhistira Utama kepada INKUD, rumor beredar bahwa dana untuk membeli saham keduanya tidak diambil murni dari kas INKUD, melainkan dari dana Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Layaknya Goro, BPPC juga dipengaruhi oleh Tommy yang menjadi pimpinannya, dan ada peran INKUD di sana. Tommy disebut-sebut sedang melepaskan kewajibannya untuk menyerahkan dana Sumbangan Wajib Khusus Petani (SWKP) yang diperkirakan mencapai Rp 1 triliun di BPPC, namun tidak pernah "nampak" sehingga diduga Tommy menukar uang itu dengan saham Goro.[38] Isu ini sempat diangkat oleh Menkop baru di era B.J. Habibie, Adi Sasono yang bahkan berencana membentuk sebuah tim khusus dan mengaudit keuangan penjualan itu,[39] namun dibantah oleh manajemen Goro yang baru di bawah Nurdin Halid.[40] Meskipun demikian, pada 2002, majalah Tempo sempat melaporkan bahwa petani cengkih di Sulawesi Utara, mengadu dana mereka senilai Rp 1,9 triliun "lenyap", diduga karena pembelian saham Goro yang melibatkan Tommy dan Nurdin.[41] Selain itu, Tommy dan Ricardo dianggap melepaskan kewajibannya begitu saja dengan membiarkan Goro terjebak dalam hutang ketika mereka menjual perusahaan perkulakan ini.[42][21] Rumor lain juga menyatakan dana pembelian Goro tersebut diambil dari dana sosialisasi briket batubara yang dilakukan pemerintah.[43] Hal ini karena Goro pernah diberikan dana Rp 53 miliar oleh pemerintah demi promosi briket sebelum Soeharto jatuh.[5] Goro MakassarPembangunan Goro Puskud Hasanuddin di Makassar dituduh melibatkan praktik korupsi. Pada tahun 1998, Nurdin Halid sempat diperkarakan terkait pembelian tanah, gudang, dan pembangunan pusat perkulakan itu.[44] Tukar guling lahanKasus Goro yang paling terkenal adalah mengenai tukar guling (ruislag) tanah antara PT Goro Batara Sakti (GBS) yang (pernah) dimiliki Tommy dan Ricardo. Ceritanya bermula ketika Ricardo dan Tommy ingin membangun gerai Goro di Kelapa Gading pada tahun 1994,[45] dan kemudian meminta kerjasama dengan Dirut Bulog Ibrahim Hasan yang melaporkannya kepada presiden pada 14 April 1994.[46] Meskipun demikian, saat itu proyeknya belum berjalan lancar, sampai kedatangan Beddu Amang sebagai ketua Bulog baru pada 16 Februari 1995. Keesokan harinya, Beddu langsung meneken nota kesepahaman (MoU) bernomor No. 001/Bulog-Sas/11/1995, kali ini dengan perusahaan milik Tommy lainnya bernama PT Sekar Artha Sentosa yang ditandatangani dengan Tommy sebagai dirut PT Sekar. MoU bersama Bulog itu berisi kesepakatan untuk menukar lahan gudang Bulog sebesar 50 hektar di daerah tersebut dengan lahan 125 hektar di daerah Marunda. Selain itu, PT Sekar juga berjanji untuk membangun gudang pengganti milik Bulog di daerah tersebut. Beddu menjustifikasi tindakannya karena gudang tersebut ada di daerah pemukiman sehingga menuai protes masyarakat yang terganggu bongkar-muat barang. Tidak lama kemudian, Beddu mengirim surat ke Presiden Soeharto pada 31 Juli 1995, yang mendapat balasan dari Soeharto pada 11 Oktober 1995 bahwa ia menyetujui isu tersebut. Meskipun surat balasan dari Soeharto belum diterima, Beddu kemudian mengganti (namun tidak membatalkan) MoU sebelumnya dengan MoU baru yang ditandatangani pada 11 Agustus 1995, kali ini langsung dengan PT GBS (diwakili oleh Tommy dan Ricardo sebagai Komisaris Utama dan Direktur Utama) yang menjanjikan hal serupa: tanah di Marunda sebesar 150 hektar, ditambah tanah seluas 3 hektar di Jl. Ahmad Yani untuk dibangun gedung Dolog Jaya yang juga dibongkar akibat proyek Goro, dan 5 rumah dinas di Rawa Domba.[9][47][48][45] Banyak yang menafsirkan bahwa surat dari Soeharto (lewat surat Mensesneg Moerdiono) sebagai balasan surat Beddu (Surat Mensesneg No. B230/M.Setneg/10/1995) itu dianggap sebagai bukti bantuan istana pada proyek Tommy tersebut. Padahal, menurut aturan yang sudah ada, di SK Menkeu No.350/KMK.03/1993, proses tukar guling yang mencapai lebih dari Rp 1 miliar harus melalui tender yang sedikitnya diikuti 5 perusahaan peserta dan disetujui presiden. Meskipun Menkeu Mar'ie Muhammad awalnya melihat pelanggaran itu, namun surat/memo balasan Soeharto membuatnya terpaksa melanggar aturan yang sudah ada. Mar'ie sebenarnya sudah mengeluarkan SE Menkeu No. F 464/MK.03/1995 pada 31 Januari 1995 untuk menjawab polemik tukar guling yang tidak menyatakan nama PT GBS sebagai pihak yang ditunjuk, secara ajaib surat dari Mensesneg tersebut "memperbolehkan" PT GBS sebagai pihak yang sudah "ditunjuk" dalam proyek ruislag.[49][50][51] Tidak hanya itu, kemudian Bulog secara "sukarela" meminjamkan gudangnya kepada PT GBS, ketika Ricardo berhasil membujuk Beddu lewat telepon dan surat untuk meminjamkan 4 gudang (dari permintaan 14 gudang) Bulog; dan kemudian dengan atas telepon Beddu, PT GBS pada Januari 1996 sudah melakukan pengosongan dan membongkar gudang-gudang itu (sebanyak 11 gudang) dari Februari-Oktober 1996. Ketika Bulog berusaha menegur Ricardo lewat surat No. B/162/III/02/1996 dan surat No. B/165/III/02/1996 agar tidak mengapa-apakan gudang-gudang Bulog, PT GBS tidak menaatinya. Malahan, puing-puing dan besi gudang itu dijual untuk keuntungan PT GBS (Ricardo dan Tommy) sebanyak Rp 7 miliar.[47] Tidak hanya itu, barang-barang Bulog akhirnya harus dipindahkan ke gudang lainnya dan kemudian Bulog harus membayar sewa kepada Goro.[48] Akhirnya, meskipun melanggar aturan, gerai kedua Goro di Kelapa Gading itu dibuka pada 7 Oktober 1996 bagi umum dalam luas 8 hektar.[9][47] MoU itu kemudian diformalisasikan dalam perjanjian tukar guling pada 7 Februari 1997.[52] Faktanya, Tommy dan PT GBS masih belum memiliki tanah yang dijanjikan dalam ruislag itu kepada Bulog, meskipun gudang Bulog di Kelapa Gading sudah diganti dengan gedung Goro.[47] Untuk mencari tanah penggantinya, Tommy kemudian bekerjasama dengan Beddu untuk mendapatkan pemilik tanah, dan didapatkanlah Hokiarto (pemilik Bank Hokindo dan rekanan bisnis Bulog) yang memiliki tanah di Marunda sebesar 25 hektar. Untuk membayar biaya tanah tersebut, PT GBS kemudian mencari pinjaman Rp 20 miliar ke Bank Bukopin dengan berusaha menjadikan serfitikat tanah girik 25 hektar eks-Hokiarto sebagai jaminan. Ketika Bank Bukopin tidak menyetujui jaminan tanah girik eks-Hokiarto, Beddu ikut campur dengan memberikan secara gratis deposito Bulog di Bank Bukopin sebesar Rp 23 miliar sebagai pengganti jaminan pinjaman PT GBS. Pinjaman itu kemudian dijadikan uang untuk membayar tanah Hokiarto, namun ia hanya mendapat Rp 16,25 miliar karena sisanya diambil PT GBS. Dalam akta jual beli antara Hokiarto dan PT GBS pada 19 Juli 1996, Hokiarto rupanya menjual tanah 60 hektar, sehingga ia masih kurang 35 hektar tanah namun tidak mampu memenuhinya akibat PT GBS hanya membayarnya dari pinjaman Bukopin yang sudah dipotong. Lagi-lagi, Beddu ikut campur dengan memberikan pinjaman Bulog sebesar Rp 32,5 miliar agar Hokiarto bisa membeli tanah lagi yang sudah ditingkatkan menjadi 71,2 hektar untuk diserahkan ke PT GBS.[47][48][53] Pada akhirnya, janji Tommy dan Ricardo untuk lahan di Marunda maupun gudang pengganti pun tidak terealisasi sama sekali meskipun mereka telah menjanjikannya senilai Rp 192,9 miliar. Keduanya rupanya tidak memiliki dana untuk menepati MoU mereka.[48][51] Bahkan, pada 26 Desember 1997, tanah yang dijanjikan kepada Bulog tersebut, justru sertifikatnya dilepaskan oleh Beddu.[47] Akibat manipulasi dan kongkalikong Tommy-Ricardo dan Beddu-Hokiarto ini, negara diperkirakan merugi Rp 95,5 miliar.[48] Pada 31 Maret 1999, pemerintah kemudian membatalkan perjanjian ruislag antara PT GBS dan Bulog. Selain karena PT GBS gagal memberi tanah pengganti yang dijanjikan, juga karena Goro menunggak ganti rugi Rp 4,7 miliar dan biaya sewa Rp 8,7 miliar (atau 12% saham Goro) ke Bulog.[54] Pengusutan 1998-2004Tidak lama setelah kejatuhan Orde Baru, kasus Goro segera diusut pemerintah. Pada November 1998, Kejaksaan Agung membentuk tim khusus demi menyelidiki kasus ini.[55] Tommy kemudian diperiksa oleh Kejagung pada 23-25 November 1998,[56] dan pada 9 Desember 1998 resmi ditetapkan sebagai tersangka bersama Ricardo.[57] Beddu dan Hokiarto kemudian juga mengalami nasib yang sama,[58] dan pada 19 Februari 1999 Tommy, Beddu dan Ricardo menjadi terdakwa dan kasusnya mulai disidangkan di pengadilan.[46] Dalam persidangan, Tommy membantah tuduhan bahwa ia memengaruhi ayahnya, mantan presiden Soeharto untuk memuluskan ruislag Goro.[59] Anehnya, pada 14 Oktober 1999, Tommy, Ricardo dibebaskan dengan alasan masalah Goro adalah urusan perdata, ditambah alasan tidak ada bukti kuat. Beddu sebelumnya juga dibebaskan pada 14 April 1999 dengan alasan tidak ada jabatan Beddu (anggota MPR) dalam lembaran dakwaan dan ia tidak dapat diusut karena jabatannya. Tidak lama kemudian, Jaksa Penuntut Umum Fachmi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah melalui berbagai persidangan, pada 22 September 2000, hakim Marnis Kahar, Syafiuddin Kartasasmita dan R. Sunu Wahadi[60] justru menghukum Tommy dan Ricardo dengan hukuman 18 bulan penjara, denda Rp 30 miliar dan Rp 7,67 miliar masing-masing untuk Tommy dan Ricardo. Menurut istri kedua Syafiuddin Iwah Setiawati, suaminya pernah ditawar Tommy uang Rp 5-20 miliar untuk memutus bebas dirinya, namun sang hakim menolak.[61][62] Tidak lama kemudian, pada 2 dan 3 Oktober 2000, Ricardo dan Tommy mengajukan grasi ke Presiden Abdurrahman Wahid, dan mengajukan Pengajuan Kembali pada 30 Oktober 2000. Ketika akhirnya Gus Dur menolak grasi Tommy dan Ricardo pada 2 November 2000, Tommy lalu melarikan diri ketika hendak dieksekusi.[63] Tommy kemudian dijadikan buron Interpol sejak 10 November 2000, sementara Ricardo memilih mengikuti hukumannya.[64][65][46] Untuk melacak keberadaan Tommy, dilakukan investigasi dan pertemuan dengan kakaknya Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), Maya Rumantir dan Ardhia Pramesti Regita Cahyani (Tata, istri Tommy saat itu).[66][46] Tommy sempat hampir berhasil ditangkap pada Desember 2000, namun berhasil melarikan diri dengan menipu polisi.[67] Tommy, yang kemudian menyamarkan nama dirinya sebagai "Ibrahim",[68] dituduh pemerintah dan penegak hukum telah berkolusi dengan GAM, mendalangi sejumlah pengeboman, memiliki bunker untuk bersembunyi,[69] dan kemudian dibekukan rekening banknya di 3 bank agar dapat dilacak serta asetnya disita negara.[70][71] Tidak hanya itu, setelah investigasi menemukan dugaan kuat Tommy menyimpan bahan peledak dan senjata api, Tommy dicekal pemerintah ke luar negeri pada 24 Oktober 2001.[72] Ketika Tommy melarikan diri, ia lalu membayar Mulawarman dan Noval Hadad untuk menembak salah satu hakim yang telah menghukumnya kembali, yaitu Syafiuddin Kartasasmita dengan bayaran Rp 100 juta. Di Jl. Pintu Air Serdang, Kemayoran, keduanya lalu menembak Syafiuddin di Honda CR-V-nya pada 26 Juli 2001 jam 08:00 WIB, menyebabkan ia tewas.[61] Pada 7 Agustus 2001, Noval dan Mulawarman diringkus polisi, dan kemudian Tommy ditetapkan oleh Polri sebagai dalang penembakan tersebut,[73] dengan tawaran Rp 50 juta bagi yang mengetahui keberadaan sang "Putra Cendana".[74] Pada 28 November 2001, Tommy berhasil ditangkap di Bintaro Jaya, Tangerang.[75] Ia lalu disidangkan dan dihukum 15 tahun pada 26 Juli 2002,[64] meskipun sebelumnya pada 1 Oktober 2001 putusan hukuman 18 bulannya atas kasus Goro telah dibatalkan oleh PK dirinya di MA.[76][46] Tommy akhirnya tetap dihukum karena terbukti telah menyimpan senjata api, melakukan pembunuhan berencana, menghalang-halangi kinerja pegawai pemerintah, dan lainnya.[77] Melalui remisi beberapa kali dan PK di MA atas putusan pembunuhannya tersebut, akhirnya Tommy hanya dipenjara hingga 1 November 2006, kurang dari setengah masa hukumannya yang aslinya.[64][61] Kritikus menganggap hukuman Tommy dipotong karena pengaruhnya sebagai anak mantan presiden, meskipun dibantah Wapres Jusuf Kalla saat itu yang menyatakan Tommy dibebaskan sesuai prosedur.[78] Sementara itu, rekan Tommy di Goro, Ricardo Gelael bebas setelah mendapatkan remisi pada 17 Agustus 2001[46] yang berarti memotong hukuman yang sudah dijalaninya dan membebaskannya lebih cepat.[79] Konon, baik Tommy maupun Ricardo ditahan dalam "sel" yang mewah di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, dengan fasilitas seperti kulkas, televisi, laptop, pendingin udara, ditambah dengan jam besuk yang lama.[80] Sementara Tommy melarikan diri dan Ricardo ditahan, pengadilan kemudian melanjutkan sidang akan kasus Goro. Pengadilan kemudian memanggil beberapa saksi, seperti mantan Mensesneg Moerdiono, mantan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, beberapa pejabat PT GBS seperti Candra Purnomo, Ken Leksono, John Ramses, dan Arioanto Priambodo.[50] Setelah diperiksa kembali Kejagung pada 12 Oktober 2000,[81] Beddu kemudian juga dijadikan tersangka kembali sejak 28 November 2000,[82] dengan persidangannya mulai diadakan pada awal 2001.[83] Beddu membantah tuduhan korupsi padanya dengan alasan ia hanya melaksanakan kebijaksanaan pemerintah,[84] dan mengaku Bulog masih untung Rp 9 miliar ditambah tidak adanya kerugian negara.[85] Pada 6 November 2001, Beddu divonis 2 tahun penjara dengan ganti rugi Rp 5 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.[86] Ketika Beddu banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, pada 27 Agustus 2002 hukumannya diperberat menjadi 4 tahun.[87] Berusaha mengajukan PK ke MA namun gagal,[88] sejak 8 Mei 2006 Beddu sudah bebas bersyarat setelah menjalani hukuman dan membayar dendanya.[89] Lain lagi dengan terdakwa lain, Hokiarto. Ia tidak seperti tiga tersangka (Tommy, Beddu dan Ricardo) yang sempat bebas, sejak September 1999 ia harus menjalani tahanan kota. Setelah menjadi saksi pada kasus tiga terdakwa lain, kasus Hokiarto dilimpahkan ke pengadilan pada 19 Juli 2002 dan mulai disidangkan pada 12 Agustus 2002.[90] Hokiarto dituduh merugikan negara sebanyak Rp 52,5 miliar,[91] namun ia membantahnya dan justru merasa dirugikan karena pembayaran dari PT GBS belum diterimanya.[92] Sempat kemudian dibebaskan pada 5 September 2002 dengan alasan dakwaan kurang memenuhi syarat,[93] Hokiarto kembali disidang pada Maret 2004 dengan alasan sebagai pelaku utama,[94] namun kemudian tidak jelas akhirnya. Hokiarto kemudian baru tertangkap dan ditahan pada 2017 karena kasus lainnya yang tidak berhubungan.[95] Gugatan perdata 2007-2008Setahun setelah Tommy bebas, pada Agustus 2007, pengadilan kembali menyidangkan gugatan perdata atas kerugian negara Rp 95 miliar kepada Tommy, beserta kasus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh, Timor Putra Nasional dan PT Sempati Air.[96] Kali ini, Bulog melalui jaksa pengacara negara (Kejagung) langsung menggugat PT GBS (sebagai tergugat 1), Tommy (sebagai tergugat 2), Ricardo (sebagai tergugat 3) dan Beddu (sebagai tergugat 4). Bulog menuntut ganti rugi materil sebesar Rp 244 miliar, immateril Rp 100 miliar dan bunga atas ganti rugi materiil dan immateril sebesar Rp 206,52 miliar.[97] Alasannya, para tergugat sudah melakukan pemufakatan yang menyebabkan kerugian negara dan tukar guling PT GBS-Bulog tidak dilakukan sesuai kapasitasnya.[98] Kasus yang terdaftar dengan nomor perkara 1228/Pdt.G/2007/PN Jaksel pada 22 Agustus 2007 ini diajukan sebagai upaya pemerintah memperpanjang pembekuan rekening Tommy di BNP Paribas Guernsey yang hanya boleh diperpanjang jika Tommy terbukti bersalah.[99][96][100][101] Menghadapi gugatan itu, pada 27 Desember 2007,[97] Tommy menggugat balik Bulog dengan alasan pencemaran nama baik, dengan tuntutan ganti rugi materil US$ 985 juta (Rp 9,25 triliun) dan inmateril Rp 1 triliun.[102] Pihak Goro juga sempat keberatan dan berusaha membatalkan tuntutan itu dengan alasan PT GBS sudah pailit, sehingga gugatan itu tidak layak, namun ditolak pada 17 Desember 2007.[103] Sempat juga berusaha menjalani mediasi dan menawarkan sejumlah aset (uang, tanah, dll) untuk Bulog,[104][105] namun gagal. Akhirnya, pada putusan yang dibacakan di PN Jakarta Selatan (tempat gugatan diajukan), gugatan perdata Bulog kepada Tommy pun ditolak dan sebaliknya Tommy sukses memaksa Bulog membayar Rp 5 miliar dari gugatan pencemaran nama baiknya.[106] Goro dianggap sudah membayar kewajibannya dengan kasus kepailitannya dan Tommy-PT GBS tidak bersalah.[107] Meskipun Bulog sempat merencanakan banding, pada 19 Maret 2008 Bulog dan PT GBS pun berdamai.[108] Kasus gulaPada 16 Januari 2001, perusahaan gula Uni Emirat Arab PT Al Khaleej Sugar Co., melaporkan PT Goro Batara Sakti yang dituduh mencuri 100.000 ton gula dari gudang miliknya. Pencurian gula itu diduga terjadi pada 12 Desember 2001, ketika manajer operasional Goro, Hamka BK membobol gudang Al Khaleej di Jl. Agung Karya VIII, Sunter, Jakarta Utara dengan rekan-rekannya. Gula itu dirampas ketika seharusnya PT GBS membayar 20% uang muka dari gula impor yang direncanakan dibeli oleh PT GBS dari Al Khaleej pada 1999. Pimpinan Goro, Nurdin Halid, saat itu direncanakan akan diperiksa polisi.[109] Goro (2018-sekarang)Di bawah PT Berkarya Makmur Sejahtera (terkait Partai Berkarya), pada 17 Oktober 2018 Tommy (bersama dua saudarinya Mamiek dan Titiek) membuka kembali cabang pertama perkulakan Goro miliknya di Cibubur, Jakarta Timur[3] seluas 5.600 meter persegi. Goro mengambilalih perkulakan SaveMax yang kemudian diubah menjadi gerai Goro baru, dan diklaim berbeda dari Goro yang lama. Goro versi baru ini kemudian baru diresmikan pada 7 April 2019, dan memiliki visi demi memajukan ekonomi UMKM, petani, peternak dan pedagang kecil dengan gotong royong, terkhususnya pada pembinaan mereka. Goro diklaim barang-barangnya cukup banyak disuplai oleh UMKM yang mudah diakses masyarakat luas, karena itu harganya lebih murah.[110] Tommy (yang menjadi Presiden Komisaris di PT Berkarya) menyatakan bahwa Goro akan dikembangkan untuk ada di masing-masing provinsi, kecamatan, kabupaten, kota dan desa dengan "Goro Channeling". Goro diklaim pada 2019 sudah memiliki cabang di Cibubur, Surabaya, Wonosobo, Bandung, Papua dan memiliki total 69 warung (e-warung Goro), belum lagi diperluas secara daring maupun konversi/ganti nama dari toko sebelumnya.[111] Selain itu, Goro sudah menggandeng 8 koperasi dan 5000 pelanggan di Cibubur (2019), ditambah juga 50 komunitas dan lebih dari 100 UMKM. Goro memiliki target untuk berekspansi 6 gerai baru pada tahun 2019.[2][3] Sekilas, kerjasama yang ditawarkan mirip dengan Goro lama, dengan menawarkan bantuan kerja sama operasi dengan sejumlah toko kecil, ditambah pelatihan yang dilakukan oleh Goro. Para toko yang dibantu dan dilatih itu diharapkan juga membantu masyarakat sekitarnya.[3] Tommy juga menyatakan ia berminat membawa Goro baru menjadi perusahaan publik agar bisa dimiliki masyarakat luas.[112] Dalam perkembangannya, Goro juga kemudian memperluas bisnisnya dengan membuka minimarket yang diklaim dibangun bersama komunitas.[113] Pada akhir 2019, Goro disebutkan memiliki 25 gerai (grosir dan minimarket), ditambah akan berekspansi lagi menjadi 120.[114] Selain itu, Goro Cibubur juga diklaim bertumbuh sebanyak 23-25% hanya beberapa bulan setelah dibuka.[115] Akan tetapi, sayangnya gerai di Cibubur hanya bertahan sampai 16 Desember 2020,[116] untuk kemudian pindah ke Icon Walk, Cimone, Tangerang, yang bisa dikatakan kurang begitu sukses.[117] Gerai Goro ini diresmikan pada 12 April 2021.[118] Rujukan
Pranala luar |