Share to:

 

Hasta Mitra

Hasta Mitra adalah nama sebuah penerbit buku di Indonesia yang didirikan oleh Hasjim Rachman, Joesoef Isak, dan Pramoedya Ananta Toer, tiga orang tahanan politik Indonesia yang diasingkan di Pulau Buru.

Setelah ketiganya dibebaskan dari Buru pada tahun 1979, mereka membentuk Hasta Mitra pada April 1980. Jalan ini ditempuh ketiga orang tersebut agar masih bisa bekerja dalam bidang yang dekat dengan profesi lama mereka: jurnalistik dan sastra. Hasjim, Joesoef, dan Pramoedya sebelumnya telah dilarang oleh pemerintah untuk kembali ke profesi lama tersebut, dan dengan mendirikan Hasta Mitra mereka juga dapat menampung sekitar 20 bekas tahanan politik lain yang kebetulan semua Tapol kamp Pulau Buru. Selama di kamp Buru demi solidaritas keduapuluh tahanan tersebut pernah memberikan segala macam akomodasi kepada Pramoedya agar tetap bisa menulis tanpa memikirkan kebutuhan sehari-hari a.l. kertas, tembakau, memperbaiki mesin tik yang digunakan Pramoedya, dan lainnya. Dan di antara mereka semua Kasto dan Sugeng Sumarnoputra yang paling setia ikut menghadapi pembredelan Kejaksaan Agung. Sugeng Sumarnoputra merupakan tapol Buru termuda, berusia 11 tahun sewaktu pertama kali masuk kamp Buru.

Buku pertama yang diterbitkan Hasta Mitra adalah Bumi Manusia (1980) jilid pertama dari Tetralogi Buru, karya Pramoedya. Buku ini kemudian dilanjutkan Anak Semua Bangsa (1981). Keduanya laris di pasaran—Bumi Manusia berhasil terjual sebanyak 60.000 eksemplar hanya dalam waktu enam bulan dan Anak dicetak ulang tiga kali dalam waktu enam bulan. Keduanya kemudian dibredel pemerintah secara resmi pada 29 Mei 1981, karena "membahayakan stabilitas nasional". Pembredelan ini dilakukan hanya setelah jaksa agung yang lama diganti dan wakil presiden Adam Malik, yang sebelumnya telah memuji kedua novel tersebut, berada di luar negeri.

Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka adalah bagian dari perjuangan. Pada tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Toyota Foundation pun berjanji akan membantu copyright untuk menerbitkan karya Pramoedya di Jepang. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung.

Setelah pelarangan

Setelah dilarang, semua agen dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif menyerahkannya secara sukarela. Sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar.

Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada Hasta Mitra, sehingga pendapatan Hasta Mitra terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an toko buku Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka secara terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu kemudian terpaksa ditutup. Niat menerbitkan karya eks-tapol yang lain pun diurungkan.

Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko buku, tetapi tidak selalu mendapat tanggapan positif.

Karya-karya Pramoedya yang selanjutnya terpaksa diterbitkan dengan hanya mengandalkan dana-dana dari kerabat dekat yang mengumpulkan 50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama terjemahan dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat kota Amsterdam dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977 bermukim di Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia (Aarde Der Mensen) dalam bahasa Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa.

Ada juga beberapa penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 Pramoedya pernah menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak membayar royalti.

Perkembangan Hasta Mitra

Arok Dedes

Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan komunitas pembaca buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa pada zaman itu membaca terbitan Hasta Mitra menjadi semacam bacaan wajib untuk mereka yang tertarik pada nasib negerinya. Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi perjuangan gerakan demokrasi, di samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa.

Setelah era Reformasi, baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama ini untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di muka, pembayaran dilakukan tepat tatkala buku selesai dicetak serta belum diedarkan ke pasaran.

Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh Joesoef Isak.

Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing, walau masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun Joesoef Isak masih bersemangat dan terus memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit bagi gerakan demokrasi.

Das Kapital

Saat ini, Hasta Mitra juga menerbitkan karya-karya selain Pramoedya, misalnya terjemahan lengkap dokumen Departemen Negara AS tentang pengambil alihan kekuasaan Indonesia oleh Soeharto pada tahun 1965 dalam bahasa Indonesia dan terjemahan pertama Das Kapital tulisan Karl Marx.

Kini karya-karya Pramoedya yang identik dengan Hasta Mitra, diterbitkan oleh Lentera Dipantara, sebuah penerbit yang dikelola sendiri oleh salah seorang putri Pramoedya bersama-sama dengan beberapa orang muda yang menyatakan diri pengagum karya-karya Pram. Meskipun demikian, sejarah karya-karya Pramoedya tidak lepas dengan sejarah Hasta Mitra.

Lihat pula

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya