Share to:

 

Homo faber

Seorang perempuan yang sedang mengerjakan pekerjaan pabrik

Homo Faber merupakan sebuah konsep yang menggambarkan manusia sebagai pekerja.[1] Pekerjaan adalah hal yang utama di dalam kehidupan manusia.[1] Dalam konsep homo ludens, hidup manusia tidak mempunyai arti tanpa pekerjaan.[1]

Penjelasan

Pemahaman deus ludens dipengaruhi konsep Deus Faber.[2] Dalam konsep ini, kemampuan manusia diukur berdasarkan prestasi kerjanya maupun apa yang dihasilkan oleh manusia tersebut.[3] Dalam konsep ini, manusia mampu mengenal dirinya melalui apa yang mereka kerjakan.[1] Nilai-nilai kehidupan manusia ditemukan melalui apa yang mereka kerjakan.[1] manusia mampu mengukur kemampuannya sendiri.[4] Perkembangan teknologi turut mempengaruhi konsep deus ludens.[1] Manusia tidak mempunyai arti untuk hidup jika ia tidak mengerjakan sesuatu.[1] Dalam konsep ini, manusia memandang kehidupan sesamanya sebatas pekerjaan.[5] Hal ini menyebabkan relasi antara sesama manusia pun tidak dipandang sebagai relasi personal atau relasi antar sesama manusia.[4] Dalam konsep homo faber, relasi antara satu manusia dengan manusia lain berubah menjadi relasi manusia kepada benda atau objek.[4] Objek disini berarti sesuatu yang dapat diukur dan dikendalikan.[4] Perkembangan maupun perubahan yang terjadi dalam diri manusia pun dinilai dari produktivitas atau hasil akhir dari pekerjaan yang dilakukan oleh manusia tersebut.[4] Dunia atau alam semesta akhirnya pun bisa diukur karena perkembangan teknologi yang merupakan bagian dari pekerjaan manusia.[5] Homo faber juga memungkinkan manusia untuk mengukur berbagai hal dalam dunia atau alam semesta.[5] Secara singkat, manusia melalui apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan dapat melihat serta mengukur dirinya maupun hal-hal lain yang berada di luar dirinya.[6] Konsep yang merupakan pasangan dari homo faber adalah Homo ludens.[2]

Pengaruh

Konsep homo faber mempunyai pengaruh dalam kehidupan manusia.[2] Kita dapat menemukan konsep homo faber dalam berbagai negera.[2] Jepang adalah salah satu contoh negara yang sangat menekankan konsep homo faber.[5] Hal ini dapat dilihat dari tingginya jam kerja yang dimiliki oleh masyarakat Jepang.[2] Homo faber juga memungkinkan seseorang menjadi workaholic.[2] Selain Jepang, Rusia saat masih menjadi bagian dari Uni Sovyet pun demikian.[2] Saat itu, Uni Sovyet berada di bawah pimpinan Josef Stalin.[2] Rusia menganut paham komunis.[2] Masa itu, Rusia bahkan memberikan penghargaan kepada seseorang yang dipandang mempunyai semangat kerja yang tinggi.[2] Penghargaan yang diberikan Rusia kepada orang tersebut dapat dikatakan sama dengan penghargaan nobel.[2]

referensi

  1. ^ a b c d e f g (English) Keekok Lee. 1999. The Natural and the artefactual: The Implication of Deep Science and Deep Technology for environmental philosophy.Maryland: Lexington Books.
  2. ^ a b c d e f g h i j k Emanuel Gerrit Singgih. 2011. Dari Eden ke Babel: Sebuah Tafsir Kejadiaan 1-11. Yogyakarta: Kanisius.
  3. ^ (English) Ton Van Prooijen. 2004. Limping but blessed: Jurgen Moltmann's Seacrh for a liberating theology. Rodopi B.V.:Amsterdam.Hlm 243.
  4. ^ a b c d e (English) Josef Tischner. 1994. The Philosophy of Person: Solidarity and Cultural Creativity. Washington: Paideia Press & The Council for Research in Values and Philosophy. Hlm 85-91.
  5. ^ a b c d (English) Lewis P. Hinchman. 1994.Hannah Arendt: Critical Essays. Albany:New York Press. Hlm 234-236.
  6. ^ (English) Warner, Karl Raff. 2001. New Pharmalogical approaches to reproductive Health and Healthy Ageing. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Lihat pula

Kembali kehalaman sebelumnya