Hotel Indonesia
Hotel Indonesia adalah hotel mewah bersejarah yang terletak di Jakarta, Indonesia. Dibuka pada tahun 1962, hotel ini mencetak sejarah sebagai hotel berbintang 5 pertama yang ada di Indonesia.[1] Dibangun untuk menyambut Pesta Olahraga Asia 1962, ide pembangunan hotel ini digagaskan oleh Presiden Soekarno untuk mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.[2] Gedung hotel menempati lahan seluas 25.082 m2 dan terdiri atas dua sayap gedung yang membentang di sudut barat daya Monumen Selamat Datang, sebuah patung di tengah-tengah bundaran yang dikenal oleh masyarakat umum dengan nama "Bundaran Hotel Indonesia" (Bundaran HI), nama yang diambil dari hotel ini.[3][4] Pemerintah Indonesia, melalui Injourney Hospitality, mempercayakan Djarum sebagai pengelola hotel melalui kontrak bangun-guna-serah yang ditekan pada tahun 2004.[5] Sejak tahun 2009, Djarum dibantu dalam pengelolaan hotel oleh Kempinski, perusahaan penyantunan asal Swiss.[6] Pada tanggal 29 Maret 1993, Hotel Indonesia ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Daerah Jakarta dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475.[7] SejarahHotel Indonesia adalah hasil ide Presiden Soekarno untuk membangun sebuah hotel berkelas internasional di ibukota Indonesia, Jakarta. Sebelum hotel ini dibangun, Jakarta tidak memiliki hotel berbintang 5, sementara satu-satunya hotel yang berkelas internasional, Hotel des Indes, diwariskan dari zaman penjajahan Belanda. Pemilihan Indonesia sebagai tuan rumah dari Pesta Olahraga Asia 1962 juga menitikberatkan kebutuhan akomodasi mewah untuk tamu luar negeri. Melalui hotel ini, Soekarno hendak mempersembahkan kemakmuran Indonesia di panggung internasional.[8] Berita mengenai proyek hotel pertama kali dilaporkan pada tahun 1956, ketika Bank Industri Negara mengumumkan bahwa mereka hendak membangun hotel berlantai 8 di Jalan M.H. Thamrin. Java-bode, sebuah koran berbahasa Belanda, mengklaim bahwa rancangan sudah mulai digodok sejak tahun 1954, namun baru dipamerkan dua tahun kemudian. Margono Djojohadikoesoemo, pendiri Bank Negara Indonesia, ditugaskan oleh Soekarno untuk memilih lahan pembangunan hotel. Lokasinya di ujung selatan Jalan M.H. Thamrin dianggap strategis karena berada di antara Menteng dan Kebayoran Baru. Sutikno Lukitodisastro, Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru, menangani pembebasan lahan. Saat itu, sebagian besar wilayah di sekitar hotel masih berupa perkebunan.[8] Proyek hotel sempat terhambat karena masalah biaya hingga Soekarno berhasil melobi Jepang untuk membayarkan dana pampasan perang pada tahun 1958, ditambah dengan bantuan ekonomi dan pembatalan utang luar negeri, sebesar US$800 juta. Dana tersebut digunakan untuk membangun empat hotel berstandar internasional di Indonesia: Hotel Indonesia, Ambarrukmo Palace Hotel, Samudra Beach Hotel, dan Bali Beach Hotel.[9] Pembangunan hotel dimulai pada bulan Desember 1959, dengan PP Taisei, perusahaan patungan antara Pembangunan Perumahan dan Taisei, sebagai kontraktor, mengikuti rancangan arsitektur yang digarap oleh pasangan suami istri Abel dan Wendy Sorensen. Pembangunan yang melibatkan 1.200 tenaga konstruksi dan menghabiskan biaya Rp4 miliar tersebut memakan waktu 2 tahun dan sempat dilanda beberapa kontroversi, seperti pengamanan 17 tenaga konstruksi yang diduga mencuri bahan-bahan konstruksi pada bulan November 1961, dan isu manipulasi uang pembangunan sebesar Rp200 juta. Pemerintah Indonesia menekan kontrak kerja sama dengan Intercontinental Hotels Corporation, perusahaan penyantunan milik maskapai penerbangan Pan American World Airways, untuk mengelola hotel tersebut sebagai cabang pertama mereka di Asia-Pasifik. Hotel Indonesia Intercontinental menerima tamu pertama mereka, seorang pegawai Yayasan Rockefeller bernama Robert Atwell, pada tanggal 16 Juli 1962. Saat itu, hanya Ramayana Wing saja yang baru beroperasi, sementara Ganesha Wing baru dibuka bersamaan dengan acara peresmian yang dilakukan pada 5 Agustus 1962, tanggal yang juga ditetapkan sebagai hari jadi PT Hotel Indonesia International (HII), badan usaha milik negara Indonesia yang mengurus hotel. Selama pagelaran Pesta Olahraga Asia 1962, penjatahan hotel dibagi menjadi 90% untuk tamu-tamu luar negeri, sementara sisanya diperuntukkan untuk tamu-tamu domestik.[8][10] Pasca Pesta Olahraga Asia 1962, Hotel Indonesia Intercontinental mempertahankan reputasinya sebagai hotel untuk kalangan jet set berikut seniman dan sineas Tanah Air. Kontrak pengelolaan Intercontinental berakhir pada tahun 1972, dan, 2 tahun kemudian, hotel mengalami "Indonesianisasi" dengan dipilihnya Peter J. Soehardjo sebagai General Manager pertama yang asli Indonesia. Untuk menyambut Konferensi Pacific Area Travel Association 1974, HII membangun perluasan bernama Bali Wing di samping barat Ganesha Wing, dengan jumlah lantai sebanyak 8 dan kapasitas kamar sebanyak 230. Perluasan dilakukan oleh Pembangunan Perumahan dan berlangsung antara bulan April 1972 dan Maret 1974. Bali Wing diresmikan pada tanggal 23 Maret 1974, bersamaan dengan peresmian Hotel Borobudur Jakarta dan Grand Sahid Jaya Jakarta. Pada tanggal 14 Maret 1977, hotel menekan kerja sama dengan ITT Sheraton dan bersalin nama menjadi Hotel Indonesia Sheraton, namun kontrak ini berakhir pada tanggal 31 Desember 1981. Hotel Indonesia direnovasi untuk pertama kali pada tahun 1987, tepat pada ulang tahunnya yang ke-25, dengan biaya yang digelontorkan sebesar Rp8 miliar.[8] Pada bulan Februari 2004, Djarum menjalin kerja sama dengan Hotel Indonesia Natour (HIN), penerus dari HII, untuk mengelola Hotel Indonesia melalui kontrak bangun-guna-serah. Hal ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah untuk merevitalisasi hotel tua tersebut yang reputasinya mulai menurun sejak krisis finansial Asia 1997.[11][12] Hotel ditutup pada tanggal 30 April 2004, sehingga merumahkan lebih dari 700 karyawannya.[13] Renovasi dimulai pada bulan Agustus 2004 dan memakan waktu 4 tahun. Renovasi ini tidak hanya menyegarkan bangunan dan interior hotel, namun juga mengembangkannya menjadi pusat dari sebuah superblok, dengan total investasi yang dikeluarkan mencapai Rp2,3 triliun.[14] Gedung Bali Wing dan Inna Wisata, sebuah hotel milik HIN yang terletak di sebelah barat Hotel Indonesia, dirobohkan untuk digantikan dengan mal Grand Indonesia.[15] Sayap timur Grand Indonesia mengelilingi Hotel Indonesia, membentuk huruf L, dan berdempetan dengan apartemen mewah berlantai 57 yang berada di Jalan H.M. Saleh Ishak dan Menara BCA berlantai 56 di Jalan M.H. Thamrin.[16][17] Djarum mengundang Kempinski untuk mengelola hotel dan apartemen, dan hotel pada akhirnya dibuka kembali pada tanggal 28 Februari 2009 dengan nama Hotel Indonesia Kempinski Jakarta.[18] ArsitekturHotel Indonesia dirancang oleh Abel Sorensen, seorang arsitek asal Denmark, bersama dengan istrinya, Wendy, yang berasal dari Amerika Serikat. Hotel ini terdiri atas dua bangunan besar, Ramayana Wing di selatan dan Ganesha Wing di utara. Ramayana Wing bertingkat 14 lantai, dengan kamar-kamar yang menghadap ke utara dan selatan, sementara Ganesha Wing bertingkat 8 lantai (awalnya dirancang hanya 4 saja), dengan kamar-kamar yang menghadap ke barat dan timur. Kamar-kamar di Ramayana Wing dengan posisi menghadap ke selatan memiliki balkon selebar 2 meter yang ditutupi oleh peneduh sinar berwarna krim, dengan bingkai jendela dari aluminium, sementara kamar-kamar dengan posisi menghadap ke utara didominasi oleh jendela dan ventilasi Louvre. Ramayana Wing terhubung dengan sebuah bangunan kecil bernama Ramayana Terrace yang digunakan untuk rumah makan. Sementara itu, Ganesha Wing terhubung dengan Bali Room, sebuah bangunan elips berukuran 45 x 23 meter untuk konferensi dan acara kebudayaan. Atelier 6, selaku arsitek renovasi hotel pada tahun 1987, melebarkan tepas dengan kanopi berukuran jumbo, ditopang oleh rangka ruang Mero asal Jerman di sudut Ramayana dan Ganesha Wing. Renovasi yang selesai pada tahun 2009 digarap oleh CallisonRTKL dan menyegarkan tampilan hotel agar mengikuti perkembangan zaman, seperti pemakaian panel komposit dan lis baja nirkarat.[8] FasilitasHotel Indonesia memiliki jumlah kamar sebanyak 289 yang dibagi menjadi 2 kategori besar, Room dan Suite. Terdapat 3 tipe kamar Room, yakni Deluxe Room (kamar menghadap ke taman di antara Grand Indonesia dan Ganesha Wing atau ke arah selatan), Grand Deluxe Room (kamar menghadap ke Monumen Selamat Datang), dan Executive Grand Deluxe Room (kamar menghadap ke Monumen Selamat Datang, tamu diberi akses ke Ganesha Club Executive Lounge). Kamar-kamar Suite juga memiliki 3 tipe: Salon Suite (tipe Suite standar, menyediakan ruang tamu), Diplomatic Suite (menyediakan ruang tamu, ruang makan, dan kamar mandi tamu), dan Presidential Suite (akomodasi tertinggi hotel seluas 412 m2 dengan 2 kamar tidur dan keseluruhan fasilitas Diplomatic Suite, ditambah ruang rapat, dapur, sauna, dan sarana kebugaran). Hotel menyediakan 6 rumah makan (Kempi Deli, Lobby Nirwana Lounge, Oku, Paulaner Bräuhaus, Signatures Restaurant, Sky Pool Bar & Cafe), kolam renang, spa, pusat kebugaran, 13 ruang rapat, dan 2 balai riung bernama Bali Room dan Kempinski Grand Ballroom.[19][20][21] Rujukan
Pranala luar
|