Hubungan cinta-benciHubungan cinta-benci atau hubungan bencinta adalah hubungan antarpribadi yang melibatkan emosi cinta dan benci secara bersamaan atau bergantian—sesuatu yang sangat umum ketika emosi sedang kuat. Istilah ini sering digunakan dalam psikologi, penulisan populer, dan kewartawanan. Ini dapat diterapkan pada hubungan dengan benda mati, atau bahkan konsep,[1][2] serta hubungan romantis atau antara saudara kandung dan orang tua/anak. Akar psikologisHubungan cinta-benci telah dikaitkan dengan terjadinya ambivalensi emosional pada masa kanak-kanak; dengan respons yang bertentangan dari berbagai kondisi ego yang berbeda dalam diri orang yang sama; atau dengan koeksistensi yang tak terelakkan dari konflik egoistik dengan objek cinta. Orang yang mengidap gangguan narsistik dan gangguan kepribadian ambang dipandang sangat rentan terhadap reaksi agresif terhadap objek cinta, tidak terkecuali ketika masalah identitas diri terlibat. Dalam kasus yang ekstrem, kebencian terhadap keberadaan orang lain mungkin merupakan satu-satunya emosi yang dirasakan, hingga cinta menerobos masuk di baliknya. Penelitian dari Universitas Yale menunjukkan bahwa hubungan cinta-benci mungkin merupakan hasil dari harga diri yang rendah.[3] Keluarga dan perkembanganHubungan cinta-benci juga berkembang dalam konteks keluarga, terutama antara seorang dewasa dan salah satu atau kedua orang tuanya.[4] Hubungan cinta-benci dan terkadang keterasingan total antara orang dewasa dan salah satu atau kedua orang tua mereka sering kali mengindikasikan ikatan yang buruk dengan salah satu orang tua pada masa kanak-kanak, gejala depresi pada orang tua, gangguan kepribadian ambang atau narsistik pada anak dewasa, dan/atau keterasingan orang tua pada masa kanak-kanak. Orang tua yang mengasingkan anak-anak mereka dari orang tua lain sering menderita gangguan kepribadian ambang atau gangguan kepribadian narsistik.[5] Anak-anak yang mengalami teknik pengasingan orang tua oleh orang tua berkepribadian ambang melaporkan prevalensi yang lebih tinggi dari harga diri yang rendah, kemandirian yang rendah, gaya kelekatan yang tidak aman, dan tingkat depresi yang lebih tinggi di masa dewasa. Salah satu tugas perkembangan manusia adalah menyeimbangkan dorongan cinta dan benci yang utama untuk mentoleransi ambivalensi terhadap objek yang dicintai. Ketika tugas ini tidak berhasil diselesaikan, psikopatologi parah dapat terjadi. Individu dengan gangguan kepribadian ambang dan gangguan kepribadian narsistik sering gagal menyelesaikan tugas ambivalensi. Mereka tidak dapat marah secara bersamaan pada seseorang yang mereka cintai, tanpa menghancurkan cinta itu (Corradi, 2013). Anak-anak tidak dapat menoleransi ambivalensi, dan didoktrin untuk memilih. Meskipun merasakan cinta untuk orang tua mereka yang terasing, mereka melepaskan sepenuhnya objek yang dicintai. Ini menciptakan kesempatan bagi perkembangan pertahanan ego pada anak yang disebut “pemisahan.” Sebagai cara untuk memahami pemisahan, fitur umum dari gangguan kepribadian ambang dan gangguan kepribadian narsistik, digambarkan sebagai "pola hubungan antarpribadi yang tidak stabil dan intens yang ditandai dengan pergantian antara idealisasi dan devaluasi yang ekstrem” (American Psychiatric Association, 2013, h. 663).[6] Hubungan cinta-benci mungkin berkembang ketika orang-orang telah benar-benar kehilangan keintiman dalam hubungan cinta, namun masih mempertahankan beberapa hasrat, atau mungkin janji terhadap satu sama lain, sebelum berubah menjadi hubungan benci-cinta yang mengarah pada perceraian. Budaya
Lihat pulaReferensi
Bacaan lebih lanjut
|