Share to:

 

Huma Talun

Huma Talun adalah sistem pengelolaan pertanian yang masih diterapkan oleh masyarakat adat Suku Sunda.[1] Beberapa yang masih menggunakan sistem Huma Talun ketika mengolah dan mengurus pertanian yaitu masyarakat adat Baduy[1]. Kata Huma berasal dari bahasa Sunda yang mempunyai arti ladang. Talun memiliki arti kebun yang menghasilkan buah-buahan dengan usia pohon relatif harus tahan lama.[2] Ada beberapa sebutan bagi jenis huma, menurut masyarakat Baduy. Huma yang sudah lama ditinggalkan hingga tumbuh semak disebut reuma, sedangkan huma yang baru saja ditinggalkan disebut jami.[1] Masyarakat adat percaya bahwa konsep mengurus ladang sangat erat kaitannya dengan sikap dan perilaku manusia. Masyarakat adat fokus menanam padi. Alasannya karena padi merupakan simbol tanaman yang mulia. Proses mengolah tanah dengan konsep huma, dipercaya bisa memberikan kesuburan bagi tanah dan menghindari erosi. Dari proses pengelolaan pertanian dengan cara huma, juga merupakan bagian dari mitigasi bencana. Orang Baduy sudah pandai memilih tanah agar tanah yang digunakan bukan lahan yang menyebabkan longsor. Selain memilih tanah, Orang Baduy juga membakar tanah untuk ladang dengan alasan agar menghindari kebakaran.[1]

Sistem pertanian di Baduy tidak mengenal sawah dan cangkul.[3] Masyarakat Baduy juga tidak menggunakan pupuk kimia dalam mengelola lahan pertanian.[4] Mereka lebih suka memanfaatkan kulit jeruk, daun mengkudu, dan kotoran ayam untuk dijadikan pupuk.[4] Alat yang digunakan dalam mengolah tanah di Baduy yaitu tugal, suatu alat yang berfungsi sebagai lubang tanam, yang memiliki panjang 1,5 meter.[3] Tanaman utama yang ditanam masyarakat Baduy yaitu padi. Namun, selain padi ada juga yang ditanam seperti sayuran, palawija, dan pohon sengon.[3] Aturan kepemilikan lahan tanah bisa dipindah tangankan kepada orang lain.[5] Aturan itu bisa berlaku apabila disetujui oleh pemilik sebelumnya, dan diatur dalam musyawarah adat.[5] Dengan menggunakan teknik Huma Talun, hingga kini masyarakat Baduy tidak pernah mengalami krisis pangan.[4] Aturan di Baduy sangat jelas, bahwa masyarakat tidak boleh menjual hasil panen.[4] Lumbung padi merupakan simbol kemakmuran bagi masyarakat Baduy.[4] Jumlah lumbung padi di Baduy sebanyak 405 lumbung, yang mampu menampung lima ton gabah.[6]

Perkembangan

Hingga abad ke-19, masyarakat di Jawa Barat bertani menggunakan konsep Talun, dengan cara bercocok tanam dengan berpindah-pindah.[2] Namun semakin hari keadaan hutan semakin sempit, hingga hanya masyarakat tertentu yang melestarikan hutan tersebut. Masyarakat itu di antaranya, Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar di kawasan Gunung Halimun, Sukabumi Selatan dan Masyarakat Baduy di kawasan Gunung Kendeng, Banten Selatan.[2] Dari perkembangan tersebut, ada teori yang membedakan jenis Talun. Pertama, Talun Permanen merupakan sistem pengolahan lahan yang tidak memiliki rotasi periodik setiap tahunnya.[2] Kedua, Talun Non-permanen merupakan sistem pengolahan lahan yang sering mengalami rotasi penanaman lahan.[2] Dari perkembangannya yang sangat panjang, kini Huma Talung sangat terasa manfaatnya di antaranya dalam bidang ekonomi. Dari bidang ekonomi bisa menghasilkan sayuran, bahan industri, buah-buahan, kayu bakar, hingga bahan bangunan.[2] Namun bagi masyarakat Baduy, hasil tersebut sudah cukup untuk keperluan memenuhi diri sendiri dan orang lain dan masih dengan prinsip tidak boleh menjual hasil pangan.[2]

Jenis Huma

Masyarakat Baduy mengenal beberapa jenis huma, yaitu:

  • Huma Serang, yaitu lokasi ladang adat, sifatnya milik bersama dan terletak di Baduy Dalam. Daerah yang menjadi lokasi huma serang yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.[1] Ladang jenis ini pengelolaannya bisa digarap secara bersama-sama oleh masyarakat Baduy.[7] Huma ini dianggap sakral, karena tujuannya untuk keperluan upacara adat.[7]
  • Huma Puun, yaitu ladang khusus untuk Puun yang sedang menjabat. Puun adalah ketua yang dipercayakan di daerah tersebut. Letak ladang puun, berada sangat dekat dengan rumah Puun.[1] Meskipun lahan ini milik Puun, tapi pengerjaannya dibantu oleh masyarkat. Lokasinya terletak di Baduy Dalam, dan luasnya sebesar 2-3 kali luas Huma Tangtu[7].
  • Huma Tangtu, merupakan ladang yang dikhususkan untuk keperluan masyarakat.[1] Luasnya sekitar 0,75- 1,5 hektar.[7]
  • Huma Tuladan, yaitu yang dikhususkan untuk keperluan upacara adat.[1]
  • Huma Panamping, yaitu ladang untuk masyarakat di daerah Baduy Panamping.[1]
  • Huma Urang Baduy, yaitu lahan yang dikhususkan untuk masyarakat Baduy Luar yang mempunyai fungsi untuk keperluan keluarga.[7]

Pengelolaan Tanah

Ketika memilih lahan untuk dijadikan ladang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Hal yang harus diperhatikan itu yaitu, jenis tanah, kandungan humus, dan kemiringan lereng. Pertama mengenai jenis tanah, hal ini bisa dilihat berdasarkan warna, kandungan air, dan udara.[1] Kedua, mengenai warna tanah. Warna tanah dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan taneuh beureum (tanah merah).[1] Ketiga, jenis tanah berdasarkan kandungan air dan udaranya terbagi menjadi dua yaitu, taneuh bear (tanah gembur) dan taneuh liket (tanah lengket).[1] Keempat, jenis tanah berdasarkan kandungan batunya terbagi menjadi dua, yaitu taneuh karang (tanah yang memiliki kandungan batu) dan taneuh teu aya batuan (tanah yang tidak memiliki batu).[1]

Tahapan

Dalam mengelola huma, ada beberapa tahapan yang harus secara rinci dilaksanakan secara turun-temurun. Sifatnya tidak boleh dihilangkan, harus secara urut dan tidak boleh diacak. Selalu ada upacara adat disetiap tahapannya. Hal dasar yang menjadi pantrangan ketika melaksanakan huma yaitu, merokok, kentut, meludah, berkata kasar, untuk laki-laki wajib menggunakan iket dan perempuan mengenakan kebaya. Tahapannya adalah sebagai berikut:

Narawas, adalah proses pembukaan lahan dan suatu tanda bahwa proses huma akan dimulai. Narawas merupakan kegiatan pembukaan huma yang telah lama ditinggalkan. Kondisi huma pada tahapan Narawas dipenuhi dengan rumput yang lebat serta pohon yang tumbuh sangat besar. Pelaksanaan Narawas dilaksanakan pada bulan Sapar atau hari pertama dalam penanggalan Baduy. Waktu pelaksanaan dari pagi hari hingga siang hari, atau sesuai arahan ketua adat ketika musyawarah. Tempat pelaksanaan dilakukan di huma serang. Tempat ini tidak bisa dipindahkan atau diganti. Ketua yang memipin pelaksanaan Narawas disebut Girang Seurat. Ketua ini ditetapkan langsung oleh Puun. Pelaksanaan Narawas dimulai dengan pembacaan doa, acara kedua yaitu membersihkan huma yang sudah lama ditinggalkan dengan cara memotong rumput dan ranting pohon yang lebat.[8]

Nyacar, merupakan kegiatan kedua yang dilaksanakan setelah Narawas. Nyacar berasal dari bahasa Sunda yang berarti memotong. Kegiatan memotong di sini kelanjutan dari kegiatan membersihkan ladang ditahap awal. Tujuannya agar dahan yang semula panjang, setelah dibersihkan pada tahap ini bisa bersih dan mengering. Sebelum melakukan kegiatan Nyacar, harus mempersiapkan kemenyan dan sesajen karena akan digunakan sebagai media dalam upacara ini.[8]

Nukuh, merupakan kegiatan ketiga dari runtuyan kegiatan pengelolaan ladang. Nukuh berasal dari bahasa Sunda yang berarti menebang pohon. Tujuan dari kegiatan ini yaitu, menebang pohon agar sinar matahari bisa memberi asupan untuk tanaman yang akan ditanam. Ketua yag memimpin kegiatan ini adalah Puun. Persiapan yang dilakukan yaitu menyiapkan golok dan sesajen. Sesajen yang harus disiapkan berupa telur ayam, pisau kecil, nasi congcot, kain kafan, dan kemenyan. Sesajen ini diletakan di sudut huma, lalu Puun membacakan mantra. Setelah Puun selesai membacakan mantra, masyarakat Baduy lalu memulai untuk menebang pohon dengan golok yang telah dipersiapkan.[8]

Ngahuru, berasal dari bahasa Sunda yang memiliki arti membakar. Sampah dari hasil memotong pohon dan rumput dibakar. Pelaksanaan pembakaran dilaksanakan apabila pohon dan ranting sudah kering. Bila dihitung dari kegiatan Nukuh sekitar 15 hari setelah itu. Kegiatan ini dipimpin oleh Puun. Proses awal Ngahuru yaitu pembacaan mantra oleh Puun di sudut huma. Setelah pembacaan mantra, ranting dan pohon dibakar.[8]

Ngaseuk, adalah penanaman benih padi. Pada bagian ini pelaksanaan dilaksanakan di leuit atau tempat penyimpanan padi. Ngaseuk dilakukan di sore hari. Persiapan yang dilakukan yaitu membuat sesajen. Isiya berupa jeruk nipis, minyak wangi, dan jawer kotok.[8]

Ngirab sawan, berasal dari dua kata yaitu ngirab dan sawan. Ngirab mempunyai arti menghadang, dan Sawan mempunyai arti hama. Kegiatan inti dari Ngirab sawan yaitu membasmi hama agar pertumbuhan tanaman tidak terhambat. Isi kegiatannya adalah memberi ramuan alami yang berasal dari dedaunan serta dianggap memiliki khasiat menyuburkan tanah. Pelaksanaan Ngirab sawan dilaksanakan pada saat padi berumur 40 hari, terhitung sejak benih padi ditanam. Sesuai dengan perhitungan, pada di 40 hari usia padi akan mengeluarkan pucuk.[8]

Sebelum pelaksanaan, masyarakat harus membuat ramuan dengan bahan dedaunan. Selain itu, harus mempersiapkan perlengkapan upacara adat untuk Ngirab sawan. Ramuan itu terbuat dari daun hanjuang, kelapa hijau, jeruk nipis, areuy beureum, daun seel, lengkuas yang tercampur dengan abu dapur. Selain ramuan, ada juga sesajen yang terdiri dari telur ayam, nasi congcot, sirih, kemenyan, dan bunga rampai[8].

Ketua yang meminpin kegiatan ini yaitu Girang Seurat. Tahapa pelaksanaan Ngirab sawan yaitu:

Mipit memiliki arti mememetik. Padi yang sudah ditanam akhirnya dituai.[8] Tanda padi bisa dipetik yaitu warnanya menguning. Memanen padi harus dimulai dari pungpuhunan. Setelah itu, baru padi di bagian huma serang bisa dipanen. Acara mipit dipimpin oleh Girang Seurat. Tahap persiapan sebelum mipit yaitu melaksanakan acara ngukus yang dilaksanakan tiga hari sebelumnya. Acara ngukus yaitu membakar kemenyan dan persembahan sesajen yang terdiri dari sirih, nasi congcot, bunga rampai, telur ayam, kain kafan, dan pisau kecil. Kegiatan ini dilaksanakan di huma pungpuhunan. Tahapan mipit terdiri dari:

  • Girang Seurat membacakan doa.[8]
  • Girang Seurat memetik padi di pungpuhunan dengan menggunakan ani-ani[8].
  • Istri Girang Seurat menyimpan hasil petikan padi di dangau huma[8].

Dibuat, adalah kegiatan memetik padi yang lokasinya di huma serang. Pada saat memetik, tidak boleh membuat padi itu terjatuh ke tanah. Upacara dipimpin oleh Girang Seurat. Perlengkapan yang diperlukan pada acara dibuat, sama dengan prosesi mipit. Setelah acara dibuat selesai, para perempuan Baduy bertugas untuk menuai padi dengan menggunakan ani-ani[8].

Nganyaran berasal dari bahasa Sunda yaitu anyar atau baru. Ngayaran merupakan kegiatan memberikan tanda bagi padi yang baru saja dipanen menjadi beras.[8] Pelaksanaan Ngayaran dilaksanakan ketika padi sudah menjadi kering. Setelah kering, padi tersebut ditumbuk dengan mengguakan alat tradisional yaitu lisung dan alu. Pelaksanaan dilakukan di saung lisung dan tidak boleh dipindahkan ke tempar lain. Pelaksanaan dilakukan oleh lima orang perempuan yang terdiri dari Istri Ketua Adat, Istri Girang Seurat, Istri Pelaksana Upacara, Istri Jaro Tangtum Istri Baresan, dan Istri Puun Pareman[8].

Perlengkapan yang diperlukan dalam acara ini yaitu, padi berjumlah lima ikat yang menjadi objek untuk ditumbuk, lisung dan alu digunakan sebagai alat untuk menumbuk padi, niru merupakan alat untuk membersihkan padi yang sudah ditumbuk, bakul merupakan alat untuk menyimpan hasil tumbukan, kain putih berfungsi sebagai penutup bakul, dan kain putih yang diletakkan di atas kain putih yang menutupi bakul.[8]

Runtuyan kegiatan ngayaran adalah sebagai berikut:

  1. Memulai kegiatan dengan mantra dan posisi padi sudah berada di dalam lisung.[8]
  2. Alu yang akan digunakan sebagai alat untuk menumbuk, diusap terlebih dahulu dengan air ludah.[8]
  3. Lima perempuan istri dari sesepuh adat memulai untuk menumbuk padi, dengan catatan tidak boleh sambil bercanda dan mengobrol.[8]
  4. Padi yang sudah ditumbuk menghasilkan beras yang sehat. Setelah itu, menyimpan beras di dalam bakul yang harus ditutupi kain putih lalu letakkan minyak wangi di atasnya.[8]
  5. Setelah selesai, bakul tersebut disimpan di rumah Girang Seurat[8].
  6. Beberapa bagian dari beras dimasak terlebih dahulu menjadi nasih tumpeng, setelah selesai diolah nasi tumpeng tersebut dibacakan mantra.[8]
  7. Nasi tumpeng yang sudah diberi mantra dibagikan kepada warga yang hadir untuk dimakan secara bersama.
  8. Acara diakhiri dengan makan sirih secara bersama-sama.[8]

Beras yang telah dipanen disimpan di Balai. Sebagian lagi dibagikan ke masyarakat, warga tidak boleh mengambil beras sebelum habis. Upacara Nganyaran merupakan bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah panen yang diterima.[8]

Pemeliharaan

Dalam proses huma, sering terjadi gangguan dalam hal mengurus tanaman. Salah satu musuh besar ketika menggarap huma yaitu tanaman liar yang tumbuh di ladang. Masyarakat Baduy biasa menggunakan alat tradisional yang disebut kored. Kegiatan pembersihan huma disebut ngored[3]. Kegiatan pembersihan ini dilakukan 2 hingga 3 kali selama membuka huma sesuai kondisi lahan. Ketika pembersihan pertama dilakukan dinamakan ngored munggaran, kondisi dimana tanaman di huma berusia satu setengah bulan.[3] Kegiatan pembersihan selanjutya dinamakan ngored ngarambas, yang dilakukan saat tanaman berusia 3 bulan. Bila terdapat tanaman yang terkena hama, masyarakat melakukan kegiatan ngubaran pare atau mengobati padi. Cara yang digunakan dengan cara menaburkan ramuan khusus yang dibuat secara alami dari dedaunan.[3]

Mitos Padi

Penghargaan kepada tanaman padi erat kaitannya dengan mitos padi. Masyarakat Jawa Barat percaya bahwa tanaman padi merupakan perwujudan dari Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi.[1] Jenis penghormatan itu dimulai dari tahap mengurus ladang, panen, hingga padi bisa menjadi beras. Sosok Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi sudah ada dan didokumentasikan dalam naskah Wawacan Sulanjana. Naskah itu bercerita, bahwa asal-usul padi berasal dari seorang Dewi yang sangat mulia bagi tokoh-tokoh yang dianggap mulia pula. Tokoh-tokoh yang dianggap mulia itu di antaranya Batara Guru, Prabu Siliwangi, dan Semar. Hingga kini, mitos mengenai Dewi Padi telah menjadi kearifan lokal dan harus tetap dilestarikan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o "Studi Kasus Kearifan Lokal (Local Wisdom) Masyarakat Suku Sunda Dalam Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan.pdf". Scribd. Diakses tanggal 2019-05-01. 
  2. ^ a b c d e f g -, - (-). "MEMBANGUN KEMBALI KEARIFAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA SISTEM AGROFORESTRY TRADISIONAL TALUN DI JAWA BARAT DALAM UPAYA MEMBANTU PELESARIAN HUTAN". www.kabarindonesia.com. Diakses tanggal 2019-05-01. 
  3. ^ a b c d e f Senoaji, Gung. "Sistem Agroforestry Masyarakat Baduy di Banten Selatan" (dalam bahasa Inggris). 
  4. ^ a b c d e "Menengok Kearifan Pangan Masyarakat Baduy". Tabloid Sinar Tani (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-05-01. 
  5. ^ a b "Tapak Kaki Baduy". tirto.id. Diakses tanggal 2019-05-01. 
  6. ^ Liputan6.com (2016-04-23). Ryandi, Eko Dimas; Mutiah, Dinny, ed. "Padi Huma, Rahasia Ketahanan Pangan Suku Baduy". Liputan6.com. Diakses tanggal 2019-05-01. 
  7. ^ a b c d e "Makna Simbolik Huma (Ladang) di Masyarakat Baduy". Itenas Library (dalam bahasa Inggris). 2012-10-30. Diakses tanggal 2019-05-01. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Satriadi, Yudi Putu (2015-09-01). "HUMA ORANG BADUY DALAM PEMBENTUKAN SIKAP SWASEMBADA PANGAN". Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. 7 (3): 559–574. doi:10.30959/patanjala.v7i3.119. ISSN 2598-1242. 
Kembali kehalaman sebelumnya