Share to:

 

Hutan

Hutan konifer di Pegunungan Alpen Swiss (Taman Nasional)
Pegunungan Adirondack dari Upstate New York membentuk bagian paling selatan dari kawasan ekologi Transisi hutan-boreal bagian timur.
Hutan di Gunung Dajt, Albania

Hutan, wana[1], atau alas[2] adalah wilayah daratan yang didominasi oleh pepohonan.[3] Ratusan definisi hutan digunakan di seluruh dunia, menggabungkan faktor-faktor seperti kerapatan pohon, tinggi pohon, penggunaan lahan, kedudukan hukum, dan fungsi ekologis.[4][5][6] Organisasi Pangan dan Pertanian mendefinisikan hutan sebagai lahan yang membentang lebih dari 0,5 hektar dengan pohon-pohon lebih tinggi dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 10 persen, atau pohon-pohon yang mampu mencapai ambang batas ini secara in situ. Ini tidak termasuk lahan yang didominasi oleh penggunaan lahan pertanian atau perkotaan.[7] Menggunakan definisi ini, FRA 2020 menemukan bahwa hutan mencakup 4,06 miliar hektar atau sekitar 31 persen dari luas daratan global pada tahun 2020.[8]

Hutan adalah ekosistem terestrial yang dominan di Bumi, dan tersebar di seluruh dunia.[9] Lebih dari separuh hutan dunia hanya ditemukan di lima negara (Brasil, Kanada, Cina, Federasi Rusia, dan Amerika Serikat). Bagian terbesar dari hutan (45 persen) ditemukan di domain tropis (hutan tropis), diikuti oleh domain boreal, beriklim sedang dan subtropis.[10]

Hutan menyumbang 75% dari produksi primer bruto biosfer Bumi, dan mengandung 80% biomassa tanaman Bumi. Produksi primer bersih diperkirakan sebesar 21,9 gigaton karbon per tahun untuk hutan tropis, 8,1 untuk hutan beriklim sedang, dan 2,6 untuk hutan boreal.[9]

Hutan pada garis lintang dan ketinggian yang berbeda, dan dengan curah hujan dan evapotranspirasi yang berbeda[11] membentuk bioma yang sangat berbeda: hutan boreal di sekitar Kutub Utara, hutan lembab tropis dan hutan kering tropis di sekitar Khatulistiwa, dan hutan beriklim sedang di garis lintang tengah. Daerah elevasi yang lebih tinggi cenderung mendukung hutan yang serupa dengan yang ada di lintang yang lebih tinggi, dan jumlah curah hujan juga mempengaruhi komposisi hutan.

Hampir setengah dari kawasan hutan (49 persen) relatif utuh, sementara 9 persen ditemukan dalam fragmen dengan sedikit atau tanpa konektivitas. Hutan hujan tropis dan hutan konifer boreal adalah yang paling sedikit terfragmentasi, sedangkan hutan kering subtropis dan hutan samudera beriklim sedang termasuk yang paling terfragmentasi. Sekitar 80 persen dari kawasan hutan dunia ditemukan di petak-petak yang lebih besar dari 1 juta hektar. 20 persen sisanya terletak di lebih dari 34 juta petak di seluruh dunia – sebagian besar berukuran kurang dari 1.000 hektar.[12]

Masyarakat manusia dan hutan saling mempengaruhi baik secara positif maupun negatif.[13] Hutan menyediakan jasa ekosistem bagi manusia dan berfungsi sebagai tempat wisata. Hutan juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Aktivitas manusia, termasuk penggunaan sumber daya hutan yang tidak berkelanjutan, dapat berdampak negatif terhadap ekosistem hutan.[14]

Di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.[15]

Bagian-bagian hutan

Hutan Slurup di gunung Wilis pada sisi Kabupaten Kediri, tepatnya di daerah Dolo kecamatan Mojo. Hutan dengan banyak aliran air, berhawa dingin dan tingkat kelembapan rendah

Bayangkan mengiris sebuah hutan secara melintang. Hutan seakan-akan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian di atas tanah, bagian di permukaan tanah, dan bagian di bawah tanah.

Jika kita menelusuri bagian di atas tanah hutan, maka akan terlihat tajuk (mahkota) pepohonan, batang kekayuan, dan tumbuhan bawah seperti perdu dan semak belukar. Di hutan alam, tajuk pepohonan biasanya tampak berlapis karena ada berbagai jenis pohon yang mulai tumbuh pada saat yang berlainan.

Di bagian permukaan tanah, tampaklah berbagai macam semak belukar, rerumputan, dan serasah. Serasah disebut pula 'lantai hutan', meskipun lebih mirip dengan permadani. Serasah adalah guguran segala batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Serasah memiliki peran penting karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah juga menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikro organisme lain. Uniknya, para penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu; menghan Semua tumbuhan dan satwa di dunia, begitupun manusia, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Jika suatu jenis tumbuhan atau satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Jika tidak, mereka justru tersingkir dari tempat ini. Contohnya, kita menemukan pohon bakau di daerah genangan dangkal air laut karena spesies pohon ini tahan dengan air asin dan memiliki akar napas yang sesuai dengan sifat tanah dan iklim panas pantai.

Sebaliknya, cara berbagai tumbuhan dan satwa bertahan hidup akan memengaruhi lingkungan fisik mereka, terutama tanah, walaupun secara terbatas. Tumbuhan dan satwa yang berbagi tempat hidup yang sama justru lebih banyak saling memengaruhi di antara mereka. Agar mampu bertahan hidup di lingkungan tertentu, berbagai tumbuhan dan hewan memang harus memilih antara bersaing dan bersekutu. Burung kuntul, misalnya, menghinggapi punggung banteng liar untuk mendapatkan kutu sebagai makanannya. Sebaliknya, banteng liar terbantu karena badannya terbebas dari sumber penyakit.

Jadi, hutan merupakan bentuk kehidupan yang berkembang dengan sangat khas, rumit dan dinamik. Pada akhirnya, cara semua penyusun hutan saling menyesuaikan diri akan menghasilkan suatu bentuk klimaks, yaitu suatu bentuk masyarakat tumbuhan dan satwa yang paling cocok dengan keadaan lingkungan yang tersedia. Akibatnya, kita melihat hutan dalam beragam wujud klimaks, misalnya: hutan sabana, hutan meranggas, hutan hujan tropis dan lain-lain.

Macam-macam hutan

Rimbawan berusaha menggolong-golongkan hutan sesuai dengan ketampakan khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia dalam mengenali sifat khas hutan. Dengan mengenali betul-betul sifat sebuah hutan, kita akan memperlakukan hutan secara lebih tepat sehingga hutan dapat lestari, bahkan terus berkembang.

Ada berbagai jenis hutan. Pembedaan jenis-jenis hutan ini pun bermacam-macam pula. Misalnya:

Kita mengenal hutan yang berasal dari biji, tunas, serta campuran antara biji dan tunas.

  • Hutan yang berasal dari biji disebut juga ‘hutan tinggi’ karena pepohonan yang tumbuh dari biji cenderung menjadi lebih tinggi dan dapat mencapai umur lebih lanjut.
  • Hutan yang berasal dari tunas disebut "hutan rendah" dengan alasan sebaliknya.
  • Hutan campuran, oleh karenanya, disebut "hutan sedang".

Penggolongan lain menurut asal adalah:

  • Hutan perawan (primer) merupakan hutan yang masih asli dan belum pernah dibuka oleh manusia.
  • Hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas. Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan kecil. Namun jika dibiarkan tanpa gangguan untuk waktu yang panjang, kita akan sulit membedakan hutan sekunder dari hutan primer. Di bawah kondisi yang sesuai, hutan sekunder akan dapat pulih menjadi hutan primer setelah berusia ratusan tahun.

Hutan dapat dibedakan sebagai hutan dengan permudaan alami, permudaan buatan, dan permudaan campuran. Hutan dengan permudaan alami berarti bunga pohon diserbuk dan biji pohon tersebar bukan oleh manusia, melainkan oleh angin, air, atau hewan. Hutan dengan permudaan buatan berarti manusia sengaja menyerbukkan bunga serta menyebar biji untuk menumbuhkan kembali hutan. Hutan dengan permudaan campuran berarti campuran kedua jenis sebelumnya.

Di daerah beriklim sedang, perbungaan terjadi dalam waktu singkat, sering tidak berlangsung setiap tahun, dan penyerbukannya lebih banyak melalui angin. Di daerah tropis, perbungaan terjadi hampir sepanjang tahun dan hampir setiap tahun. Sebagai pengecualian, perbungaan pohon-pohon dipterocarp (meranti) di Kalimantan dan Sumatra terjadi secara berkala. Pada tahun tertentu, hutan meranti berbunga secara berbarengan, tetapi pada tahun-tahun berikutnya meranti sama sekali tidak berbunga. Musim bunga hutan meranti merupakan kesempatan emas untuk melihat biji-biji meranti yang memiliki sepasang sayap melayang-layang terbawa angin.

Berdasarkan susunan jenisnya, kita mengenal hutan sejenis dan hutan campuran. Hutan sejenis, atau hutan murni, memiliki pepohonan yang sebagian besar berasal dari satu jenis, walaupun ini tidak berarti hanya ada satu jenis itu. Hutan sejenis dapat tumbuh secara alami baik karena sifat iklim dan tanah yang sulit maupun karena jenis pohon tertentu lebih agresif. Misalnya, hutan tusam (pinus) di Aceh dan Kerinci terbentuk karena kebakaran hutan yang luas pernah terjadi dan hanya tusam jenis pohon yang bertahan hidup. Hutan sejenis dapat juga merupakan hutan buatan, yaitu hanya satu atau sedikit jenis pohon utama yang sengaja ditanam seperti itu oleh manusia, seperti dilakukan di lahan-lahan HTI (hutan tanaman industri).

Penggolongan lain berdasarkan pada susunan jenis adalah hutan daun jarum (konifer) dan hutan daun lebar. Hutan daun jarum (seperti hutan cemara) umumnya terdapat di daerah beriklim dingin, sedangkan hutan daun lebar (seperti hutan meranti) biasa ditemui di daerah tropis.

Kita dapat membedakan hutan sebagai hutan seumur (kira-kira berumur sama) dan hutan tidak seumur. Hutan alam atau hutan permudaan alam biasanya merupakan hutan tidak seumur. Hutan tanaman boleh jadi hutan seumur atau hutan tidak seumur.

Berdasarkan letak geografisnya

Hutan Hujan
Hutan hujan

Berdasarkan sifat-sifat musim

  • Hutan hujan (rainforest), dengan curah hujan yang tinggi.
  • Hutan selalu hijau (evergreen forest), hutan tanpa musim atau keadaan iklim yang menyebabkan tetumbuhan kehilangan zat klorofil.
  • Hutan musim atau hutan gugur (deciduous forest) dengan pepohonan yang menggugurkan daunnya di musim atau keadaan iklim tertentu.
  • Hutan sabana (savannah forest), di tempat-tempat yang musim kemaraunya panjang, dll.

Berdasarkan ketinggian tempat

Berdasarkan keadaan tanah

Berdasarkan jenis pohon yang dominan

Berdasarkan sifat-sifat pembuatannya

Hutan Kota di Singapura

Berdasarkan tujuan pengelolaannya

Lereng gunung Arjuna di wilayah Sumberawan, kecamatan Singosari, kabupaten Malang

Dalam kenyataannya, sering kali beberapa faktor pembeda itu bergabung, dan membangun sifat-sifat hutan yang khas. Misalnya, hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rainforest), atau hutan dipterokarpa perbukitan (hilly dipterocarp forest). Hutan-hutan rakyat, kerap dibangun dalam bentuk campuran antara tanaman-tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian jangka pendek, sehingga disebut dengan istilah wanatani atau agroforest.

Jenis-jenis hutan di Indonesia

Berdasarkan biogeografi

Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekat. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.

Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.

  • Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)

Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.

  • Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)

Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia.

  • Kawasan Wallace / Laut Dalam (di bagian tengah)

Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora fauna Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna Australia di bagian timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu merupakan palung laut yang sangat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.

Berdasarkan iklim

Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudra membuat iklim kepulauan ini lebih beragam.

Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:

  • Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatra; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
  • Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
  • Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.

Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.

Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatra, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan dan sebagian besar pantai selatan Papua.

Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.

Hutan muson tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayu putih (Melaleuca leucadendron).

Berdasarkan sifat tanahnya

Berdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan rawa.

  • Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir dan tidak landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), dan pandan (Pandanus tectorius).
  • Hutan mangrove Indonesia mencapai 776.000 ha dan tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatra, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizopheria.
  • Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatra, Kalimantan dan Papua. Spesies pohon rawa misalnya adalah nyatoh (Palaquium leiocarpum), kempas (Koompassia spp), dan ramin (Gonystylus spp).

Berdasarkan pemanfaatan lahan

Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan

Tahun Luas (Hektar):

1950 162,0 juta;

1992 118,7 juta;

2003 110,0 juta;

2005 93,92 juta.

Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:

  1. Hutan tetap: 88,27 juta ha;
  2. Hutan konservasi 15,37 juta ha;
  3. Hutan lindung 22,10 juta ha;
  4. Hutan produksi terbatas 18,18 juta ha;
  5. Hutan produksi tetap 20,62 juta ha;
  6. Hutan produksi yang dapat dikonversi: 10,69 juta ha;
  7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) 7,96 juta ha.

Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatra (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).

Jasa ekosistem hutan

Jasa ekosistem hutan atau jasa lingkungan adalah manfaat yang diperoleh makhluk hidup dari hutan. Klasifikasi jasa lingkungan berdasarkan manfaat yang diperoleh manusia yaitu, jasa penyediaan produk yang dihasilkan ekosistem (sumber air dan makanan), jasa pengelolaan (ipengaturan iklim mikro,pencegahan banjir, penyimpanan cadangan karbon dan penyediaan habitat flora dan fauna), jasa nilai budaya (edukasi, ekowisata, rekreasi), dan jasa pendukung untuk memproduksi seluruh jasa ekosistem (fungsi hidrologi). Dalam bahasa-bahasa di Indonesia, pengertian hutan juga merujuk kepada aneka hal yang bersifat liar (wild), tumbuh sendiri atau tidak dipelihara (natural), atau untuk menekankan sifat-sifat liar dari sesuatu. Nama-nama hewan yang diimbuhi dengan kata ‘hutan’ menunjukkan pengertian tersebut, misalnya anjing hutan, ayam hutan, babi hutan, kambing hutan, dll.

Demikian pula, sesuatu bidang lahan yang tidak terpelihara atau kurang terpelihara kerap disebut hutan atau menghutan. Berlawanan dengan kebun, yang dipelihara dan diakui pemilikannya.

Hutan disebut juga dengan istilah utan (Jakarta), leuweung (Sunda), alas atau wana (Jawa), alas (Md.), dan lain-lain.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Arti kata wana dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ (Indonesia) Arti kata alas dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  3. ^ "Forest". Dictionary.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 October 2014. Diakses tanggal 2014-11-16. 
  4. ^ Schuck, Andreas; Päivinen, Risto; Hytönend, Tuomo; Pajari, Brita (2002). "Compilation of Forestry Terms and Definitions" (PDF). Joensuu, Finland: European Forest Institute. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 June 2015. Diakses tanggal 2014-11-16. 
  5. ^ "Definitions: Indicative definitions taken from the Report of the ad hoc technical expert group on forest biological diversity". Convention on Biological Diversity. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 December 2014. Diakses tanggal 2014-11-16. 
  6. ^ "Forest definition and extent" (PDF). United Nations Environment Programme. 2010-01-27. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-07-26. Diakses tanggal 2014-11-16. 
  7. ^ Global Forest Resources Assessment 2020 – Terms and definitions (PDF). Rome: FAO. 2018. 
  8. ^ The State of the World's Forests 2020. In brief – Forests, biodiversity and people. Rome: FAO & UNEP. 2020. doi:10.4060/ca8985en. ISBN 978-92-5-132707-4. 
  9. ^ a b Pan, Yude; Birdsey, Richard A.; Phillips, Oliver L.; Jackson, Robert B. (2013). "The Structure, Distribution, and Biomass of the World's Forests" (PDF). Annu. Rev. Ecol. Evol. Syst. 44: 593–62. doi:10.1146/annurev-ecolsys-110512-135914. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 7 August 2016. 
  10. ^ The State of the World's Forests 2020. In brief – Forests, biodiversity and people. Rome, Italy: FAO & UNEP. 2020. doi:10.4060/ca8985en. ISBN 978-92-5-132707-4. 
  11. ^ Holdridge, L.R. Life zone ecology (PDF). San Jose, Costa Rica: Tropical Science Center. 
  12. ^ The State of the World's Forests 2020. In brief – Forests, biodiversity and people. Rome, Italy: FAO & UNEP. 2020. doi:10.4060/ca8985en. ISBN 978-92-5-132707-4. 
  13. ^ Vogt, Kristina A, ed. (2007). "Global Societies and Forest Legacies Creating Today's Forest Landscapes". Forests and Society: Sustainability and Life Cycles of Forests in Human Landscapes. CABI. hlm. 30–59. ISBN 978-1-84593-098-1. 
  14. ^ "Deforestation and Its Effect on the Planet". Environment (dalam bahasa Inggris). 2019-02-07. Diakses tanggal 2021-07-21. 
  15. ^ "Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan – Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut". Diakses tanggal 2023-03-13. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya