Share to:

 

Iding Soemita

Iding Soemita
Iding Soemita pada tahun 1962
LahirIding Soemita
(1908-04-03)3 April 1908
Tasikmalaya, Jawa Barat, Hindia Belanda
Meninggal17 November 2001(2001-11-17) (umur 93)
Commewijne, Suriname
KewarganegaraanHindia Belanda, 1908–1925
Suriname, 1925–2001
Pekerjaan
  • Buruh
  • wirausahawan
  • politisi
Tahun aktif1946–2001
Partai politikKerukunan Tulodo Pranatan Inggil
Gerakan politikMoelih n' Djawa (ca 1933)
Nagih Djangjie
KeluargaSoemita

Iding Soemita (3 April 1908 – 18 November 2001) adalah seorang buruh, wirausahawan, dan politisi, serta pejuang kemerdekaan Suriname.[1] Ia merupakan penggerak antikolonialisme di Suriname dengan latar belakang sebagai buruh imigran dari Hindia Belanda. Pada 1946, ia membentuk Persatuan Indonesia sebagai organisasi politik di Suriname, kemudian diubah namanya menjadi Kaum Tani Persatuan Indonesia dan menjadi pemimpin partai. Selain itu, ia aktif dalam gerakan politik Jawa di Suriname. Meski menyuarakan politik Jawa, Iding merupakan seorang politisi beretnis Sunda.

Iding mewarisi kepimpinan politiknya di Kerukunan Tulodo Pranatan Inggil kepada anaknya yang juga mantan Wakil Presiden Suriname, Willy Soemita.

Kehidupan pribadi

Iding lahir di distrik Cikatomas, Tasikmalaya pada Jumat, 3 April 1908. Kedua orang tuanya memiliki etnis Sunda di kawasan Priangan, Hindia Belanda (sekarang bernama Indonesia). Ia menamatkan pendidikan awal dan akhirnya di sekolah rakyat. Kemudian, ia bekerja sebagai buruh kontrak selama lima tahun yang diberangkatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada usia 17 tahun. Setelah tiga bulan keberangkatan, ia sampai di Mariënburg, Suriname pada 25 Agustus 1925. Dia berperan sebagai perawat laki-laki dan setelah itu membuka toko di Paramaribo.

Berdasarkan data, imigran dari Tasikmalaya berjumlah 284 dari 32.956 orang dari Pulau Jawa dalam kurun waktu 1897 sampai 1937, salah satunya adalah Iding. Suku Sunda menjadi minoritas di antara penduduk dari suku Jawa di Suriname sehingga kebudayaan Sunda melebur ke etnis Jawa bersama dengan etnis-etnis lainnya.

Kiprah politik

Iding Soemita (tengah) sebagai anggota Majelis Nasional Suriname di Den Haag, Belanda, 11 Juli 1962.

Sikap antikolonialisme Iding terlihat ketika ia mulai memelopori politik Jawa di Suriname. Meski sebagai buruh, ia memiliki rasa empati dalam membela sesamanya. Ia prihatin atas perlakuan koloni Belanda terhadap pekerja-pekerja yang meninggal dunia lalu dimakamkan secara tidak manusiawi. Oleh karena itu, ia berinisiatif menggalang dana bagi pekerja yang meninggal dunia agar dapat dikebumikan secara layak.

Iding turut menginisiasi gerakan politik "Moelih n' Djawa" (bahasa Indonesia: Kembali ke Jawa), yakni mendesak koloni Belanda untuk memulangkan pekerja-pekerja yang habis masa kontrak.[2] Bagi Belanda, tidak mudah untuk memulangkan mereka, alih-alih alasan dan bersikukuh untuk tetap mempertahankan mereka. Pribumi Jawa saat itu merasa tidak disejahterakan. Maka dari itu, muncul sebuah gerakan yang bernama "Nagih Djangjie" yang ditujukan kepada pihak Belanda.

Dibentuklah sebuah organisasi yang menaungi pekerja-pekerja Hindia Belanda yang dinamai "Persatoean Indonesia" (PI) oleh Iding bersama rekan-rekan senasib di Suriname. Gerakan "Nagih Djangjie" justru semakin masif seiring pembentukan PI. Pada 1948, ia mengubah nama PI menjadi Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) sekaligus mengubah statusnya menjadi partai politik. KTPI menyertai pemilihan umum pertamanya pada Mei 1949 dengan memperoleh 2.325 suara di kawasan elektoral Commewijne dan mendapatkan dua kursi dari 21 kursi jumlah keseluruhan di parlemen. Sebagai salah satu anggota parlemen terpilih, Iding melibatkan diri untuk berunding dengan Belanda terkait referendum untuk Suriname.

Dia memposisikan partainya sebagai penengah dengan menganggotai koalisi pemerintah sebagai langkah strategis politik KTPI. Dalam dekade 1970-an, Iding mundur dari dunia politik. Kepemimpinan partai ia warisi kepada anaknya, Willy Soemita.

Referensi

  1. ^ Dsy (7 Juni 2020). "Iding Soemita, Pemimpin Pergerakan Buruh Suriname Asal Tasikmalaya". jernih.co. Diakses tanggal 1 Maret 2022. 
  2. ^ "'Mulih Njowo' Bukti Rindu Rakyat Jawa-Suriname Dengan Indonesia". National Geographic (Indonesia). 17 Agustus 2021. Diakses tanggal 8 April 2024. 
Kembali kehalaman sebelumnya