Iklan peralihan
Iklan peralihan atau disebut juga dengan iklan serobot (bahasa Inggris: intrusive advertising) adalah sebuah metode beriklan dengan pendekatan aktif dan asertif atau cenderung agresif "menyapa" konsumen.[1] Hal ini berlawanan dengan metode pasif yang beriklan untuk pelanggan yang membutuhkan suatu produk atau jasa atau bisa dikatakan pelanggan lah yang mencari iklan.[1] Contoh iklan peralihan dapat ditemukan di media cetak maupun elektronik seperti koran, televisi, situs daring, dan lain-lain. Metode iklan serobot menuai kontroversi di beberapa negara karena cara yang digunakan terkadang tidak lazim dan melanggar kode etik.[1] Cara sebuah iklan peralihan bekerja bervariasi, mulai dari menyelinap ke dalam pikiran konsumen hingga secara terang-terangan muncul berhadapan langsung dengan konsumen.[1] Iklan serobot yang menyelinap secara perlahan bekerja dengan mempengaruhi konsumen di tengah berjalannya siaran acara.[1] Sementara itu, iklan serobot yang berhadapan langsung dapat muncul secara tiba-tiba dan terkadang tidak relevan dengan konten yang disajikan.[1][2] Kesan yang dihadirkan seakan-akan "memaksa" konsumen untuk memperhatikan sebuah iklan.[1] Iklan peralihan operator IndonesiaDi Indonesia, iklan peralihan menuai perseteruan dan kontroversi dengan pihak yang terlibat di antaranya pemerintah Republik Indonesia sebagai mediator, dua operator telekomunikasi Indonesia sebagai pelaku iklan peralihan, dan dua asosiasi periklanan digital sebagai protestor.[3][4] Perseteruan terjadi pada tahun 2013 ketika laman situs dari anggota Indonesia Digital Association (IDA) dan E-Commerce Indonesia (idEA) disusupi iklan peralihan milik XL Axiata dan Telkomsel.[3] Metode iklan peralihan yang digunakan oleh kedua operator tersebut adalah interstitial ads dan off-decks ads.[4] Jenis yang pertama adalah penyediaan halaman iklan penuh sebelum membuka halaman baru, dan yang kedua adalah format iklan berupa papan di situs laman tujuan. Baik idEA dan IDA menuntut agar XL dan Telkomsel mencabut iklan serobot di beberapa situs anggota mereka, tetapi kedua operator itu menolak dengan alasan mereka berhak beriklan karena jaringan internet dan infrastrukturnya adalah milik mereka.[4] Kasus tersebut hingga pada tahun 2015 masih menggantung, tetapi IDA dan idEA bertindak dengan membuat petisi daring di situs change.org dan berharap menteri komunikasi Indonesia angkat bicara.[3] Referensi
|