Share to:

 

Inbreng


Inbreng atau pemasukan adalah kewajiban seseorang ahli waris terkait hal tertentu memasukan kembali ke dalam warisan suatu hibah yang pernah diterimanya oleh pewaris.[1]

Inbreng diatur dalam Buku Kedua BW, Bab 17, bagian 2, (Pasal 1086-1099). Menurut Ramulyo bahwa Inbreng atau pemasukan adalah memperhitungkan kembali mengenai pemberian barang-barang atau hibah oleh para ahli waris yang diberikan pewaris pada saat ia masih hidup, bertujuan melindungi bagian mutlak ahli waris lainnya.[2]

Terkait pemasukan maka setelah pewaris meninggal dunia maka baru bisa terkait pemasukan atau memperhitungkan kembali hibah-hibah yang pernah diterima seorang ahli waris. Dalam hukum waris dikenal juga dengan istilah Inkorting khususnya terkait wasiat. Inkorting atau pemotongan terhadap hibah-hibah yang sudah diberikan kepada ahli waris selain garis lurus ke bawah atau pihak lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah.

Perbedaan

Inbreng tidak sama dengan Inkorting. Menurut Mulyadi, perbedaan antara inbreng (pemasukan) dengan inkorting (pemotongan) adalah sebagai berikut.[3]

Tujuan

Inbreng bertujuan terkait hal sedikit banyak meratakan pembagian di antara sesama ahli waris sedangkan Inkorting bertujuan terkait memenuhi bagian mutlak legitiemaris.

Akibat

Dari segi akibat, inbreng adalah perkaitan lain inbreng tidak akan menghapus hibah. Maksudnya, benda-benda yang telah dihibahkan semasa hidup pewaris maka tetap masih berada di ahli waris, namun harga diperhitungkan dengan bagian yang akan diterimanya sedangkan Inkorting dalam segi akibatnya terdapat kemungkinan menghapus hibah atau setidak-tidaknya mengurangi terkait harta kekayaan tidak cukup untuk memenuhi Lp. legitimaris.

Pengecualian

Hal–hal yang dikecualikan dalam inbreng sesuai Pasal 1097 KUH Perdata di antaranya tunjangan hidup seperlunya, biaya pendidikan, pengeluaran untuk memperoleh pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.

Referensi

  1. ^ Kie, Tan Thong (2007). Studi Notariat: Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 
  2. ^ Ramulyo, Muhammad Idris (1993). Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika. 
  3. ^ "Mulyadi", "Mulyadi" (2016). Hukum Waris Dengan Adanya Surat Wasiat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 
Kembali kehalaman sebelumnya