Injourney
PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero), atau berbisnis sebagai Injourney (kepanjangan dari Indonesia Journey, atau dari kalimat Bahasa Inggris in journey yang berarti "dalam perjalanan") adalah sebuah badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang aviasi dan pariwisata.[1][3] Perusahaan ini sebelumnya bernama PT Survai Udara Penas (Persero) dengan sejarah yang merentang sejak Indonesia baru merdeka pada tahun 1945. Sejarah1945–1991Perusahaan ini memulai sejarahnya setelah Indonesia merdeka sebagai "Skuadron Pemotretan Udara" dari TNI Angkatan Udara. Skuadron tersebut kemudian dipisah menjadi sebuah lembaga dengan nama "Lembaga Aerial Survey".[4] Pada tahun 1961, pemerintah Indonesia mengubah lembaga tersebut menjadi sebuah perusahaan negara dengan nama "Perusahaan Negara Aerial Survey" (Penas).[5] Penas bergerak di bidang pemetaan, pemotretan, dan survei dari udara. Untuk menjalankan bisnisnya, hingga tahun 1968, Penas menggunakan dua unit North American B-25 Mitchell yang dipinjamkan oleh TNI Angkatan Udara. Penas kemudian menggunakan tiga unit C-130 Hercules yang juga dipinjamkan oleh TNI-AU. Pada awal dekade 1970-an, Penas mulai membeli pesawat terbang sendiri, yakni Cessna 402, Douglas C-47 Skytrain, Douglas DC-6, dan Dornier Do-28.[6] Pada tahun 1974, pemerintah mengubah status perusahaan ini menjadi perusahaan umum dengan nama "Perum Survai Udara", tetapi tetap berbisnis dengan nama Penas.[7] Pada awal dekade 1980-an, Penas membeli Beechcraft Super King Air dan Beechcraft Queen Air.[6] Pada tahun 1991, pemerintah kembali mengubah status perusahaan ini menjadi persero dengan nama "PT Survai Udara Penas".[8] Perusahaan ini kemudian mulai menyewakan pesawat terbangnya jika tidak sedang dipakai. 1992–2021Pada dekade 1990-an, Penas mulai mengalami kemunduran, karena munculnya jasa pemotretan udara via satelit yang hasilnya tidak berbeda jauh dengan pemotretan udara via pesawat terbang.[6] Pada tahun 2011, total utang perusahaan ini pun mencapai Rp 16,8 miliar dan pekerjanya tinggal 29 orang, padahal pada tahun 2000, perusahaan ini masih dapat mempekerjakan 100 orang. Pada bulan Agustus 2015, Kementerian Perhubungan akhirnya mencabut sertifikat operator udara dari perusahaan ini, karena perusahaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan mengenai jumlah pesawat terbang minimum.[4] Sebagai induk holdingPada bulan Juli 2021, pemerintah mengubah nama perusahaan ini menjadi seperti sekarang sebagai bagian dari persiapan untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di bidang aviasi dan pariwisata.[9] Pada bulan Oktober 2021, pemerintah resmi menunjuk perusahaan ini sebagai induk holding BUMN bidang aviasi dan pariwisata, dengan menyerahkan mayoritas saham Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, Hotel Indonesia Natour, Sarinah, dan Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko ke perusahaan ini.[3] Pada bulan Januari 2023, pemerintah juga menyerahkan mayoritas saham Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) ke perusahaan ini.[10] Pada bulan Januari 2024, perusahaan ini resmi mengambil alih mayoritas saham PT Integrasi Aviasi Solusi yang ditunjuk sebagai subholding yang bergerak di bidang pendukung operasional bandara.[11] Pada bulan Juli 2024, perusahaan ini mengubah nama Angkasa Pura II menjadi Angkasa Pura Nusantara dan menggabungkan Angkasa Pura I ke dalam perusahaan tersebut, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk subholding yang bergerak di bidang pengelolaan bandara.[12] Referensi
Pranala luar |