Intervensi Belanda di Bali tahun 1908 atau dikenal juga dengan nama Puputan Klungkung menandakan fase awal kekuasaan kolonial Belanda di pulau Bali, Indonesia. Inilah intervensi militer ketujuh sekaligus terakhir di Bali, setelah intervensi tahun 1906.
Intevensi ini terjadi akibat pemberontakan penduduk Bali terhadap upaya Belanda menerapkan monopoli opium yang menguntungkan Belanda.[1]Raja Karangasem menentang monopoli dan mencetuskan kerusuhan di Kerajaan Klungkung, ibu kota Karangasem.[2] Kerusuhan juga terjadi di Gelgel, ketika penduduk Bali membunuh seorang pedagang opium dari Jawa.[2]
Belanda mengirimkan pasukannya untuk memadamkan pemberontakan. Di Gelgel, aksi mereka menewaskan 100 orang Bali dan memaksa Raja mengungsi ke Klungkung.[2] Belanda kemudian membombardir kota Klungkung.
Pada konfrontasi akhir tanggal 28 April 1908, Dewa Agung Jambe II, Raja Klungkung, dibantu 200 orang pengikutnya, berbaris keluar dari istananya dengan pakaian putih dan dipersenjatai keris untuk memecah belah musuh sesuai ramalan.[1] Keris tersebut gagal memenuhi ramalan dan Raja sendiri malah ditembak oleh tentara Belanda.[2] Segera, keenam istri raja melakukan bunuh diri atau puputan, yaitu bunuh diri dengan keris sendiri, diikuti penduduk Bali lainnya.[2]
Belanda membakar habis Istana Kerajaan. Setelah Klungkung berada di bawah kendali Belanda, Raja Bangli tunduk dan pada Oktober 1908 bernegosiasi untuk dijadikan protektorat Belanda seperti Gianyar dan Karangasem.[1] Peristiwa tersebut mengakhiri pemberontakan penduduk Bali terhadap Belanda.[1][2]
Referensi
Insight Guide: Bali 2002 Brian Bell, Apa Publications GmbH&Co ISBN 1-58573-288-5.
'Love and Death in Bali' 1935 Vicky Baum, ISBN 0-8048-4180-2 (Historical Novel)