Inventarisasi hutan di IndonesiaInventarisasi hutan adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan informasi mengenai sumber daya hutan dan karakteristik suatu wilayah untuk mengetahui potensi sumber daya hutan dan melaksanakan perencanan berkelanjutan pengelolaan sumber daya hutan.[1][2] Inventarisasi hutan merupakan salah satu bagian dalam kegiatan perencanaan kehutanan bersama dengan pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Inventarisasi hutan di Indonesia diatur dalam undang-undang (UU) No. 41 tahun 1999 dan peraturan pemerintah (PP) No. 44 tahun 2004 bersama dengan kegiatan-kegiatan yang ada di perencanaan kehutanan.[3][4] Inventarisasi hutan dilakukan oleh pengelola hutan di Indonesia, contohnya di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Perum Perhutani, Hutan alam (HA) atau Hutan tanaman industri (HTI) yang umumnya melakukan inventarisasi hutan guna kepentingan produksi pohon (kayu), seperti Perum Perhutani melakukan inventarisasi hutan untuk mengetahui data dan informasi potensi produksi hutan jati di Kesatuan pemangkuan hutan (KPH) produksi, seperti luas hutan, volume kayu, tegakan berdiri (Standing stock), dan tegakan rebah (Growing stock).[5] Kegiatan inventarisasi hutan dianggap berhasil jika dapat menggambarkan kualitas potensi hutan dalam bentuk kubikasi (volume kayu) di hutan produksi.[6] Meskipun begitu, inventarisasi hutan juga dapat digunakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar hutan[7] serta jasa dan lingkungan alamnya. Tujuan dari inventarisasi hutan adalah mendapatkan data dan informasi untuk penyusunan kehutanan. Inventarisasi hutan tidak dapat dilakukan secara sembarangan, harus memiliki tujuan yang jelas, melakukan pelaporan dan dokumentasi yang komprehensif dan transparan, metodologis, dan presisi.[8] Pengertian menurut Undang-undangInventarisasi hutan di Indonesia disahkan menurut UU No. 41 tahun 1999 Pasal 13 dan diperjelas oleh PP No. 44 tahun 2004 Pasal 5. Menurut kedua pasal tersebut, inventarisasi hutan adalah suatu cara untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan termasuk dalam kegiatan perencanaan kehutanan dalam UU No. 41 tahun 1999 Pasal 12 dan PP No.44 tahun 2004 Pasal 3 bersama dengan kegiatan pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan.[3][4] Inventarisasi hutan merupakan salah satu dari kegiatan Perencanaan kehutanan yang bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari.[3] Tingkatan inventarisasi hutanBedasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 44 tahun 2004, inventarisasi hutan dilaksanakan berdasarkan tingkatannya. Tingkatan tersebut terdiri dari tingkatan nasional, tingkatan wilayah, tingkatan daerah aliran sungai (DAS), dan tingkat unit pengelolaan. Pelaksanaan inventarisasi hutan dapat dilakukan dengan cara survei melalui pengindraan jauh (atau citra atau inderaja) dan terrestris. Berikut merupakan tingkatan-tingkatan inventarisasi hutan.[3][4][9] Inventarisasi hutan tingkat NasionalInventarisasi hutan tingkat Nasional diselenggarakan dan dibina oleh menteri yang diberi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Badan Planologi Kehutanan. inventarisasi hutan dilaksanakan minimal 1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun dan dijadikan acuan untuk pelaksanaan inventarisasi tingkat yang lebih rendah, seperti tingkat wilayah, DAS, dan unit pengelolaan. Objek dari inventarisasi hutan adalah kawasan hutan atau hutan negara dan hutan hak. Hasil dari inventarisasi hutan memuat: informasi deskriptif, data numerik, dan peta skala minimal 1:1.000.000.[3][9][10] Inventarisasi hutan tingkat WilayahInventarisasi hutan tingkat wilayah dibagi menjadi 2 (dua), yakni tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Inventarisasi hutan tingkat propinsi diselenggarakan oleh Gubernur yang diberi tanggung jawab pada provinsi yang dipimpinnya, dibina oleh Badan Planologi Kehutanan, Direktorat Jendral (Ditjen) Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPs) dan Ditjen Bina Produksi Kehutanan (BPK), dan dilaksanakan oleh Dinas provinsi. Sedangkan, inventarisasi hutan tingkat kabupaten/kota ditanggungjawabkan oleh Bupati/Walikota, dibina oleh Dinas provinsi, dan diselenggarakan oleh Dinas kabupaten/kota.[3][9][10] Objek dari inventarisasi hutan antara lain: Kawasan hutan di propinsi tersebut, contohnya taman hutan raya (tahura), kawasan hutan lindung atau hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL) yang berhutan (hutan hak), contohnya hutan rakyat. Hasil dari inventarisasi hutan memuat: Informasi deskriptif, Data numerik, dan Peta skala minimal 1:250.000 untuk Propinsi dan Peta skala minimal 1:50.000 untuk Kabupaten/Kota. Inventarisasi hutan dilaksanakan minimal 1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun dan harus mengacu pada hasil inventarisasi hutan diatasnya, yakni tingkat nasional. Inventarisasi hutan dapat dilaksanakan kurang dari 5 (lima) tahun jika terdapat perubahan kondisi sumber daya hutan yang secara nyata. Inventarisasi hutan tingkat kabupaten/kota memiliki intensitas sampling lebih besar dibandingkan inventarisasi hutan tingkat Propinsi.[3][9][10] Inventarisasi hutan tingkat DASInventarisasi hutan tingkat DAS diselenggarakan bedasarkan wilayah DAS-nya. Wilayah DAS yang lintas propinsi ditanggungjawabkan oleh Menteri, Wilayah DAS yang lintas kabupaten/kota ditanggungjawabkan oleh Gubernur, dan Wilayah DAS di dalam kabupaten/kota ditanggungjawabkan oleh Bupati/Walikota. Seluruh wilayah DAS dibina oleh Badan planologi kehutanan dan/atau Dinas propinsi, dan diselenggarakan oleh Badan planologi departemen kehutanan, Dinas provinsi, dan/atau Dinas kabupaten/kota. Inventarisasi hutan dilaksanakan minimal 1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun dan harus mengacu pada hasil inventarisasi hutan diatasnya, yakni tingkat nasional. Objek dari inventarisasi hutan antara lain: Kawasan hutan dan APL (luar kawasan hutan) di wilayah DAS. Hasil dari inventarisasi hutan memuat: Informasi deskriptif, Data numerik, dan Peta skala minimal 1:100.000 yang digunakan untuk bahan penyusunan rencana pengelolaan DAS tersebut.[3][9][10] Inventarisasi hutan tingkat Unit pengelolaanInventarisasi hutan tingkat Unit Pengelolaan ditanggungjawabkan oleh pengelola hutan tersebut, contohnya KPH di Perum Perhutani, pengelola Hutan alam atau Hutan tanaman. Inventarisasi hutan dilaksanakan minimal 1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun, sedangkan untuk penyusunan rencana kegiatan tahunan pada blok operasional dilaksanakan setiap tahun. Objek dari inventarisasi hutan antara lain: Unit pengelolaan kawasan perlindungan, Kawasan lindung, dan Kawasan produksi dan Areal ijin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) hutan alam (IUPHH-HA) dan hutan tanaman (IUPHH-HT). Hasil dari inventarisasi hutan memuat: Informasi deskriptif, Data numerik, dan Peta skala minimal 1:100.000.[3][9][10] Data dan informasiData dan informasi yang dapat diambil dari inventarisasi hutan pada setiap tingkatan antara lain: sumber daya hutan, potensi kekayaan alam hutan, serta jasa dan lingkungan alam.[3] Untuk data dan informasi yang lebih rinci, antara lain: status, penggunaan dan penutupan lahan, jenis tanah, kelerengan lapangan atau topografi, iklim dan hidrologi (tata air), bentang alam dan gejala-gejala alam, kondisi sumber daya manusia dan demografi, jenis, potensi dan sebaran flora dan fauna, serta kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat.[11][12] Meskipun begitu, data dan informasi pada setiap kegiatan inventarisasi hutan memiliki penekanan dan tujuan yang berbeda-beda tergantung dari kebutuhan akan data dan informasi tersebut, contohnya inventarisasi hutan di hutan produksi dengan hutan lindung akan berbeda kebutuhan akan data dan informasinya. Penjelasan kebutuhan data dan informasi yang ditekankan dijelaskan pada Tabel berikut.[13]
Pelaporan HasilPelaporan hasil inventarisasi hutan disajikan dalam bentuk format laporan dan dijilid. Sistematika pelaporan hasil inventarisasi hutan terdiri dari:[10][16]
Teknik samplingInventarisasi hutan jarang dilakukan dengan metode sensus dikarenakan alasan-alasan seperti: membutuhkan waktu yang lama untuk luas areal hutan yang sangat luas; membutuhkan biaya yang sangat besar; hasil inventarisasi hutan dengan metode sensus memiliki hasil yang rumit dalam hal penarikan kesimpulan dan tingkat kecermatan; serta dikarenakan sensus membutuhkan waktu yang lama, dapat mengakibatkan perkerjaan inventarisasi lainnya semakin terhambat.[17] Meskipun begitu, metode sensus dapat digunakan pada luas areal hutan yang kecil dan sempit.[18] Dikarenakan hal-hal tersebut, inventarisasi hutan sering menggunakan teknik sampling (atau teknik pengambilan sampel).[19] Teknik sampling adalah suatu cara pengambilan sampel di lapangan sebagai contoh dengan besaran intensitas tertentu.[12] Teknik sampling diperlukan untuk memperoleh sampel dengan kualitas yang dapat mewakilkan populasi dengan baik. Teknik sampling terdiri dari: metode sampling, intensitas sampling, bentuk sampling, dan ukuran sampling. Dalam teknik sampling, diperlukan suatu populasi yang diinventarisasi dan sampel yang representatif dan jumlah yang cukup.[20] Sampel yang dimaksud di inventarisasi hutan adalah petak ukur (Sample plot) atau plot sampling. Petak ukur adalah suatu areal sampel yang digunakan untuk menggambarkan suatu areal populasi.[21] Populasi merupakan total keseluruhan dari suatu unit yang akan diteliti, seperti populasi manusia, populasi hutan, dsb. Sedangkan sampel merupakan unit dari sebagian populasi yang akan diteliti dan dianggap representatif dalam menggambarkan suatu populasi, seperti pohon didalam sebuah hutan.[22][23] Sampel yang dianggap representatif adalah sampel yang memiliki galat (error) kecil dalam tingkat kepercayaan tertentu. Galat yang dimaksud terdiri dari 2 (dua) jenis yakni galat sampling, seperti variasi (atau keragaman) dalam populasi dan kesempatan pemilihan sampel serta galat non-sampling, seperti bias dalam pengukuran dan pengolahan data dalam kegiatan inventarisasi hutan.[24] Metode samplingMetode sampling yang tepat bertujuan menghasilkan data yang obyektif dan data tersebut tidak bias. Pemilihan metode sampling ditentukan bedasarkan kriteria hutan yang akan disampling, seperti contohnya di hutan alam yang heterogen, di hutan tanaman yang homogen, atau hutan yang lainnya.[25] Sampling acak sederhanaSampling acak sederhana (atau Simple random sampling) adalah suatu sampling bahwa pada suatu populasi yang akan diambil sampelnya memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Contoh dari sampling acak sederhana, seperti suatu populasi hutan akan dilakukan inventarisasi, pemilihan sampel menggunakan tabel acak (tabel random) atau dilakukan pengundian, sehingga semua pohon yang ada di hutan tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel.[26] Pelaksanaan sampling acak sederhana dilakukan dengan cara menggunakan peta suatu kawasan hutan. Peta tersebut diletakkan pada sumbu X dan Y. Untuk menentukan sampelnya, diperoleh dengan cara mencari titik X dan Y secara acak.[27] Sampling acak sederhana dibagi menjadi 2 (dua), yakni sampel dengan pengulangan dan sampel tidak dengan pengulangan. Sampel dengan pengulangan maksudnya sampel setelah terpilih dapat dipilih lagi pada penentuan sampel selanjutnya, sedangkan sampel tidak dengan pengulangan maksudnya sampel setelah terpilih tidak dapat dipilih lagi pada penentuan sampel selanjutnya.[28] Penggunaan sampling acak sederhana dapat memberikan hasil yang optimal jika digunakan di hutan jati, dikarenakan seluruh tegakannya homogen. Meskipun begitu, sampling acak sederhana memerlukan biaya dan waktu yang lebih lama daripada metode lainnya untuk intensitas sampling yang sama dikarenakan akses ke sampel (petak ukur) di dalam hutan sulit untuk diakses.[29] Sampling sistematikSampling sistematik adalah metode pengambilan sampel satu dengan sampel yang lainnya memiliki pola sistematis atau setara.[30] Tujuan dari sampling sistematik adalah mendapatkan sampel yang merata pada seluruh populasi, sehingga tingkat kecermatan sampling semakin baik dengan intensitas sampling tertentu. Kelebihan dari sampling sistematik adalah mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya, sehingga waktu dan biaya lebih sedikit dan menghasilkan informasi yang lebih cermat. Meskipun begitu, sampling sistematik memiliki kelemahan, seperti tidak ada cara untuk menaksir galat baku (standar error) suatu sampel, sampel dapat terpengaruh oleh topografi yang mengakibatkan bias, dan rerata sampel tidak dapat menentukan apakah sampel tersebut bias atau tidak.[31] Untuk mengatasi kelemahan tersebut, sampling sistematik dilakukan dengan cara memilih sampel awal secara acak atau dikenal dengan nama sampling sistematik dengan awalan acak (Systematic sampling with random start). Penggunaan sampling sistematik dengan awalan acak umum digunakan di KPH di Perum perhutani[32] dan di inventarisasi hutan yang dilakukan oleh negara.[10] Dalam inventarisasi hutan, sampling sistematik dibagi menjadi 3 (tiga), yakni: Continous strip sampling, Line plot sampling, dan Uniform systematic distribution.[33] Continous strip samplingContinous strip sampling adalah metode sampling sistematik yang berbentuk jalur (strip) petak ukur yang sejajar dengan jalur yang lain dan memiliki jarak antar jalur yang sama. Jalur tersebut tidak terputus hingga batas kawasan hutan yang diinventarisasi atau pada hingga panjang jalur tertentu. Penggunaan continous strip sampling digunakan didasarkan pada faktor-faktor topografi, aktivitas manusia, dan geologi. Tujuan dari continous strip sampling adalah mendapatkan sampel yang representatif dari heterogenitas populasi dan faktor-faktor yang mempengarahuinya. Contoh dari continous strip sampling yakni suatu kawasan hutan akan diinventarisasi dengan lebar jalur selebar 10 meter, jarak antar jalur sepanjang 4 km, dan panjang jalur sepanjang 5 km. Umumnya, continous strip sampling digunakan pada hutan tanaman atau hutan alam memiliki lebar jalur selebar 20 meter, sedangkan pada hutan tanaman muda atau hutan yang ukuran luasnya kecil memiliki lebar jalur 10 meter.[34] Line plot samplingLine plot sampling adalah metode sampling sistematik yang berbentuk sebuah petak ukur yang memiliki panjang dan lebar jarak antar petak ukur yang sama, tetapi dalam 1 (satu) jalur dibuat terputus-putus oleh petak ukur dan jarak antar panjang dan lebar antar petak ukur tidak sama. Petak ukur tersebut terputus-putus hingga batas kawasan hutan yang diinventarisasi atau hingga panjang petak ukur tertentu. Contoh penggunaan line plot sampling yakni suatu kawasan hutan akan diinventarisasi dengan lebar jarak antar petak ukur 500 meter, ukuran petak ukur 50 meter X 100 meter, dan jarak antar jalur 500 meter. Asumsi dari line plot sampling bahwa didalam hutan alam atau hutan yang homogen, tidak akan mengurangi kecermatan sampling dikarenakan populasi tersebut sudah dianggap terwakilkan oleh sampel yang diambil, meskipun sampel yang diambil tidak sama seperti continous strip sampling.[35] Uniform systematic distributionUniform systematic distribution adalah metode sampling sistematik yang hampir mirip dengan line plot sampling. Perbedaan diantara keduanya adalah jarak antar panjang dan lebar antar petak ukur sama, sehingga petak ukur satu dengan petak ukur lainnya berbentuk persegi. Asumsi dari uniform systematic distribution bahwa pengambilan sampel dapat dilakukan lebih cepat, kecermatan sampling yang tepat, dan biaya yang lebih murah dibandingkan line plot sampling. Uniform systematic distribution umumnya dapat digunakan pada hutan tanaman, seperti hutan jati dengan ukuran petak ukur sebesar 100 meter X 200 meter dan bentuk petak ukur lingkaran yang umum digunakan, tetapi penggunaan bentuk petak ukur lainnya juga dapat digunakan.[36] Contoh dari uniform systematic distribution yakni suatu kawasan hutan akan diinventarisasi dengan ukuran petak ukur 50 meter X 100 meter dan jarak antar jalur 500 meter X 500 meter. Sampling stratifikasiSampling stratifikasi (atau Stratified sampling) adalah metode sampling yang membagi populasi ke dalam sub-sub populasi (stratum) dan diambil sampel di sub-sub tersebut. Tujuan dari pembagian tersebut adalah meningkatkan kecermatan sampling, dikarenakan kecermatan sampling dipengaruhi oleh ragam populasi, serta memperoleh informasi tentang sifat-sifat sub-populasi dibandingkan sifat-sifat populasi secara keseluruhan, contohnya seperti membagi populasi pohon menjadi sub-sub populasi bedasarkan diameter pohon, tinggi pohon, atau jenis pohon atau populasi hutan dipisah menjadi sub-sub populasi hutan bakau dengan hutan rawa.[37] Metode sampling stratifikasi diperlukan jika memenuhi kriteria-kriteria: terdapat perbedaan yang nyata dalam suatu tegakan; terdapat perbedaan komposisi tegakan; serta terdapat perbedaan topografi.[38] Sampling stratifikasi memerlukan sampel didalam sub-populasi untuk melaksanakan sampling. Penentuan sampel didalam suatu sub-populasi didasarkan pada luas dari sub-populasi tersebut secara proporsional,[39] contohnya suatu sub-populasi adalah 10% dari total populasi, maka sampel yang diambil dari sub-populasi tersebut mewakilkan 10% dari total populasi. Penentuan sampel didalam suatu sub-populasi juga bisa didasarkan pada kepentingan lainnya, sehingga tidak memerlukan sampel yang proporsional, contohnya suatu sub-populasi adalah 10% dari total populasi, maka sampel yang diambil dari sub-populasi tersebut mewakilkan 50% dari total populasi dikarenakan sub-populasi tersebut penting untuk tujuan pengelolaan hutan.[40] Sampling bertingkatSampling bertingkat (atau Multistage sampling) adalah metode sampling yang membagi populasi ke dalam sub-sub populasi dan didalam sub-sub populasi tersebut diambil sampelnya, dan didalam sampel tersebut bisa diambil sampelnya lagi hingga bertahap-tahap.[41] Contoh dari sampling bertingkat yakni membagi populasi pohon menjadi sub-populasi diameter pohon, didalam sub-populasi diameter pohon menjadi sub dari sub-populasi, seperti ukuran diameter pohon, didalam ukuran diameter pohon diambil sampel ukuran diamter pohon bekisar 40 cm - 50 cm. Penggunaan sampling bertingkat sering digunakan untuk menaksir volume kayu dengan tujuannya adalah mengurangi biaya inventarisasi dengan hasil kecermatan sampling sesuai yang diinginakan.[42] Intensitas sampling (IS)Perbandingan antara jumlah sampel dengan jumlah populasi disebut dengan intensitas sampling yang disajikan dalam bentuk suatu bilangan, seperti persen atau desimal. Secara sederhana, intensitas sampling dapat disajikan dengan rumus berikut.[21]
Sebagai contoh, suatu areal hutan memiliki 200 pohon dan akan diukur 20 pohon sebagai sampel, maka intensitas samplingnya sebesar 0,1 atau 10%. Besar atau kecilnya suatu intensitas sampling yang diinginkan tergantung dari tingkat kecermatan dan ragam populasi yang ada. Jika populasi yang mau diambil sampelnya adalah heterogen, seperti hutan yang memiliki banyak jenis pohon, maka sampel yang harus diambil lebih banyak atau intensitas sampling lebih besar dibandingkan jika populasi tersebut adalah homogen, seperti hutan yang memiliki satu jenis pohon memiliki Intensitas sampling yang lebih kecil.[43] Meskipun intensitas sampling harus dicari terlebih dahulu jumlah sampel dan jumlah populasi, intensitas sampling sudah direncanakan dan dapat langsung diaplikasikan ke lapangan, seperti contohnya:[10]
Bentuk samplingIntensitas sampling adalah perbandingan antara jumlah sampel dengan jumlah populasi. Sampel yang dimaksud adalah petak ukur (Sample Plot) atau plot sampling.[44] Petak ukur memiliki bentuk yang beragam tergantung dari kebutuhan inventarisasinya. Oleh karenanya, penggunaan petak ukur pada jenis hutan yang tepat dapat mengurangi bias dari petak ukur. Penggunaan petak ukur sebagai sampel digunakan untuk menentukan suatu unit hutan yang paling kecil tetapi dapat mewakilkan seluruh unit hutan, tidak hanya pohon, tetapi juga asosiasi flora dan fauna lainnya. Bentuk-bentuk sampling terdiri dari[45]: Bentuk jalur atau strip. Bentuk jalur memiliki kelebihan seperti menghemat waktu, tenaga, dan biaya perjalanan untuk pindah dari petak ukur satu dengan petak ukur lainnya. Tetapi, kekurangan bentuk jalur adalah dapat terjadi kesalahan jika tidak dicek kembali apakah tali tegak lurus dengan titik awal (bengkok).[46][47] Bentuk lingkaran. Bentuk lingkaran dibuat dengan cara mematok kayu, patokan kayu tersebut ditali dan ditarik seseorang dan orang tersebut memutar patok kayu dengan ukuran tertentu. Bentuk lingkaran memiliki kelebihan seperti luas petak ukur ditentukan dengan teliti dan mudah dilaksanakan. Tetapi, kekurangan dari bentuk lingkaran seperti waktu yang lebih banyak untuk berjalan ke petak ukur lainnya. Meskipun begitu, bentuk lingkaran merupakan bentuk yang sederhana dan mudah.[48][47] Bentuk persegi panjang. Bentuk persegi panjang merupakan turunan dari bentuk jalur dengan asumsi bahwa pendataan inventarisasi dapat dilakukan secara selang-seling sehingga lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya dengan tingkat kecermatan sampling yang hampir sama. Cara pembuatan bentuk persegi panjang mirip dengan bentuk jalur, tetapi bentuk persegi panjang memiliki batas petak ukur tertentu.[49][47] Bentuk persegi atau bujur sangkar. Bentuk persegi dibuat dengan cara mematok kayu, patokan kayu tersebut ditali dan ditarik seseorang hingga panjang tertentu, dan orang tersebut mengulangi sebanyak 4 (empat) kali hingga membentuk petak ukur. Bentuk persegi memiliki kelebihan seperti luas petak ukur ditentukan dengan teliti. Tetapi, memiliki kelemahan seperti batas petak ukur harus diteliti agar tidak bias dan susah untuk dibuat.[47] Bentuk persegi enam. Bentuk persegi enam dibuat dengan cara hampir mirip bentuk persegi. Bentuk persegi enam jarang digunakan dikarenakan batas petak ukur harus diteliti agar tidak bias dan susah untuk dibuat.[50] Bentuk titik. Bentuk titik dilakukan dengan alat tertentu, seperti Tongkat Bitterlich atau Spiegel Relaskop. Secara sederhana, seorang pengukur menggunakan alat tersebut di titik tertentu, memutar 360 derajat, dan menentukan apakah pohon tersebut masuk kedalam sampel atau tidak. Bentuk Titik memiliki keunggulan dalam hal waktu dan kemudahan, tetapi pengukuran di lapangan harus cermat untuk tidak mengurangi kecermatan sampling.[51] Bentuk lainnya yang jarang digunakan dikarenakan sulit untuk menentukan batasan petak ukur.[47] PermasalahanPembuatan petak ukur untuk sampel di lapangan tidak mudah. Kesulitan dari pembuatan petak ukur antara lain: Bentuk petak ukur yang tidak benar-benar berbentuk yang diinginkan, seperti bentuk petak ukur persegi yang tidak tepat 90 derajat pada setiap sudutnya dan pohon yang berada di antara batas petak ukur dan kawasan hutan sehingga apakah pohon tersebut harus dimasukkan kedalam sampel atau tidak.[52] Ukuran samplingUkuran sampling adalah ukuran dari petak ukur yang akan dilaksanakan inventarisasi. Terdapat 2 (dua) faktor yang mempengaruhi ukuran sampling, antara lain: Ukuran sampling harus memiliki luasan yang cukup untuk dapat diambil sampelnya dan ukuran sampling harus sempit, dalam artian jumlah pohon yang disampel tidak terlalu banyak. Faktor tersebut harus dipertimbangkan dikarenakan untuk menghemat tenaga, waktu, dan biaya inventarisasi dan memperhitungkan galat sampling yang terjadi.[53] Ukuran sampling dipengaruhi oleh heterogenitas populasi dan umur tegakan. Semakin heterogen suatu populasi, maka ukuran sampling semakin besar. Semakin tua umur tegakan, maka ukuran sampling semakin besar, begitu pula sebaliknya. Tetapi, ukuran sampling yang dipakai jarang melebihi dari 0,1 Ha. Penentuan ukuran sampling sebagai berikut.[54]
Meskipun begitu, Ukuran sampling sudah direncanakan dan dapat langsung diaplikasikan ke lapangan, seperti contoh:[55][56][57]
Rujukan
Daftar pustakaWikimedia Commons memiliki media mengenai Forest Inventory. Wikisource memiliki karya asli tentang topik ini:
|