Jürgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman.[1] Ia adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfurt.[1] Jurgen Habermas adalah penerus dari Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse).[1] Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan.[1] Akan tetapi, Teori Kritis tidak berhenti begitu saja, Jurgen Habermas telah membangkitkan kembali teori itu dengan paradigma baru.[1] Riwayat hidupMasa Muda dan Masa Menempuh PendidikanJurgen Habermas dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di kota Dusseldorf, Jerman.[1] Dia dibesarkan di kota Gummersbach, kota kecil dekat dengan Dusseldorf.[1] Ketika ia memasuki masa remaja di akhir Perang Dunia II, ia baru menyadari bersama bangsanya akan kejahatan rezim nasional-sosialis di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.[1] Mungkin hal ini yang mendorong pemikiran Habermas tentang pentingnya demokrasi di negaranya.[1] Kemudian ia melanjutkan studinya di Universitas Gottingen, ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat (Nicolai Hartmann) serta mengikuti kuliah psikologi dan ekonomi.[1] Setelah itu, ia meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn yang mana pada tahun 1954 ia meraih gelar “doktor filsafat” dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und die Geshichte (Yang Absolut dan Sejarah) merupakan studi tentang pemikiran Schelling.[1] Berbarengan dengan itu juga, ia mulai lebih aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hal ini juga yang mendorong Habermas untuk masuk ke partai National Socialist Germany.[2] Menjadi peneliti dan asisten Theodor AdornoPada tahun 1956, Jurgen Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten dari Theodor Adorno. Habermas belajar tentang sosiologi dari Theodor Adorno.[1] Kemudian, ia mengambil bagian dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap politik mahasiswa di Universitas Frankfurt. Pada tahun 1964, hasil penelitiannya dipublikasikan dalam sebuah buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik).[1] Ketika Jurgen Habermas bekerja di Institut Penelitian Sosial tersebut, ia makin berkenalan dengan pemikiran Marxisme.[1] Menjadi Seorang Profesor di Bidang Filsafat dan SosiologiSekitar waktu yang sama Habermas mempersiapkan Habilitations schift-nya.[2] Karangan in diberi judul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Tranformasi struktural dari lingkup umum), suatu studi yang mempelajari sejauh mana demokrasi masih mungkin dalam masyarakat modern.[2] Fokus utama dari tulisan itu adalah tentang berfungsi tidaknya pendapat umum dalam masyarakat modern.[2] Pada kurun waktu yang sama, Habermas diundang menjadi profesor filsafat Universitas Heidelberg (1961-1964).[2] Pada tahun 1964, ia kembali ke Universitas Frankfurt, karena diangkat menjadi profesor sosiologi dan filsafat mengantikan Horkheimer.[2] Pemikiran Marx yang Habermas sudah kenal sejak di Mazhab Frankfurt cukup memengaruhi pemikiran dia secara utuh.[2] Peranan ia sebagai seorang Marxis tampak ketika ia turut berperan serta dalam gerakan mahasiswa Frankfurt.[2] sekitar tahun 1960-1970an merupakan periode demonstrasi “gerakan mahasiswa kiri baru yang radikal” yang sedang marak.[2] Sebagai seorang pemikiri Marxis, ia cukup dikenal oleh gerakan mahasiswa tersebut, bahkan sempat menjadi ideologinya, walaupun keterlibatannya hanya sejauh sebagai pemikir Marxis.[2] Habermas sangat populer di kalangan kelompok yang bernama Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman).[2] Hubungan Jurgen Habermas dengan Mahasiswa dan Kritik terhadap MahasiswaAkan tetapi, kedekatan Jurgen Habermas dengan kelompok mahasiswa yang beraliran kiri radikal tidak terlalu lama.[1][2] Hal itu dikarenakan aksi-aksi mahasiswa yang mulai melewati ambang batas, yaitu dengan menggunakan tindak anarkis atau tindak kekerasan.[1][2] Akibatnya, Habermas mengkritik tindakan mahasiswa yang melampaui batas tersebut.[1][2] Akan tetapi, akibat dari kritikan tersebut, Jurgen Habermas harus bernasib sama dengan Max Horkheimer dan Theodor Adorno, yang terlibat konflik dengan mahasiswa.[1][2] Di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969 yang berjudul Protestbewegung und Hochschulreform (Gerakan opsisi dan pembahasan perguruan tinggi).[1][2] Jurgen Habermas mengkritik secara pedas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa kiri.[1][2] Bagi Habermas, aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa kiri tersebut dikecam sebagai ‘revolusi palsu’, bentuk-bentuk pemerasan yang diulang kembali, dan counterproductive.[1][2] Masa-Masa Pensiun Jurgen HabermasAkhirnya, Habermas dengan mahasiswa beraliran kiri tersebut makin bertentangan.[1][2] Hal ini mendorong Habermas untuk keluar dari Universitas Frankfurt.[1][2] Habermas menerima tawaran untuk bekerja di Max Planck Institut di kota Stanberg sebagai peneliti.[1][2] Habermas bekerja di sana selama 10 tahun sampai lembaga penelitian ini dibubarkan. Selama di Max Planck Institut Habermas telah mencapai kematangan pemikiran filosofisnya.[1][2] Banyak karya-karya tulis yang dibuatnya selama di sana, antara lain: Legitimationsprobleme im Spatkapitalismus (Masalah legitimasi dalam kapitalisme kemudian hari, 1973), Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik, 1973); Zur Rekonstruktion des Historischen Materialismus (Demi rekonstruksi materialisme historis, 1976).[1][2] Selain itu, masih ada satu karya tulis Habermas yang dapat dikatakan sebagai opus magnumnya dan puncak seluruh usaha ilmiahnya adalah Theorie des kommunikativen Handelns (Teori tentang praktis komunikatif, dua jilid, 1981).[1][2] Pada akhirnya, Jurgen Habermas kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat.[1][2] Ia mengajar di Universitas Frankfurt sampai memasuki masa pensiunnya pada tahun 1994.[1][2] Pada waktu itu, Habermas sudah memiliki reputasi internasional yang besar dan banyak diminta untuk berbicara di berbagai pertemuan atau diskusi ilmiah.[1][2] Pemikiran FilosofisJurgen Habermas merupakan tokoh terakhir dari Mazhab Frankfurt dan juga yang masih hidup sampai sekarang.[3] Ketika Mazhab Frankfurt secara resmi sudah tidak ada lagi dan teori yang ditawarkan kepada masyarakat berakhir dengan sikap yang pesimis.[3][4] Namun, Jurgen Habermas telah menghidupkan kembali Mazhab Frankfurt dan melanjutkan kembali teori kritis yang menjadi proyek dari para pendahulunya (Max Horkheimer,Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse).[3][4] Bukan hanya teori krits yang dilanjutkan oleh Jurgen Habermas, ada banyak hal yang diberikan oleh Jurgen Habermas dalam dunia filsafat dewasa ini.[3][4] Teori KritisMenurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita.[3] Jurgen Habermas menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi).[3] Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistik.[3] Teori krtis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris.[3] Dapat dikatakan, Teori kritis merupakan kritik ideologi.[3] Teori kitis ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern.[3] Akan tetapi, semua itu konsep Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulu Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan.[4] Akan tetapi, teori ini tidak berakhir begitu saja, Jurgen Habermas sebagai penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah paradigma baru.[5] Teori Kritis Dengan Paradigma BaruJurgen Habermas menambahkan konsep komunikasi di dalam Teori Kritis tersebut.[4] Menurut Jurgen Habermas, komunikasi dapat menyelesaikan kemacetan Teori kritis yang ditawarkan oleh pendahulunya.[4] Jurgen Habermas membedakan antara pekerjaan dan komunikasi (interaksi).[4][5] Pekerjaan merupakan tindakan instrumental, jadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu.[4] Sedangkan komunikasi adalah tindakan saling pengertian.[4] Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, teori dan praksis tidak dapat dipisahkan.[4][5] Praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan-kegiatan yang berkerja melulu, melainkan interaksi dengan orang lain menggunakan bahasa sehari-hari.[4][5] Selain itu juga, para pendahulunya memandang rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaan.[4][4] Kedua hal itulah yang membuat kemacetan dalam Teori Kritis menurut Jurgen Habermas.[4] Pandangan ini telah membuat sudut pandang masyarakat tentang krtik dengan penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu sama.[4] Jurgen Habermas berpendirian kritik hanya dapat maju dengan rasio komunikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikatif atau tindakan komunikatif.[4] Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi atau kekersan, tetapi melalui argumentasi.[4] Kemudian Habermas membedakan dua macam argumentasi, yaitu: perbincangan atau diskursus dan kritik.[4] Demokrasi DeliberatifKata “deliberasi” berasal dari bahasa Latin deliberatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi deliberation.[6] Istilah ini memiliki arti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam istilah politik adalah “musyawarah”.[6] Pemakian istilah demokrasi memberikan makna tersendiri bagi konsep demokrasi.[6] Istilah demokrasi deliberatif memiliki makna yang tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.[6] Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu.[6] Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut.[6] Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan kolektif itu.[6] Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya.[6] Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas.[6] Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang mandat.[6] Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat irasional.[6] Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik.[6] Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.[6] Ruang PublikBagi Habermas, ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.[6] Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.[6] Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.[7] Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga.[7] Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.[6][7] Ruang publik bukan hanya sekadar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang.[7] Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.[6] Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, pluralitas (keluaraga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).[6] Jadi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik di tengah-tengah masyarakat warga. Kita tidak dapat membatasi ruang publik, ruang publik ada di mana saja.[7] Di mana ada masyarakat yang duduk berkumpul bersama dan berdiskusi tentang tema-tema yang relevan maka di situ hadir ruang publik. Selain itu, ruang publik tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar maupun politik. Oleh karena itu, ruang publik tidak terbatas.[6][7] Referensi
Bacaan lanjutan
|