Share to:

 

J. Budziszewski

J. Budziszewski (lahir tahun 1952) adalah profesor ilmu pemerintahan dan filsafat di University of Texas at Austin (UT Austin), tempat ia mengajar sejak tahun 1981. Spesialisasinya adalah etika, filsafat politik, serta interaksi antar kedua bidang tersebut dengan agama dan teologi.[1]

Budziszewski telah menulis secara luas, dalam ranah keilmuan maupun populer, seputar beragam isu moral dan politik termasuk aborsi, perkawinan, seksualitas, hukuman mati, dan peranan para hakim dalam suatu negara republik konstitusional. Bidang publikasi utamanya adalah teori hukum kodrat. Ia menjadi salah seorang pendukung terpenting teori hukum kodrat sejak tahun 1980-an.[2] Dalam konteks ini, ia memberikan perhatian khusus pada persoalan penipuan-diri secara moril: Apa yang terjadi ketika manusia mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan. Di antara bidang kajian penelitiannya termasuk juga etika kebajikan dan persoalan toleransi.[1]

Terlepas dari karya filosofis ilmiahnya, Budziszewski dikenal sebagai penulis berbagai artikel dan buku apologetika Kristen, yang ditujukan kepada khalayak luas termasuk kaum muda dan mahasiswa. Dikenal sebagai salah seorang intelektual Protestan Injili terkemuka di Amerika Serikat dan mantan ateis, Budziszewski kemudian diterima dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik pada Minggu Paskah tahun 2004.[3] Setelah konversinya, ia tetap menyampaikan tulisan dan pengajarannya seputar topik-topik Kekristenan kepada umat Kristen Protestan, Katolik, dan Ortodoks, juga kepada mereka yang tidak memiliki keyakinan pasti namun dengan sungguh-sungguh mencarinya.[3][4]

Pendidikan

Setelah lulus dari sekolah menengah pada tahun 1970, Budziszewski menempuh pendidikan tinggi di University of Chicago, salah satu alasannya adalah karena terdapat program biopsikologi (yang sebenarnya tidak pernah ia masuki) dan karena reputasinya sebagai suatu basis aktivitas sayap kiri. Secara intelektual, Budziszewski kala itu terobsesi dengan persoalan pikiran/budi-tubuh; secara politis, ia jauh ke kiri. Namun, setelah dua tahun, ia berhenti dari pendidikannya dengan keyakinan bahwa ia perlu mempelajari perdagangan dan bergabung dengan kaum proletariat. Dengan menjadi seorang tukang las, ia mengerjakan berbagai pekerjaan, dan berakhir di galangan kapal Tampa. Setelah menyadari bahwa ia seharusnya berkuliah, ia kelak meraih gelar B.A. di University of South Florida, gelar M.A. di University of Florida, dan gelar Ph.D. di Yale University. Ia telah mengajar di University of Texas at Austin sejak ia menyelesaikan studi doktoralnya pada tahun 1981, memberikan pengajaran tentang topik-topik Pendirian Amerika dan tradisi hukum kodrat dari Santo Thomas Aquinas.

Penelitian tentang penipuan-diri

Salah satu bidang ketertarikan Budziszewski untuk diteliti adalah menganalisis apa yang dipandangnya sebagai kecenderungan manusia secara umum pada penipuan diri.[5] Permasalahan itu timbul dari suatu prinsip teoretis yang dipertahankan oleh St. Thomas Aquinas, yang menuliskan: "Kita perlu menyatakan bahwa, sehubungan dengan prinsip-prinsip universal, hukum kodrat adalah sama untuk setiap orang, baik dalam hal kebenaran maupun dalam hal pengetahuan."[6] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebanyakan prinsip paling umum tentang yang benar dan yang salah tidak hanya benar bagi semua orang tetapi juga dikenali oleh semua orang, walaupun tidak dapat dikatakan demikian dalam hal implikasi-implikasi tertentu. Menurut Budziszewski, St. Thomas benar. Ia berpendapat kalau sering kali, bahkan tatkala orang-orang tampaknya tidak peduli dengan landasan-landasan moral, hipotesis bahwa mereka menipu diri sendiri menyajikan suatu penjelasan yang lebih baik tentang perilaku mereka yang sebenarnya.[7]

Hal tersebut menyebabkan Budziszewski mencetuskan teori pengetahuan bersalah, dari nurani atau suara hati yang dilanggar. Senada dengan St. Thomas, Budziszewski membedakan antara sinderesis, yang menyajikan prinsip-prinsip pertama dari akal praktis dan yang ia sebut "nurani mendalam", dengan conscientia, yang ia sebut "nurani permukaan" dan menyajikan penilaian mengenai tindakan-tindakan tertentu. Menurut Budziszewski, nurani beroperasi dalam tiga mode berbeda: Dalam mode peringatan, nurani mengingatkan manusia pada bahaya kesalahan moral dan menghasilkan inhibisi untuk tidak melakukannya. Dalam mode pendakwaan, nurani mendakwa manusia atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam mode pembalasan, nurani menghukum individu yang secara sadar melakukan kesalahan tetapi menolak untuk mengakui bahwa ia telah melakukannya. Karenanya nurani adalah guru, hakim, atau juga eksekutor, tergantung pada mode yang di dalamnya nurani bekerja.[8]

Bagian paling asli dari skema tersebut adalah apa yang Budziszewski katakan mengenai mode pembalasan. Hukuman yang paling jelas atas pengetahuan bersalah adalah rasa sesal mendalam, kendati perasaan itu tidak selalu ada. Namun, Budziszewski mengemukakan bahwa sekalipun rasa sesal mendalam tidak ada, pengetahuan bersalah menghasilkan kebutuhan-kebutuhan objektif akan pengakuan, pendamaian, rekonsiliasi, dan pembenaran. Dengan menyebut keempat "Furies" ("Kemurkaan-Kemurkaan") lainnya itu sebagai "greater sisters of remorse" ("saudari-saudari yang lebih besar dari rasa sesal mendalam"), ia berpendapat bahwa kesemuanya itu "takkan berubah, tak terhindarkan, dan menekan tanpa henti, menuntut pemenuhan sekalipun perasaan-perasaan [bersalah] saja yang ditekan, berangsur hilang, atau juga tidak pernah timbul."[7]

Ia berpendapat bahwa:

Jalan keluar yang lazim untuk rasa sesal mendalam adalah melepaskan diri dari apa yang salah; untuk kebutuhan akan pengakuan, adalah mengakui apa yang telah dilakukan; untuk pendamaian, adalah membayar apa yang menjadi tanggungan; untuk rekonsiliasi, adalah memulihkan ikatan-ikatan yang telah rusak; dan untuk pembenaran, adalah kembali ke apa yang benar. Tetapi bilamana Kemurkaan-Kemurkaan tersebut dimungkiri pembayarannya dengan bayaran yang tepat, Kemurkaan menuntut pembayaran dengan bayaran apa saja yang paling mendekati, menggerakkan kehidupan orang yang bersalah itu lebih jauh dari keteraturan. Kita melepaskan diri bukan dari apa yang salah, tetapi dari pemikiran akan kesalahan itu. Kita secara kompulsif mengakukan setiap detail dari kisah kita, selain yang moril. Kita terus menerus menghukum diri kita sendiri, mempersembahkan segala pengorbanan selain yang dituntut. Kita menyimulasikan pemulihan keintiman yang rusak, dengan mencari teman-teman yang sama bersalahnya seperti diri kita sendiri. Dan kita berupaya untuk tidak menjadi benar, tetapi untuk membenarkan diri kita sendiri.[9]

Budziszewski berpegang pada pandangan bahwa satu-satunya cara untuk mematahkan lingkaran setan tersebut adalah dengan pengakuan pribadi seseorang bahwa ia telah berbuat salah dan bertobat karenanya, menggantungkan diri pada rahmat Allah. Kegagalan untuk keluar dari lingkaran setan tersebut mengakibatkan berbagai penyakit moral dalam diri individu yang bersangkutan, budaya, dan lembaga politik.[10]

Penelitian tentang toleransi

Bidang utama yang kedua dari karya ilmiah Budziszewski adalah persoalan toleransi. Budziszewski memandang toleransi sebagai salah satu kebajikan. Sebagaimana halnya kebajikan-kebajikan moral Aristotelian, toleransi terletak pada titik keseimbangan di antara ekstrem-ekstrem. Salah satu cara untuk kehilangan sasarannya adalah pemenuhan yang berlebihan, ketika seseorang menoleransi apa yang seharusnya tidak ditolerir. Cara lainnya adalah kepicikan, ketika seseorang gagal menoleransi apa yang seharusnya ditolerir. Karena "menoleransi" berarti tidak sekadar menerima hal-hal yang tidak menyenangkan, tetapi bahkan menerima hal-hal yang tidak menyenangkan yang dipandang salah, buruk, ataupun menyinggung, maka pertanyaan yang mungkin timbul adalah mengapa toleransi adalah suatu kebajikan. Menurut Budziszewski, jawabannya adalah kadang kala hakikat kebaikan itu sendiri mensyaratkan penerimaan sejumlah kejahatan. Umat Kristiani, misalnya, menoleransi penganut ateis bukan karena mereka ragu akan kebenaran dari kepercayaan Kristiani, tetapi karena keyakinan mereka bahwa iman pada hakikatnya tidak dapat dipaksakan, dan bahwa Allah tidak menginginkan ketaatan yang tidak dikehendaki.[11]

Analisis toleransi tersebut menjadikan Budziszewski seorang kritikus yang tajam atas teori-teori toleransi liberal kontemporer, yang umumnya didasarkan pada netralitas moral, pada penangguhan penilaian tentang kebaikan dan kejahatan. Budziszewski menegaskan bahwa apabila seseorang terus-menerus menangguhkan penilaian, ia tidak akan mampu mempertahankan praktik toleransi, atau juga memutuskan hal-hal buruk mana yang seharusnya ditolerir. Landasan toleransi yang sejati adalah bukan penangguhan penilaian, tetapi penilaian yang lebih baik, dan bukan netralitas seputar kebaikan dan kejahatan, tetapi wawasan yang lebih dalam akan kebaikan dan kejahatan. Bagaimanapun, menurut Budziszewski, para pendukung teori-teori netralis sebenarnya menangguhkan penilaian hanya secara selektif, menggunakan sebuah 'topeng' netralitas demi menyelundupkan pandangan-pandangan moril mereka ke dalam kebijakan tanpa perlu membelanya.[11]

Penelitian tentang tradisi hukum kodrat

Terdapat porsi yang signifikan dalam hasil karya Budziszewski yang berfokus pada tradisi hukum kodrat. Pemahamannya akan hukum kodrat banyak bergantung pada yang dicetuskan oleh St. Thomas Aquinas.[12] Dalam bukunya yang baru,[per kapan?] The Line Through the Heart, Budziszewski berupaya untuk memperlihatkan bagaimana hukum kodrat terus menerus menerangi dimensi etika dan politik dari eksistensi manusia masa kini kendatipun manusia berupaya keras untuk mengabaikannya.[13] Hukum kodrat merupakan suatu fakta bahwa itu adalah nyata, dan manusia tidak dapat mengubahnya. Dikatakan sebagai suatu teori karena manusia dapat merefleksikan pengetahuan pra-teoretis yang dimilikinya akan hukum kodrat dan berupaya untuk mengembangkan suatu laporan sistematis tentangnya. Pada akhirnya, hukum kodrat dikatakan sebagai suatu skandal, hukum tersebut mengakibatkan manusia marah karena menantang atau menyusahkan manusia.[13]

Daftar karya

  • (Inggris) The Resurrection of Nature: Political Theory and the Human Character (Cornell, 1986)
  • (Inggris) The Nearest Coast of Darkness: A Vindication of the Politics of Virtues (Cornell, 1988)
  • (Inggris) True Tolerance: Liberalism and the Necessity of Judgment (Transaction, 1992)
  • (Inggris) Written on the Heart: The Case for Natural Law (InterVarsity, 1997)
  • (Inggris) How to Stay Christian in College: An Interactive Guide to Keeping the Faith (NavPress, 1999)
  • (Inggris) The Revenge of Conscience: Politics and the Fall of Man (Spence, 1999; republished by Wipf and Stock, 2010)
  • (Inggris) What We Can't Not Know: A Guide (Spence, 2003; second edition by Ignatius Press, 2010)
  • (Inggris) Evangelicals in the Public Square: Four Formative Voices (Baker Academic, 2006)
  • (Inggris) Natural Law for Lawyers (Blackstone Fellowship, 2006)
  • (Inggris) The Line Through the Heart: Natural Law as Fact, Theory, and Sign of Contradiction (Intercollegiate Studies Institute Press, 2009)
  • (Inggris) On the Meaning of Sex (Intercollegiate Studies Institute Press, 2012)
  • (Inggris) Commentary on Thomas Aquinas's Treatise on Law (Cambridge University Press, 2014)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b (Inggris) UT College of Liberal Arts
  2. ^ (Inggris) Kevin Lee: "Contemporary Challenges to Natural Law Theories", The Catholic Social Science Review 12 (2007): 41.
  3. ^ a b (Inggris) "Objections, Obstacles, Acceptance: Interview with J. Budziszewski". Ignatius Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-11-01. Diakses tanggal 20 September 2017. 
  4. ^ (Inggris) Audio Library Download
  5. ^ (Inggris) For the most accessible treatment of this theme, see What We Can't Not Know: A Guide (Spence Publishing, 2003, second edition forthcoming 2011 from Ignatius Press); for the most scholarly treatment, see The Line Through the Heart: Natural Law as Fact, Theory, and Sign of Contradiction (ISI Books, 2009).
  6. ^ Thomas Aquinas: Summa Theologiae, I II, Q. 94, Art. 4
  7. ^ a b (Inggris) J. Budziszewski: What We Can't Not Know: A Guide, chapter 7; see also The Revenge of Conscience: Politics and the Fall of Man.
  8. ^ (Inggris) J. Budziszewski: What We Can't Not Know: A Guide, chapter 7; see also The Revenge of Conscience: Politics and the Fall of Man.
  9. ^ (Inggris) J. Budziszewski: What We Can't Not Know: A Guide, p. 140; see also The Revenge of Conscience: Politics and the Fall of Man
  10. ^ (Inggris) J. Budziszewski: What We Can't Not Know: A Guide,chapter 7; see also The Revenge of Conscience: Politics and the Fall of Man.
  11. ^ a b (Inggris) J. Budziszewski: The Line Through the Heart, chapter 10. See also J. Budziszewski: True Tolerance: Liberalism and the Necessity of Judgment (Transaction, 1992)
  12. ^ (Inggris) J. Budziszewski: The Line Through the Heart: Natural Law as Fact, Theory, and Sign of Contradiction. Wilmington: Del: ISI Books. 2009.
  13. ^ a b (Inggris) Steven McGuire: Book Review of J. Budziszeski's "The Line Through the Heart". http://lehrman.isi.org/blog/post/view/id/461

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya