Share to:

 

Kabupaten Sarolangun Bangko

Kabupaten Sarolangun Bangko adalah sebuah bekas kabupaten yang pernah didirikan dalam wilayah Provinsi Jambi, Indonesia. Pembentukan Kabupaten Sarolangun Bangko pada tahun 1965 dari hasil pemekaran sebagi wilayah Daerah Tingkat II Merangin. Kabupaten Sarolangun Bangko memiliki wilayah seluas 13.863 km2 yang terbagi menjadi 9 kecamatan. Ibu kota Kabupaten Sarolangun Bangko terletak di Kecamatan Bangko.

Wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko terletak di barat Provinsi Jambi. Sebagian besar wilayahnya adalah dataran rendah, sedangkan sebagian kecil berupa dataran tinggi dan pegunungan. Wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko dilalui oleh sungai Merangin dan sungai Tembesi. Kabupaten Sarolangun Bangko secara administratif terbagi menjadi 9 kecamatan. Struktur pemerintahan di Wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko awalnya terdiri dari tiga tingkatan setelah kecamatan yakni marga, dusun, dan kampung atau kemangkuan. Lalu pada tahun 1991, struktur pemerintahannya terdiri dari kecamatan, desa dan kelurahan.

Penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko terdiri dari suku Batin, suku Kubu, suku Penghulu dan suku Pindah. Pada tahun 1976, jumlah penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko sebanyak 172.745 jiwa. Jumlah ini menjadi sebanyak 346.909 jiwa pada tahun 1991. Penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko utamanya menuturkan bahasa Batin dan bahasa Penghulu. Perekonomian penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko mengutamakan hasil hutan berupa rotan, kayu dan karet. Selain itu, terdapat perkebunan kayu manis dan kelapa sawit. Penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko memiliki tradisi Doa Padang ketika mengangkat pemimpin, dan tari-tarian seperti tari kipas, tari skin dan tari selampit delapan.

Pada tahun 1999, sebagian wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko dimekarkan menjadi Kabupaten Sarolangun. Sisa wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko kemudian diubah namanya menjadi Kabupaten Merangin dan dibentuk sebagai kabupaten baru.

Pembentukan

Kabupaten Sarolangun Bangko dibentuk sebagai daerah tingkat II dalam wilayah Provinsi Jambi. Pembentukannya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1965.[1] Wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko diperoleh dari pemekaran Daerah Tingkat II Merangin.[2] Luas wilayahnya adalah 13.863 km2.[3] Ibu kota Kabupaten Sarolangun Bangko ditetapkan di Kecamatan Bangko.[4]

Geografi

Wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko terletak di barat Provinsi Jambi.[5] Sebagian besar wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko merupakan dataran rendah yang kering.[6] Sedangkan sebagian wilayah lainnya di Kabupaten Sarolangun Bangko terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan.[5] Wilayah pegunungan terletak di bagian selatan Kabupaten Sarolangun Bangko.[7] Kabupaten Sarolangun Bangko dilalui oleh sungai Merangin dan sungai Tembesi.[8]

Wilayah administratif

Ketika dibentuk pada tahun 1965, wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko terbagi menjadi 9 kecamatan. Nama-namanya yakni Bangko, Sungai Manau, Tabir, Muara Siau, Jangkat, Sarolangun, Pauh, Batang Asai, dan Sungai Limun.[2] Pada tahun 1976, wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko masih terbagi menjadi 9 kecamatan dan 27 marga.[9] Lalu pada tahun 1991, wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko terbagi menjadi 9 kecamatan dan 275 desa dan kelurahan.[10]

Pemerintahan

Struktur pemerintahan di Kabupaten Sarolangun Bangko memiliki jenjang hierarki tiga tingkat. Setelah pemerintahan kecamatan terdapat tiga turunan pemerintahan yaitu marga, dusun, dan kampung atau kemangkuan.[11] Kepala pemerintahan pada marga di Kabupaten Sarolangun Bangko disebut pasirah.[12] Pada tahun 1991, pemerintahan di Kabupaten Sarolangun Bangko memiliki dua orang pembantu bupati.[10]

Demografi

Asal penduduk

Wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko dihuni oleh suku Batin.[13] Wilayah suku Batin di Kabupaten Sarolangun Bangko terletak di Kecamatan Jangkat, Pauh, Muara Siau, Bangko, Tabir, dan Muaro Bungo.[14] Suku Batin hidup berdampingan dengan suku Penghulu.[15] Di wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko, suku Penghulu telah digolongkan sebagai salah satu penduduk asli.[16] Kedatangan suku Penghulu ke wilayah Provinsi Jambi karena ketertarikan dalam pencarian emas di hulu sungai Batang Hari.[15] Penyebaran suku Penghulu di Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Batang Asai, dan Kecamatan Tabir.[16]

Penduduk pendatang di Kabupaten Sarolangun Bangko ialah suku Pondah. Mereka datang dari wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Provinsi Jambi yakni Kecamatan Rawas dan Kecamatan Rupit I. Setelah berpindah, suku Pondah menetap di wilayah Kecamatan Pauh dan Kecamatan Mendiangin.[15] Selain itu, dalam kawasan hutan Kabupaten Sarolangun Bangko terdapat suku Kubu yang hidup secara menyebar.[13] Suku Kubu yang sama sekali tidak berhubungan dengan suku lain dan menyebar di sekitar Sungai Makalele Air Hitam, Tabir, Limbur, Tembesi, Batang Asai, Sakalodo Jemang, Tanjakan, Merak dan Pemenang.[17] Sedangkan suku Kubu yang terkadang mengadakan pengembaraan dan terkadang menetap dalam wilayah Kabupaten Sarolangun Bangki berada di daerah Tanjung dan Kembang Bungo.[18]

Jumlah penduduk

Pada tahun 1961, jumlah penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko sebanyak 111.667 jiwa. Kemudian terjadi pertumbuhan penduduk hingga tahun 1976 dengan rata-rata sebesar 2,62% per tahun. Jumlah penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko menjadi sebanyak 172.745 jiwa pada tahun 1976.[19] Pada tahun 1983, jumlah penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko sebanyak 256.454. jiwa. Sebanyak 127.988 jiwa adalah laki-laki dan sebanyak 128.466 jiwa adalah perempuan.[20] Pada tahun 1991, jumlah penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko sebanyak 346.909 jiwa.[21]

Bahasa

Bahasa yang dituturkan oleh penduduk di Kabupaten Sarolangun Bangko yaitu bahasa Batin dan bahasa Penghulu. Bahasa Batin dituturkan oleh suku Batin, sedangkan bahasa Penghulu dituturkan oleh suku Penghulu.[22]

Perekonomian

Sekitar 86% lahan di Kabupaten Sarolangun Bangko merupakan hutan. Penggarapan lahan hanya dilakukan pada sekitar 13,3% dari luas wilayahnya.[23] Penghasilan utama di Kabupaten Sarolangun Bangko diperoleh melalui produk kayu, rotan dan karet yang diproduksi melalui pertanaman tunggal. Produk-produk ini dihasilkan pada kawasan dataran rendah yang kering di Kabupaten Sarolangun Bangko.[6] Suku Kubu di Kabupaten Sarolangun Bangko hidup secara nomaden. Mereka memenuhi kebutuhan hidup langsung dari alam dengan berburu dan meramu.[24]

Kabupaten Sarolangun Bangko berhasil mengembangkan perkebunan kayu manis selama pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun.[25] Pada tahun 1991, Kabupaten Sarolangun Bangko mengembangkan perkebunan kelapa sawit melalui rintisan perusahaan bernama Sari Aditya Loka. Luas perkebunan intinya adalah 5.000 ha dan perkebunan plasmanya seluas 27.000 ha.[26]

Tradisi dan kebudayaan

Doa Padang

Masyarakat di Kabupaten Sarolangun Bangko mengadakan Doa Padang yang dilaksanakan tiap pengangkatan seorang depati dan penghulu. Doa Padang merupakan kegiatan menghanguskan 100 butir beras dan pemotongan seekor kerbau. Tujuan dari Doa Padang ialah permintaan keselamatan dari arwah leluhur kepada pemimpin dan rakyat di Kabupaten Sarolangun Bangko.[27]

Tari-tarian

Di wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko telah ada beberapa tari yang menjadi tradisi. Tari-tarian ini ialah tari kipas, tari skin dan tari selampit delapan.[28]

Pemekaran

Kabupaten Sarolangun (gambar kiri) dan Kabupaten Merangin (gambar kanan) merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sarolangun Bangko menjadi dua kabupaten baru.

Pada tahun 1999, Kabupaten Sarolangun Bangko dimekarkan menjadi sebagian wilayahnya menjadi kabupaten baru yakni Kabupaten Sarolangun. Sisa wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko kemudian diubah namanya dan dibentuk menjadi kabupaten baru bernama Kabupaten Merangin.[29] Pemekaran ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Undang-undang ini diterbitkan pada tanggal 12 Oktober 1999.[30]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Nazir, dkk. 1993, hlm. 34.
  2. ^ a b Presiden Republik Indonesia 1965, hlm. 2.
  3. ^ Presiden Republik Indonesia 1999, hlm. 1.
  4. ^ Presiden Republik Indonesia 1965, hlm. 3.
  5. ^ a b Sutoyo, dkk. 1979, hlm. 1.
  6. ^ a b Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 7.
  7. ^ Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 6.
  8. ^ Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 8-9.
  9. ^ Nazir, dkk. 1993, hlm. 10.
  10. ^ a b Lembaga Pemilihan Umum 1994, hlm. 91-92.
  11. ^ Nazir, dkk. 1993, hlm. 71.
  12. ^ Nazir, dkk. 1993, hlm. 70.
  13. ^ a b Ja'far, Purwaningsih, dan Zakaria 1993, hlm. 10.
  14. ^ Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 65. ISBN 978-979-461-929-2. 
  15. ^ a b c Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 21.
  16. ^ a b Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya. hlm. 672. 
  17. ^ Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 19.
  18. ^ Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 20.
  19. ^ Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 110.
  20. ^ Ja'far, Purwaningsih, dan Zakaria 1993, hlm. 8.
  21. ^ Lembaga Pemilihan Umum 1994, hlm. 91.
  22. ^ Muhadjir (2000). Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 10–11. ISBN 979-461-340-1. 
  23. ^ Margono, Mujilan, dan Chaniago 1984, hlm. 8.
  24. ^ Gardjito, M., Ayuningsih, F., dan Chayatinufus, C. (2017). Kuliner Jambi: Telusuri Jejak Melayu, Sedap Meresap dalam Kalbu. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 27. ISBN 978-602-03-7525-0. 
  25. ^ Nazir, dkk. 1993, hlm. 80.
  26. ^ Adnan, H., dkk., ed. (2008). Belajar dari Bungo: Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi. Bogor: Center for International Forestry Research. hlm. 45. ISBN 978-979-1412-47-6. 
  27. ^ Sutoyo, dkk. 1979, hlm. 39.
  28. ^ Sutoyo, dkk. 1979, hlm. 94-95.
  29. ^ Presiden Republik Indonesia 1999, hlm. 3.
  30. ^ Sutaryono, dkk. (2012). "Perjuangan untuk Menjadi Bagian dari Proses Perubahan Agraria yang Menguntungkan (Studi Kasus Perkebunan Sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi)". Dalam Luthf, Ahmad Nashih. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (PDF). Sleman: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasiona. hlm. 46–47. ISBN 978-602-7894-03-7. 

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya