Kaitetu, Leihitu, Maluku Tengah
Kaitetu adalah negeri di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. EtimologiNama Kaitetu berasal dari bahasa Tana. "Kaitetu" terdiri dari dua kata yaitu kai yang artinya dayung atau mendayung dan tetu yang artinya tanjung.[1] Penamaan ini berkaitan dengan proses perpindahan penduduk dari negeri lama di gunung ke pesisir atas perintah Belanda. Negeri lama tersebut berada di Gunung Wawane dan bernama Ala Hahulu.[1] Dalam proses perpindahan dari gunung ke permukiman baru di pesisir, masyarakat Ala Hulu turun ke Tanjung Hatunuku dan dari sana mereka mendayung perahu, sampai ke lokasi negeri yang sekarang, Benteng Amsterdam.[1] Teun negeri ini adalah Uli Hatunuku.[1] Uli ini merupakan bagian dari Kerajaan Tanah Hitu dan pada masa lalu hanya beranggotakan satu negeri saja, yaitu Kaitetu sendiri.[2] Baileo negeri bernama Maatita. SejarahMenurut cerita rakyat, Kaitetu adalah negeri tertua di Pulau Ambon.[3][4] Cikal-bakal penduduknya adalah para pendatang yang menghuni daerah di sekitar Gunung Wawane. Masyarakat Wawane serta penduudk Tanah Hitu pada umumnya kemudian memeluk agama Islam dan didirikanlah masjid di sana. Saat masyarakat Kaitetu berpindah ke pesisir, masjid tersebut dipercaya turut berpindah mengikuti kepindahan penduduk dari Wawane. Jarak Wawane ke lokasi Negeri Kaitetu sekitar 8 km. Masjid yang berpindah tempat itu bernama Masjid Wapauwe, yang dipercaya sebagai masjid tertua di Provinsi Maluku. Kondisi wilayahNegeri Kaitetu berada di pesisir utara Pulau Ambon, di tepi Teluk Piru pada daerah yang dikenal sebagai Jazirah Leihitu.Menurut Rumphius, di belakang Negeri Kaitetu terdapat daerah perbukitan, dengan puncak utamanya Gunung Wawane. Kaitetu terletak sekitar 60-70 kilometer di utara Kota Ambon.[3] DemografiSemua penduduk asli Kaitetu beragama Islam. Sosial budayaSoaNegeri Kaitetu terbentuk berdasarkan persatuan 10 soa.[1] Soa-soa itu adalah sebagai berikut.[1]
Di antara sepuluh soa di atas, Tehala, Hakia, dan Sou Lete sudah lenyap atau punah.[1] KapitanSaat masih bermukim di Wawane, masyarakat Kaitetu memiliki kapitan atau seorang panglima perang bernama Kapitan Tikokin. Titokin adalah julukan yang berarti dua urat lidi, yang didapat oleh sang kapitan karena senantiasa membawa urat lidi sebagai pelengkap senjatanya dalam berperang.[1] Upacara adatUpacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat negeri ini adalah perkawinan dengan adat dan pelantikan raja. Dalam Upacara perkawinan tradisional di Kaitetu, mempelai wanita harus melaksanakan adat "injak telur" atau "injak debu" sebelum memasuki kediaman mempelai laki-laki.[1] Cerita rakyatMasayarakat Kaitetu memiliki cerita rakyat yang diwariskan turun temurun secara lisan. Kisah cerita rakyat yang paling populer adalah mengenai Pol Siti dan Pol Raja, dua putri dari soa Sou Lete yang melarikan diri ke hutan karena menolak untuk dinikahkan dengan orang Belanda.[1] Saking takutnya mereka menggali lubang dan masuk ke dalamnya hingga meninggal. Konon hingga sekarang mereka masih sering menampakkan diri kepada penduduk yang memasuki hutan di sebelah selatan negeri ini.[1] Hubungan sosialMasyarakat Kaitetu dan Negeri Lima dianggap sebagai orang basudara bagi Negeri Seith. Raja kedua negeri tersebut hadir dalam pelantikan Rivi Ramli Nukuhehe yang didaulat menjadi Raja Seith (Upu Latu Uli Ala Leisiwa) sebagai saksi adat.[5][6] Kaitetu memiliki hubungan gandong dengan Kaibobo di Pulau Seram. Sementara hubungan pela diikat dengan Negeri Ameth di Pulau Nusalaut dan Sameth di Pulau Haruku. Referensi
Daftar pustaka
|