Kampung PituKampung Pitu adalah sebuah perkampungan yang terletak di Kelurahan Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kampung tersebut berada di wilayah puncak sisi timur Gunung Api Purba Nglanggeran.[1] Kampung Pitu dikenal karena ciri khas masyarakatnya yang mempertahankan tradisi leluhur mereka yang membatasi jumlah kepala keluarga sebanyak tujuh orang. Pada awalnya, kampung tersebut bernama Kampung Tlogo. Nama tersebut diambil dari sebuah telaga bernama Tlogo Guyangan yang memiliki arti tempat pemandian kuda sembrani atau kuda gaib yang dipercaya sebagai tunggangan atau kendaraan para bidadari. Namun pada tahun 2015, nama tersebut diganti oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) menjadi Kampung Pitu sebagai upaya untuk mempromosikan Kampung Pitu menjadi salah satu objek wisata unggulan di Kabupaten Gunungkidul. Dengan nama tersebut, Kampung Pitu berhasil meraih penghargaan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kategori Pelestari Kebudayaan. Pada tahun 2019, Kampung Pitu juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional dalam kategori Organisasi Masyarakat Berbasis Budaya.[2] SejarahKampung Pitu merupakan sebuah perkampungan yang hanya dapat dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Aturan tersebut tidak boleh dilanggar oleh penduduk di sana karena diyakini dapat mendatangkan sebuah bencana.[1] Sejarah Kampung Pitu diawali dengan ditemukannya sebuah pusaka yang menempel pada pohon Kinah Gadung Wulung di puncak Gunung Nglenggeran oleh seorang abdi Keraton Yogyakarta bernama Eyang Iro Dikromo melalui sebuah sayembara.[3] Sebagai hadiah, Eyang Iro Dikromo mendapatkan tanah yang cukup untuk anak serta keturunannya dari pihak Keraton Yogyakarta. Kemudian, ia mengajak teman-temannya untuk menempati lahan dekat pohon Kinah Gadung Wulung dan membuat peraturan-peraturan sebagai berikut:
Peraturan-peraturan di atas merupakan wasiat (pepundhen) dari leluhur masyarakat Kampung Pitu yang ditujukan kepada keturunannya agar wilayah tersebut hanya dapat dihuni oleh Empu Pitu atau tujuh kepala keluarga saja. Sampai saat ini, peraturan-peraturan tersebut masih diyakini dan ditaati oleh penduduk Kampung Pitu.[2] TradisiMasyarakat Kampung Pitu pantang menyelenggarakan pertunjukan wayang. Hal tersebut disebabkan karena gunung di sekitar desa tersebut diberi nama gunung wayang. Oleh sebab itu, penduduk di sana percaya untuk tidak menggelar pertunjukan wayang.[1] Semua masyarakat Kampung Pitu menganut ajaran Islam dengan sinkretisme budaya Jawa.[3] Mereka selalu menyelenggarakan slametan untuk berbagai upacara keagamaan yang berkaitan dengan tahapan hidup manusia, seperti perkawinan, kelahiran, dan kematian. Meskipun masyarakat di sana mempercayai aturan kepala keluarga yang harus berjumlah tujuh, perkawinan yang ada di Kampung Pitu tidak memiliki aturan dalam memilih pasangan. Setiap warga di sana dapat menikah dengan siapa saja, baik warga Kampung Pitu ataupun warga luar lainnya. Namun, warga yang telah menikah dilarang menempati Kampung Pitu dan harus meninggalkan kampung tersebut. Apabila mereka tetap tinggal di sana, mereka tidak diizinkan membuat kartu keluarga sendiri, melainkan harus ikut dalam kartu keluarga orang tuanya.[2] Referensi
|