Share to:

 

Katuk hutan

Morfologi

Katuk hutan ( Phyllanthus sp. var. papua) merupakan tumbuhan pohon, tinggi dapat mencapai 3 m. Batang coklat berdiameter 2-4 cm. Daun majemuk, anak daun tersusun berselang seling gasal jumlah 11-13, anak daun berbangun jorong, berwarna hijau agak muda, ukuran 2-5 cm, tangkai daun pendek. Bunga dan buah dibawah tangkai ibu tulang daun majemuk pada setiap ketiak anak daun. Buah bulat berkendaga ukurannya kecil (0,5-1 cm) berwarna hijau kekubingan dan akan berubah warna menjadi hitam ketika sudah tua. Katuk merupakan tanaman yang sering berbunga. Bunganya berukuran kecil, berwarna merah gelap sampai kekuning-kuningan. Bila diperhatikan dengan jelas bunganya memiliki bintik-bintik berwarna merah. Bunga pada katuk umumnya menghasilkan buah berwarna putih (Santoso, 2008). Fisik buah katuk berukuran kecil, bentuknya bulat, berwarna putih dan didalamnya terdapat tiga buah biji. Biasanya anak-anak kecil senang untuk memetik buah katuk karena memiliki bentuk yang unik dan menggemaskan. Mereka juga memakainya sebagai buah untuk bermain masak-masakan.[1]

Habitat

Habitat dan penyebarannya banyak tumbuh di dataran rendah seperti daerah pantai tetapi agak sedikit jauh dari pantai. Tumbuh di tanah subur, gembur, dengan kadar air yang cukup. Menyebar di dataran rendah yang datar pada ketinggian sampai 50 m dpl. Banyak di jumpai hampir disemua dataran rendah pantai utara Papua.[2]

Manfaat

Penggunaan secara tradisional masyarakat Timika dan Jayapura memanfaatkan daun katuk untuk menyembukan kanker payudara, kanker rahim dan kista. Cara meramunya daun katuk hutan secukupnya dicuci bersih kemudian direbus dengan air bersih. Air rebusannya diminum 2 X sehari pagi dan sore hari sampai penyaklitnya sembuh. . Tanaman ini dapat ditanam di pekarangan sebagai pagar hidup. Katuk kaya provitamin A yang berperan dalam kesehatan mata dan reproduksi. Katuk juga mengandung vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan alami. Zat besi pada daunnya bermanfaat sebagai pencegah anemia.[3]

Kandungan

Daun dan akar katuk mengandung saponin, flavonoida, dan tanin. Daun katuk efektif untuk mengontrol tekanan darah dan masalah ginekologik, hiperlipidemia, urolitiasis, batu empedu dan konstipasi. Katuk juga mengandung zat besi. Kandungan zat besi pada daun katuk lebih tinggi daripada daun pepaya dan daun singkong.

Daun katuk yang dimakan sebagai sayuran membantu meningkatkan pemberian ASI belum diuji secara resmi di laboratorium standar di Indonesia sehingga kita tidak tahu persis apakah daun ini akan berdampak negatif atau tidak. Daun katuk mengandung papaverina, yang merupakan alkaloid yang juga ditemukan dalam opium. Jadi, mengonsumsi daun katuk yang berlebihan dapat menyebabkan efek samping seperti toksisitas papaverine[4]

Cara Perkembangbiakan

Perkembangbiakan tanaman katuk yaitu melalui stek batang. Batang yang dipilih adalah batang yang belum terlalu tua. Bila produksi daunnya mulai sedikit maka dapat dilakukan proses peremajaan dengan memangkas batang utamanya.[5]

Efek Samping

Selain khasiat daun katuk yang begitu banyak, sayuran ini bila konsumsi berlebihan akan berdampak buruk pada paru-paru yang mengakibatkan penyakit bronchiolitis permanen. Jadi kita Anda harus membatasi makan daun katuk dalam jumlah besar karena efek samping yang tidak menyenangkan. Karena daun katuk memiliki papaverina, yang merupakan alkaloid yang juga terkandung dalam opium, jadi jika konsumsi berlebihan akan menyebabkan keracunan bahkan kematian.Selain kedua hal ini, penelitian yang dilakukan di Taiwan mengatakan bahwa konsumsi daun katuk mentah secara berkelanjutan sebanyak 150 mg per hari, yang dianggap jumlahnya lebih besar, selama dua minggu sampai tujuh bulan akan menghasilkan sesak napas, kehilangan nafsu makan, dan kesulitan tidur.Karena efek sampingnya, maka membatasi jumlah konsumsi daun katuk sangat dianjurkan. Akan bermanfaat jika daun katuk direbus sebelum dimakan karena pemanasan dapat menghancurkan sifat anti-protozoa maka racun di daun katuk dapat dikurangi atau bahkan hilang sama sekali. Konsumsi daun katuk mentah juga tidak dianjurkan.[6]

  1. ^ "Katuk hutan » Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2020-03-05. 
  2. ^ "Katuk hutan » Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2020-03-05. 
  3. ^ Makar, A. B.; McMartin, K. E.; Palese, M.; Tephly, T. R. (1975-06). "Formate assay in body fluids: application in methanol poisoning". Biochemical Medicine. 13 (2): 117–126. doi:10.1016/0006-2944(75)90147-7. ISSN 0006-2944. PMID 1. 
  4. ^ Makar, A. B.; McMartin, K. E.; Palese, M.; Tephly, T. R. (1975-06). "Formate assay in body fluids: application in methanol poisoning". Biochemical Medicine. 13 (2): 117–126. doi:10.1016/0006-2944(75)90147-7. ISSN 0006-2944. PMID 1. 
  5. ^ Bose, K. S.; Sarma, R. H. (1975-10-27). "Delineation of the intimate details of the backbone conformation of pyridine nucleotide coenzymes in aqueous solution". Biochemical and Biophysical Research Communications. 66 (4): 1173–1179. doi:10.1016/0006-291x(75)90482-9. ISSN 1090-2104. PMID 2. 
  6. ^ Smith, R. J.; Bryant, R. G. (1975-10-27). "Metal substitutions incarbonic anhydrase: a halide ion probe study". Biochemical and Biophysical Research Communications. 66 (4): 1281–1286. doi:10.1016/0006-291x(75)90498-2. ISSN 0006-291X. PMID 3. 
Kembali kehalaman sebelumnya