Kayo adalah upacara adat Suku Dayak Bahau yang bermukim di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.[1] Upacara adat Kayo yang dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (tame tinge/ ta pennyui) atas semua keberhasilan, kemenangan, dan kesatriaaan yang dicapai laki-laki dalam hidup.[1] Kata kayo atau nemlaa berarti menang. Upacara adat Kayo hanya dilaksanakan khusus oleh laki-laki.[1]
Sejarah
Sejarah awal dilakukanya upacara adat Kayo tidak diketahui lagi, karena suku Bahau tidak meninggalkan dokumen tertulis, yang di ingat sekarang adalah sejarah yang diceritakan turun temurun oleh para leluhur.[1] Dahulu kala upacara adat Kayo dilaksanakan setiap tahun bahkan setiap bulan, dan dalam setiap pelaksanaan upacara adat Kayo dibutuhkan minimal satu buah tengkorak manusia.[1] Pada masa lalu para laki-laki benar-benar membuktikan ketangguhanya dengan berangkat dari kampung untuk pergi mengayau, semata-mata untuk memdapatkan bahan utama upacara adat Kayo.[1] Tetapi semakin lama wilayah tujuan mengayau semakin jauh. Terlalu banyak suku ditaklukkan dan menjadi bagian dari suku Lung Gelaat dan Bahau, sehingga untuk mendapatkan tengkorak manusia semakin sulit.[1] Di era masa kini mengayau tidak lagi dilakukan Suku Dayak Bahau, namun untuk tetap bisa menyelenggarakan upacara adat Kayo, persempahan tengkorak manusia diganti dengan tengkorak orang utan atau mereka sebut Halaung Letiin/Iraang Utaan.[1] Bagi masyarakat Bahau, seorang laki-laki yang belum pernah mengikuti upacara adat Kayo dianggap masih bayi, yang berarti orang tersebut belum pantas memakai busana adat lengkap, belum boleh menikah, dan sebagainya.[2]
Tujuan Upacara
Tujuan dilakukanya upacara adat Kayo adalah:[1][3]
Melatih jiwa jiwa dan raga seseorang dalam sikap dan tindakan. Tegas dan berpendirian jelas dalam menlaksanakan tugas dan tanggung jawab.
Membentuk jiwa patriotic, solidaritas yang tinggi, semangat gotong royong, taat pimpinan serta adil dan bijaksana dalam memimpin.
Mengangkat derajat seseorang bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa agar tidak parit (durhaka) terhadap segala bentuk adat istiadat.
Mensyahkan seseorang menjadi layak memakai pakaian adat kebesaran sesuai dengan derajat dan status dalam masyarakat.
Melepas masa berkabung bagi orang yang sedang berkabung.
Ungkapan rasa syukur atas keberhasilan dalam kehidupan, atas keberhasilan mengatasi segala tantangan dan atas kemakmuran dan kejayaan yang diperoleh.
Hal Penting
Bagi laki-laki Bahau beberapa hal membuat mereka merasa penting dan harus mengikuti upacara adat Kayo antara lain:[1][4]
Neba’buk (cukur) Untuk pertama kalinya seseorang bayi laki-laki boleh dicukur rambutnya. Maka orang tua (ayah) harus mengikuti upacara adat Kayo, dan membawa bayinya pada upacara Neba’buk.[1]
Nuva’ (perdana/pertama kali) Muva’ adalah sebutan jenjang pertama bagi anak laki-laki atau remaja yang baru pertama kali mengikuti upacara dat Kayo.[1]
Mipah Kayo (pasangan Nemlaai/kayo) Mipah Kayo atau memasuki kedewasaan fisik dan moral, seorang remaja laki-laki yang beranjak dewasa wajib mengikuti upacara adat Kayo karena ini jenjang kedua setelah Muva’. Setelah mengikuti jenjang ini maka remaja laki-laki dianggap telah memasuki masa dewasa.[1]
Naa’Kadaan/Metun Kadaan (membuat/memasang pusaka) Pada saat ini pria baru mengenakan pakaiantertinggi suatu golongannya. Pada tingkat ini orang tersebut boleh memakai pakaian barang dan senjata pusaka yang bernilai sakral.[1]
Ulii’ Mulaang Ngalaang Haang (kembali dari perjalanan jauh) Jika seseorang laki-laki baru saja pulang dari perjalanan jauh dan berhasil pulang dengan selamat.[1]
Hake Adalah orang baru yang ingin menjadi warga Bahau dan menetap dan perjuangan dalam hidup bersama masyarakat Bahau.[1]
Mebat Lumu Jika ada anggota keluarga yang meninggal maka keluarga tersebut akan berkabung selama beberapa hari. Maka setelah masa berkabung.[1]
Ketentuan Upacara
Upacara adat Kayo adalah upacara khusus kaum laki-laki. Segala kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat harus dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dilarang berbaur dengan para peserta selama upacara Kayo berlangsung atau selesai. Bagi orang yang tidak mengikuti upacara baik itu penduduk, tamu ataupun turis asing yang boleh berbaur dan melihat dari dekat hanya yang berjenis kelamin laki-laki, termasuk para wartawan dan juru foto yang ingin mengabadikan kegiatan pun harus laki-laki. Perempuan hanya bisa menyaksikan dari jauh sebatas jarak yang telah ditentukan sebelumnya.[1]
Pada saat para peserta kembali dari pertapaan dan naik ke kampung, atau pada saat menari dalam barisan, siapa pun dilarang melintas memotong barisan. Hal ini disebabkan agar si pelintas tidak mengalami celaka, karena pada saat upacara adat Kayo dilangsungkan, roh para leluhur dan roh-roh ganas telah dipanggil dan ikut serta dalam upacara tersebut.[1]
Pada saat pemimpin upacara adat melakukan ritual apapun, baik itu Maraa, ngaping, terlebih saat melaksanakan maraa’, siapapun tanpa terkecuali dilarang berada dihadapan sang pemimpin, karena saat melakukan ritual, sang pemimpin langsung berhadapan dengan Tame Tinge, roh-roh penjaga, roh nenek moyang, dan roh-roh lain lainya.[1]
Pada saat upacara kayo, para peserta dilarang berhubungan dengan perempuan beberapa pun umurnya ataupun statusnya, termasuk berbicara perihal perempuan. Hal ini agar peserta tidak mengalami nasib sial, karena konon pengertian terhadap perempuan bagi laki-laki dalam saat keperkasaan dan ketangguhan adalah pangkal sial.[1]
Peserta dilarang makan makanan enak selam upacara adt Kayo.[1]
Selama upacara adat berlangsung peserta dilarang tidur di rumah, terkecuali karena sakit atau keluarganya mengalami kemalangan.[1][5]
Referensi
^ abcdefghijklmnopqrstuvwB. Blawing Belareq, (2008). Upacara Adat Kayo Bahau. Samarinda: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kaltim. Hal. 7-34