Kebaya Labuh dan Teluk BalanggaKebaya Labuh dan Teluk Balangga adalah baju adat dari Riau dan Kepri.[1] Berasal dari Sumatera, pakaian adat ini merupakan sebuah kekayaan lokal yang ditetapkan oleh pemerintah Kepulauan Riau sebagai ikon pakaian adat dari daerah ini. Hal ini berdasarkan pada keunikan dan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh pakaian ini sehingga merupakan nilai tambah tersendiri sebagai ciri khas kekayaan budaya Riau. Salah satu unsur budaya lokal Sumatera yang masih tetap eksis adalah baju adat. Setiap wilayah di Sumatra punya ciri khas tersendiri. Pakaian adat ini terdiri atas dua jenis pakaian adat untuk laki-laki dan wanita, yaitu Kebaya Labuh dan Teluk Balangga. Kedua baju adat ini merupakan warisan kebudayaan yang berasal dari masa kejayaan Islam di Riau. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kedua pakaian adat ini banyak digunakan oleh seluruh masyarakat Riau dan menjadi bagian dari pakaian adat dari Kepulauan Riau.[2] SejarahBermula di negara bagian Johor, Malaysia baik desain maupun pemakaian Baju Melayu agak berbeda dengan daerah lain. Di sini, kain samping atau kain sarung dipakai di bawah baju daripada di atasnya. Baju itu sendiri tidak memiliki kerah cekak musang atau saku rok apapun. Sebagai gantinya, bukaannya diapit dengan jahitan kaku yang disebut tulang belut (secara harfiah berarti tulang belakang belut) dan diakhiri dengan lingkaran kecil di bagian atas satu sisi agar sesuai dengan kancing tunggal (mirip dengan kerah Baju Kurung yang dikenakan oleh wanita). Gaya ini dikenal dengan gaya Teluk Belangga dan diyakini dirancang oleh para pembantu Sultan Abu Bakar untuk memperingati perpindahan ibu kota pemerintahan Johor dari Teluk Belanga di Singapura ke Tanjung Puteri pada tahun 1866 (dikenal sebagai Johor Bahru sejak tahun 1866).Di sini jugalah Baju Melayu Teluk Belangga ditemukan. Kebaya Labuh merupakan pakaian adat wanita yang biasa dikenakan pada saat upacara adat. Selain itu pakaian ini juga digunakan pada banyak kesempatan acara-acara resmi. Pakaian ini bisa digunakan pada saat upacara pernikahan. Di Riau, busana untuk wanita dikenal dengan sebutan Kebaya Labuh. Jenis pakaian adat Kebaya Labuh merupakan salah satu jenis busana kurung yang banyak dipakai oleh masyarakat suku Melayu seperti halnya di Riau ini. Ciri khas baju kurung adalah rancangan yang longgar pada lubang lengan, perut, dan dada. Pada saat dikenakan, bagian paling bawah baju kurung berada pada posisi sejajar dengan pangkal paha. Namun ada juga yang berbeda, yaitu untuk kasus yang jarang ada pula yang memanjang hingga sejajar dengan lutut.[3] Baju kurung tidak pula berkerah, tiap ujungnya direnda. Beberapa bagiannya sering dihiasi sulaman berwarna keemasan.Pakaian ini konon menjadi jenis baju kurung tertua yang masih ada hingga saat ini. Bentuk kebaya labuh sekilas hampir sama seperti kebanyakan kebaya. Akan tetapi bagian bawah Kebaya Labuh ini dibuat menjuntai sampai menutupi bagian lutut penggunanya. Sama halnya dengan kebaya pada umumnya, kedua sisi depan kebaya labuh ini dikaitkan dengan 3 kancing. Sehingga bagian bawah kebaya terlihat terbuka dan melebar. Pada awalnya, baju kurung atau Kebaya Labuh ini digunakan untuk upacara kebesaran Melayu. Di kala itu biasanya kaum perempuanlah di lingkungan kerajaan yang bisa menggunakan baju tersebut. Biasanya pakaian ini dipakai bersamaan dengan kain songket untuk dijadikan sebagai bawahan sarungnya, lalu juga dilengkapi dengan aneka perhiasan emas, dan dipadu padan dengan sebuah tas ataupun kipas. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Melayu yang memeluk Islam, banyak perempuan yang menggunakan padu padan baju kurung dengan penutup kepala seperti halnya jilbab. Namun ada juga yang tidak menggunakannnya bersamaan dengan jilbab.[3] Kini baju kurung banyak dipakai oleh masyarakat biasa. Banyak masyarakat menggunakannya di antaranya adalah digunakan anak-anak untuk mengaji, atau ibu-ibu untuk ke pasar, tanpa disertakan pernak-pernik yang terkesan mewah. Sebuah catatan dari Tiongkok yang menyebutkan bahwa pada abad ke 13, masyarakat Melayu, laki-laki ataupun perempuan, hanya menggunakan penutup tubuh bagian bawah. Baru beberapa saat kemudian, para wanita Melayu menggunakan penutup atas tubuhnya dengan melilitkan sarung di sekeliling dada. Di saat itu celana juga sudah mulai banyak digunakan, yaitu dengan model gunting Aceh yang merupakan model celana yang panjangnya hanya sedikit di bawah lutut.[3][4] Namun kemudian kegiatan perdagangan membawa pengaruh budaya asing yaitu berupa barang-barang dari Tiongkok, India, dan Timur Tengah mulai berdatangan. Selain perniagaan, hal ini juga membuat masyarakat Melayu mulai terpapar dengan cara berpakaian orang-orang asing tersebut. Orang Melayu juga mengadopsi Islam sebagai agama mereka, dan ini memengaruhi cara berpakaian karena di dalam agama baru ini terdapat kewajiban untuk menutup aurat baik bagi perempuan maupun laki-laki. Puncaknya adalah di sekitar tahun 1400. Pada saat itu pakaian Melayu digambarkan dengan jelas dalam karya kesusasteraan Sejarah Melayu atau Malay Annals. Di sinilah kita dapat melihat kemunculan baju kurung. Di kala itu sudah mulai biasa bagi orang Melayu untuk memakai pakaian dengan model tunik untuk menutupi tubuh mereka.[3] Baju kurung sebenarnya merupakan jenis pakaian yang dipakai oleh laki-laki maupun perempuan. Namun sekarang ini ada kecenderungan untuk baju kurung hanyalah digunakan oleh kaum perempuan. Pasangan dari pakaian Kebaya Labuh ini adalah busana Teluk Balangga. Beberapa daerah di Indonesia juga memiliki baju adat pria dengan jenis yang sama. Palembang, Jambi, Bangka Belitung, Riau, dan Pontianak merupakan daerah yang memiliki pakaian adat ini. Ketiganya memiliki kesamaan namun tetap ada ciri khasnya masing-masing, utamanya jika meninjau kesamaan budaya dari semua provinsi tersebut. Kalau di Pontianak laki-laki dan perempuan menggunakan baju Teluk Balangga. Untuk bajunya disebut dengan baju Teluk Balangga laki dan Teluk Balangga perempuan.[5]Nama lain dari Teluk Balangga ini adalah baju kurung. Banyak nilai-nilai keislaman dan filosofi yang tercermin pada baju adat Teluk Balangga ini. Ciri KhasKebaya Labuh adalah pakaian adat Kepulauan Riau untuk wanita yang berbentuk kebaya dengan panjang hingga sebawah lutut. Kebaya Labuh juga digunakan untuk acara-acara resmi seperti upacara adat dan perkawinan. Kebaya Labuh dipadukan dengan kain batik sebagai bawahan. Ciri khas dari baju adat Kebaya Labuh dan Teluk Belangga adalah panjang kebaya hingga menutupi lutut dengan bentuk kebaya tampak melebar dan terbuka, Kebaya Labuh dipadukan dengan kain batik semisal kain cual.[1] Teluk Belanga adalah pakaian adat Kepulauan Riau yang berasal dari Johor untuk pria yang berwarna polos. Teluk Belanga dipadukan dengan celana panjang yang sewarna dan sarung yang dipakai sebatas lutut yang berfungsi sebagai selendang. Pakaian adat Kebaya Labuh memiliki bentuk dengan ciri khas yang khusus. Pakaian adat ini memiliki 3 buah kancing. Bagian bawah dari kebaya ini memiliki potongan yang lebih panjang dibandingkan dengan kebaya yang lainnya.[4] Pakaian adat ini secara umum terbuat dengan menggunakan bahan kain sutera Cina, kain broklat. Sedangkan untuk sarungnya menggunakan bahan dari kain songket. Kebaya Labuh memiliki bentuk sama halnya dengan kebanyakan kebaya lainnya, tetapi ada 3 buah kancing. Yang membedakannya dengan berbagai jenis kebaya yang lain adalah bagian bawah dari Kebaya Labuh ini lebih panjang. Kebaya Labuh ini memiliki dua jenis yaitu Kebaya Labuh Nyonya dan Kebaya Labuh Pendek. Untuk pernikahan, pengantin laki-laki mengenakan penutup kepala yang disebut Tanjak. Tanjak adalah kain songket yang berbentuk persegi empat dan kemudian dilipat sehingga menjadi ikat kepala. Ciri khas dari baju adat Teluk Balangga adalah berwarna polos yang dipadukan dengan celana panjang yang memiliki warna senada, sarung yang dipakai sebatas lutut yang berfungsi sebagai selendang, ikat kepala yang terbuat dari kain songket yang disebut tanjak.Karena merupakan pasangan dari pakaian adat Kebaya Labuh, busana Teluk Balangga hanya dikenakan oleh para pria saja. Pakaian ini terdiri dari atasan yang berlengan panjang. Bagian bawah dari pakaian ini menggunakan celana panjang dan dilengkapi sarung berukuran pendek. Busana Teluk Balangga memiliki motif yang cukup sederhana. Warna yang digunakan biasanya menggunakan warna hitam, abu-abu, ataupun berbagai warna yang netral.[4] Pada sebuah baju Teluk Balangga, terdapat penggunaan kancing yang telah baku. Sebuah baju teluk boleh memilih menggunakan satu kancing atau tulang belut, tiga kancing dan lima kacing atau cekak musang. Ketiganya punya arti masing-masing. Satu kancing bermakna tauhid, tiga kancing biasa dimaknai Allah, Muhammad, Adam dan lima kancing dimaknai sebagai rukum islam.[5] AksesorisPakaian ini dilengkapi dengan penutup kepala, seperti songkok, ikat kepala atau tanjak yang biasa dibuat dari jenis kain yang sama dengan baju dan celana yang dikenakan.[6] Biasanya, tanjak hanya dipakai untuk upacara atau acara yang bersifat resmi seperti kenduri dan upacara adat.Namun biasanya hiasan ini hanya dikenakan pada saat acara resmi seperti kematian atau pernikahan.[7] Terkadang, pakaian Teluk Balagga biasanya dilengkapi dengan peci. Untuk wanita, Kebaya Labuh biasanya dipadukan dengan kain batik dan dipadukan juga dengan selendang. Referensi
|