Keberuntungan moralKeberuntungan moral (bahasa Inggris: moral luck) merupakan suatu keadaan ketika agen moral dipersalahkan secara moral atau diberikan pujian karena melakukan suatu perbuatan, atau karena konsekuensi atas perbuatan itu, meskipun secara jelas perbuatan atau konsekuensi atas perbuatan itu secara signifikan berada di luar kendali agen.[1] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Bernard Williams. Konsep ini telah dikembangkan, bersama dengan signifikansinya terhadap teori moral yang koheren, oleh Williams dan Thomas Nagel dalam esai mereka masing-masing tentang subjek tersebut. Tanggung jawab dan kesengajaanSecara umum, manusia mempunyai kecenderungan untuk menghubungkan, setidaknya secara intuitif, tanggung jawab dan perbuatan yang disengaja. Jadi, kesalahan terbesar umumnya dikenakan kepada orang-orang yang melakukan suatu perbuatan dan karena konsekuensi yang mereka timbulkan ketika terdapat alasan untuk percaya bahwa:
Sebaliknya, terdapat kecenderungan untuk lebih bersimpati kepada mereka yang memenuhi salah satu dari kondisi berikut:
Secara umum, kriteria di atas tidak berhubungan secara pasti dengan pujian moral – meskipun mungkin benar bahwa seseorang dapat, dan harus memberikan pujian moral kepada mereka yang telah melakukan perbuatan yang baik, atau perbuatan yang menghasilkan konsekuensi yang baik, yang sepenuhnya dilakukan atas dasar kemauan mereka sendiri dan tanpa paksaan. Ini dapat diperdebatkan apakah hal yang sama berlaku untuk perbuatan yang tidak disengaja dilakukan, tetapi menghasilkan hasil yang baik. Hubungan antara tanggung jawab dan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ini dapat diterima oleh kebanyakan orang secara intuitif; bahkan, korelasi ini banyak digaungkan dalam hukum-hukum Amerika dan Eropa: Misalnya, perbuatan pembunuhan secara tidak sengaja dan pembunuhan karena membela diri mempunyai konsekuensi hukuman yang sangat berbeda dibandingkan pembunuhan berencana. Masalah keberuntungan moralKarena adanya gagasan yang menyamakan tanggung jawab moral dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, keberuntungan moral menunjukkan solusi yang berlawanan secara intuitif. Hal ini dapat diilustrasikan dengan contoh sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas berikut. Pengemudi A, pada saat tidak memperhatikan, menerobos lampu merah ketika seorang anak sedang menyeberang jalan. Pengemudi A mencoba untuk menghindar agar tidak menabrak anak itu, tetapi gagal dan anak itu meninggal. Pengemudi B juga menerobos lampu merah, tetapi kebetulan tidak ada yang menyeberang dan hanya mendapatkan surat tilang. Jika seorang saksi diminta untuk mengevaluasi secara moral Pengemudi A dan B, mereka akan lebih menyalahkan Pengemudi A daripada Pengemudi B karena tindakan Pengemudi A telah mengakibatkan kematian. Namun, tidak ada perbedaan dalam tindakan terkendali yang dilakukan oleh Pengemudi A dan B. Satu-satunya perbedaan di antara mereka adalah adanya peristiwa tak terkendali secara eksternal. Jika tanggung jawab moral didasarkan pada situasi yang menuntut agen yang secara sengaja berhasil untuk melakukan atau gagal melakukan suatu perbuatan (dalam hal ini, tidak menerobos lampu merah), maka Pengemudi A dan B harus disalahkan secara setara. Ini mungkin secara intuitif bermasalah, karena pada salah satu situasi telah berakibat pada kematian. Jenis keberuntungan moralThomas Nagel (1979) mengidentifikasi empat jenis keberuntungan moral dalam esainya. Jenis yang paling relevan dengan contoh di atas adalah "keberuntungan moral yang dihasilkan". Keberuntungan moral yang dihasilkan (resultant)Keberuntungan moral yang dihasilkan berkaitan dengan konsekuensi dari tindakan dan situasi. Dalam contoh di atas, kedua pengemudi dipengaruhi oleh keberuntungan moral yang dihasilkan karena suatu keadaan tertentu berubah menjadi dua hasil yang berbeda di luar kendali kedua pengemudi itu: di satu sisi, tiba-tiba ada seorang pejalan kaki yang muncul di jalan; di sisi lain, tidak ada pejalan kaki.[2] Keberuntungan moral yang konstitutif (constitutive)Keberuntungan moral konstitutif berkenaan dengan karakter pribadi seorang agen moral. Terdapat pandangan bahwa pendidikan, bagaimana seseorang dibesarkan, gen, dan pengaruh lain yang sebagian besar tidak dapat dikendalikan telah membentuk kepribadian orang sampai batas tertentu. Selanjutnya, kepribadian seseorang menentukan tindakan seseorang sampai batas tertentu. Terdapat kecenderungan untuk menyalahkan seorang individu yang egois, namun sifat keegoisan yang dimiliki orang itu hampir pasti juga disebabkan oleh pengaruh-pengaruh yang secara signifikan berada di luar kendali orang itu (pendidikan, bagaimana dia dibesarkan, lingkungan sosial, dsb).[2] Keberuntungan moral yang tidak langsung (circumstancial)Keberuntungan moral yang tidak langsung (circumstancial) menyangkut tempat agen moral berada dan situasi yang dihadapinya. Ambil contoh pengikut dan pendukung Nazi di Jerman masa Hitler. Mereka layak dipersalahkan secara moral karena melakukan perbuatan yang tercela secara moral atau karena membiarkannya terjadi tanpa melakukan upaya untuk menentangnya. Tetapi, jika pada tahun 1929, orang-orang itu dipindahkan ke negara lain, jauh dari permusuhan yang akan datang oleh atasan dan majikan mereka, sangat mungkin bahwa mereka akan menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Oleh karena itu, hal ini tergantung pada keberuntungan keadaan tempat mereka berada dan situasi yang dihadapi mereka.[2] Keberuntungan moral kausal (causal)Keberuntungan moral kausal, yang sebagian besar disamakan dengan masalah kehendak bebas, adalah varietas yang paling tidak terperinci yang dijelaskan oleh Thomas Nagel. Definisi umum adalah bahwa tindakan ditentukan oleh peristiwa eksternal dan dengan demikian merupakan konsekuensi dari peristiwa yang orang yang melakukan tindakan tersebut tidak memiliki kontrol atasnya. Karena orang dibatasi dalam pilihan tindakan mereka oleh peristiwa yang mendahului mereka, mereka seharusnya tidak dimintai pertanggungjawaban atau bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Thomas Nagel telah dikritik oleh Dana Nelkin karena memasukkan keberuntungan moral kausal sebagai kategori terpisah, karena dianggap terlalu berlebihan. Ini bisa saja termasuk dalam keberuntungan konstitutif dan tidak langsung, dan tampaknya ada hanya untuk tujuan mengangkat masalah kehendak bebas. Referensi
Daftar bacaan
|