Kedokteran okupasiKedokteran okupasi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang masih berkaitan dengan kesehatan, pencegahan, serta pengobatan penyakit dan cedera ringan hingga berat yang dialami saat bekerja. Sebelumnya cabang ilmu kedokteran ini dikenal sebagai kedokteran industri. Di awal kemunculan kedokteran okupasi, pelayanan yang tersedia terbatas hanya pada pengobatan cedera dan penyakit yang dialami dari pegawai produksi saja. Dari waktu ke waktu, layanan medis kedokteran okupasi diperluas hingga karyawan lainnya di pabrik atau kantor.[1] TugasDokter Okupasi adalah dokter spesialis yang memiliki keahlian pada faktor yang dapat memengaruhi kesehatan di tempat kerja. Seorang dengan spesialis okupasi dapat membantu hingga memastikan kesehatan pegawai atau karyawan saat melakukan aktivitas di tempat kerja. Secara umum, dokter okupasi memiliki tugas seperti mendiagnosis, mengelola, dan mencegah penyakit yang disebabkan dari faktor luar tempat bekerja. Dokter okupasi terlatih dalam hal meningkatkan kesehatan para pekerja melalui pelayanan kesehatan, tindakan pencegahan penyakit, manajemen disabilitas, melakukan penelitian, dan memberikan edukasi.[2] Cakupan tugas sebagai dokter okupasi dan jenis layanan yang dapat diberikan antara lain, diagnosis dan tatalaksana penyakit akibat kerja, pemeriksaan medis, pemeriksaan narkoba, pemberian vaksin kepada pekerja, pelayanan program kesehatan kerja, kelayakan kerja, penilaian disabilitas, program kembali kerja, dan pendampingan layanan kedokteran okupasi di perusahaan atau rumah sakit. Adapun tugas dokter okupasi secara garis besar adalah melakukan pencegahan penyakit dan cedera ringan atau berat yang dapat terjadi dari akibat pekerjaan yang dilakukan, serta rehabilitasi pasca sakit atau saat cedera terjadi.[3] Tugas dari seseorang dengan profesi di bidang kedokteran okupasi ini juga mengalami dampak perubahan dari masa pandemi Covid-19. Anna Nasriawati mengatakan bahwa saat masa pandemi Covid-19, ia turut ikut dalam melakukan pengelolaan klinik di perusahaan terkait pengendalian Covid-19 di tempat kerja.[1] LokasiSeorang dokter okupasi biasanya di rumah sakit atau perusahaan. Terdapat banyak sekali perusahaan di Indonesia yang memerlukan layanan terkait pencegahan penyakit dan cedera kerja serta penanganan yang diberikan. Keahlian di bidang spesialis okupasi menjadi sangat dibutuhkan. Saat ini di Indonesia jumlah dokter okupasi masih sangat terbatas. Menurut Anna Nasriawati sebagai dokter spesialis okupasi, bahwa dokter dengan spesialis okupasi hanya berjumlah 200 orang pada Februari 2021. Namun, kebutuhan rumah sakit dan perusahaan terhadap profesi ini sangat tinggi.[4] ProsesPada umumnya, proses pendidikan dokter spesialis okupasi di Indonesia melalui tiga jalur, yaitu jalur reguler (dokter umum), jalur Magister Kedokteran Kerja (pemilik ijazah MKK (Magister Kedokteran Klinik)), dan jalur khusus Migas (dokter yang bekerja di perusahaan Minyak dan Gas). Periode pendidikan yang harus ditempuh untuk jalur MKK adalah empat semester, sedangkan jalur reguler harus menempuh paling lama tujuh semester. Selama menempuh jenjang pendidikan sebagai dokter okupasi, para dokter melakukan praktikum pemeriksaan lingkungan kerja, toksikologi, dan matrikulasi di luar perkuliahan. Selain itu, dokter juga wajib melakukan magang di salah satu stase. Beberapa tingkat stase, terdiri dari stase klinik, stase informal, stase menengah, stase industri besar, stase Keselamatan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS), dan stase mandiri.[1] Referensi
|