Share to:

 

Kembang bangkai

Walur/acung
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Monokotil
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
A. variabilis
Nama binomial
Amorphophallus variabilis
Blume, 1837[1]

Kembang bangkai, walur atau acung (Amorphophallus variabilis) adalah anggota genus Amorphophallus yang biasa tumbuh agak liar di pekarangan-pekarangan di Jawa atau Sumatra. Tumbuhan ini masih berkerabat dengan suweg dan iles-iles, meskipun pemanfaatannya kalah dibandingkan kedua kerabatnya itu. Umbinya kecil dan gatal di mulut sehingga orang enggan memakannya, kecuali terpaksa. Nama-nama daerahnya, di antaranya, kembang bangké, kembang gaceng (Betawi); acung, ileus, cocoöan oray (Sunda); badul, badur, iles-iles, kembang bangah, cumpleng (Jawa); Cong-Lacong (Madura).[2]

Pengenalan

Tampilan fase vegetatif

Herba dengan umbi; bagian vegetatifnya berwarna hijau, cokelat, hingga keunguan atau kehitaman, dengan belang-belang serupa loreng hijau muda, hijau tua, hitam, atau putih; tinggi 0,3-1,5 m. Daun 1-2 helai, bertangkai 10-100 cm; helaian daun 15–100 cm, berbagi-3, tiap bagian terbagi lagi dalam taju memanjang atau lanset, dengan ujung meruncing atau serupa ekor.[3]

Bunganya muncul apabila organ vegetatifnya telah layu, dalam tongkol yang berdiri sendiri. Bertangkai panjang dan langsing, 2–100 cm, acap dengan jerawat kasar; pada pangkalnya dengan beberapa daun pelindung. Seludang bunga berbentuk segitiga memanjang, dengan ujung runcing. Tongkol 6–46 cm × 1–5 cm; bunga-bunga betina duduk mulai dari pangkal, hijau; bunga-bunga jantan kuning, bagiannya panjangnya hingga dua kali bagian betina; bagian yang steril lebih dua kali panjang bagian betina bersama jantan, kerap kali beralur atau gepeng, kuning atau ungu.[3] Puncak tongkol tidak membulat seperti iles-iles, tetapi memanjang (sehingga namanya acung).

Buah-buah pada tongkol

Buah buni berjejal-jejal, berwarna merah jingga, berbiji 1-2.[3]

Manfaat

Close up tongkol bunga

Umbi walur berwarna kuning dan terasa gatal di mulut bila dimakan. Umbi ini dapat menghasilkan umbi anakan yang dapat dipisah. Sampai-sampai, pada musim paceklik tahun 1925, masyarakat Hindia Belanda (sekarang Indonesia) memakannya dengan jalan mengirisnya kecil-kecil, kemudian merebusnya dan memakannya.

Pada masa lalu di wilayah Jogya dan Solo, cumpleng kadang-kadang ditanam orang. Umbinya diparut atau ditumbuk, dan dimasak dalam daun pisang.[2]

Meskipun tidak banyak dimakan, umbi walur juga kaya akan mannan, suatu karbohidrat yang dapat dibuat menjadi konnyaku.

Daun-daun kembang bangké dipakai sebagai makanan ikan gurami di kolam-kolam. Dahulu, di wilayah Jakarta, daun-daun ini, tongkol buahnya, dan tangkai daun dan buah setelah dikikis kulitnya, dimasak sebagai sayuran.[2]

Referensi

  1. ^ Blume, C.L. 1837. Rumphia, sive commentationes botanicae imprimis de plantis Indiae orientalis... tome I: 146, tab. 35 & 37. [Apr-Jun 1837]. Lugduni Batavorum.
  2. ^ a b c Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I: 495-6. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (versi berbahasa Belanda -1922- I:447)
  3. ^ a b c Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 142-3

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya