Kepada Siapa Ilalang Bercerita
Kepada Siapa Ilalang Bercerita adalah novel sastra realisme Indonesia karya Eki Saputra. Novel tersebut merupakan bagian dari proyek inkubasi penulis NAD Academy yang diadakan oleh komunitas Nulis Aja Dulu. Novel KSIB sudah diterbitkan secara digital sejak tahun 2021 dan diluncurkan secara resmi di tahun 2022.[1] Novel ini berkisah tentang konflik agraria antara perusahaan sawit dengan penduduk desa terpencil di wilayah Baturaja, Sumatera Selatan.[2] Latar BelakangBersama sembilan penulis dari berbagai daerah, tahun 2020 lalu, Eki Saputra terpilih dalam seleksi program mentoring dan bimbingan menulis novel[3] yang dilaksanakan oleh komunitas di bidang literasi Nulis Aja Dulu (NAD). NAD adalah komunitas literasi yang digagas oleh Irma Susanti Irsyadi, Melanie Agustine, Brigitta Innes, Ruhyat Hardadinata, Tamz Martaatmaja, Ridanty, dan Sissy Dwi Fidrianti berdiri sejak Desember 2018[4]. Para NAD Academy angkatan pertama selanjutnya dibimbing oleh beberapa mentor, yaitu Kurnia Effendi, Iksaka Banu, Hermawan Akhsan, dan Endah Sulwesi (editor novel Laut Bercerita). Dalam program ini Eki Saputra memilih genre sastra-realisme magis untuk calon novelnya. Ia menulis kisah yang mengangkat isu sosial dan kearifan lokal di wilayah Sumatera Selatan. Dari program inilah, Eki Saputra berhasil menulis draft novel sastra yang kelak menjadi novel pertamanya berjudul “Kepada Siapa Ilalang Bercerita”. SinopsisCerita berawal dari berita kematian seorang buruh sawit sehari setelah insiden penemuan tengkorak di pinggir danau padang ilalang, tanah sengketa antara warga Desa Lubuk Tebing dan PTP Oleochems Green. Berita itu sontak menggegerkan warga Desa Lubuk Tebing—yang sedang ramai menjelang pilkades. Selama ini orang-orang memang memercayai mitos keangkeran padang ilalang. Lebih-lebih sejak peristiwa penemuan tengkorak itu, mulai banyak kejadian mistis dan cerita-cerita ganjil yang terjadi di Desa Lubuk Tebing. Konon, menurut Sulebi Murai, seorang sesepuh desa bahwa padang ilalang adalah tanah terkutuk. Di lokasi kejadian, polisi menemukan jejak korban berupa kartu identitas milik Puti Kasi, adik dari Nirwan, seorang aktivis desa yang paling getol memimpin warga Lubuk Tebing menolak penggusuran lahan oleh PTP. Nirwan sendiri tak tahu-menahu keadaan adiknya lantaran ia masih menjalani hukuman di penjara. Setahun sebelumnya ia dikriminalisasikan pihak perusahaan sawit dengan tuduhan penganiayaan. Di saat orang-orang dusun Lubuk Tebing percaya pada kutukan di padang ilalang, Nirwan justru mencurigai hilangnya adiknya dan penemuan tengkorak masih berkaitan dengan sengketa tanah tersebut. Selepas bebas dari penjara, ia meminta bantuan Widura, seorang pengacara LBH Progresif Palembang, berusaha membuktikan bahwa tengkorak yang ditemukan itu bukan milik Puti Kasi. Referensi
|