Share to:

 

Kepangeranan Kacirebonan

Kepangeranan Kacirebonan merupakan sebuah institusi pemerintahan di Cirebon yang tercipta akibat permasalahan penerus tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya diantara kedua orang puteranya yakni Pangeran Depati Anom Talularipin dengan Pangeran Adi Wijaya, permasalahan penerus tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya kemudian dimediasi oleh Belanda dan berakhir dengan dikeluarkannya perjanjian yang ditanda tangani pada 4 Agustus 1699 di Batavia yang memecah kekuasaan dan waris Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya kepada kedua orang puteranya,[1] Pangeran Depati Anom Tajularipin yang merupakan putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Sultan Sepuh II Tajularipin sementara Pangeran Adi Wijaya membentuk cabang keraton yang baru yakni Kacirebonan, beliau berhak atas gelar Pangeran Arya Cirebon[2], dalam beberapa kasus seperti persoalan-persoalan yang melibatkan proses peradilan pada institusi jaksa pepitu penguasa Kacirebonan disebut sebagai Sultan Cirebon dan diwakili keberadaannya oleh seorang jaksa pada institusi tersebut[3].

Sejarah

Pada tahun 1679 kesultanan Kasepuhan dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja, dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi Kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[4] Dua tahun setelahnya yaitu pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya kepada Belanda[5]

Gerilya kesultanan Banten, Misi Jacob van Dijck dan pembagian Kesultanan Cirebon

Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.

Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil Mataram

Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[6]

Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[6]

Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[7]

1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,
6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung

Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima.[7] Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[6] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[8]

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[7]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[4]

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:

  • Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
  • Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa

yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap

[9]

Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681

Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[7]

Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[7]

Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu

Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir,[10] penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.

Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680

Pada masa perang antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie mengirim pasukan dari Batavia untuk menyerang wilayah kesultanan Cirebon.[11] Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[7] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[7]

Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[12]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[13] Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[13]

Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[13]

Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon

Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680.[13]

Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon[14] yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda.[15]

Perjanjian 1681

Peta buatan Isaac de Graaff yang menunjukan struktur tembok Kuta Cirebon yang masih ada di sebelah selatan dan timur keraton Pakungwati (periode 1690 - 1705)

Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[7],[16]

Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[11]

Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[7][16]

Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara Vereenigde Oostindische Compagnie dan para penguasa Cirebon serta memaksa mereka untuk menyetujuinya[11] dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon[17][18].

Pada tanggal 27 Februari 1681 dilakukanlah tindak lanjut berkenaan draf perjanjian 7 Januari 1681[19]. Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon[17]. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs[20].

Pada tanggal 31 Juli 1681 perjanjian 7 Januari 1671 tersebut kemudian diratifikasi[19].

Perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula,[20] lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[11]

Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[15] Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda[5]

Semenjak kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu (bahasa Cirebon: pribawa) dalam kekeluargaan di kesultanan Cirebon dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak Belanda mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.

Pada tahun 1681 ditunjuklah Letnan Benamin van der Meer sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[21] Jan Mulder dan van der Meer pernah memberikan laporan berkaitan dengan hubungan antara keluarga bangsawan di Cirebon, mereka menyebut bahwa Sultan Anom (Kartawijaya) masih terhitung sebagai kerabat kesultanan Banten sementara Pangeran Nasiruddin (Wangsakerta) sama sekali bukan kerabat kesultanan Banten, menurut Sudjana (budaywan Cirebon) laporan dari Jan Mulder dan van der Meer tersebut sejalan dengan naskah wawacan yang selama ini beredar terbatas di kalangan para kerabat keraton Cirebon di mana dikisahkan bahwa Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom) sesungguhnya berbeda ibu dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Wangsakerta.[22]

Pada tahun 1684 Belanda menunjuk Jacob Couper sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[21]

Pada 1685 Belanda menunjuk Marten Samson sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.[21]

Perjanjian 1685, Fort Beschermingh dan penghancuran tembok Kuta Cirebon

Fort de Beschermingh dalam peta 1719

Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon),[2] Belanda mengirimkan pejabat penghubung Belanda yaitu Francois de Tack.[21] Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya berisi penyataan tentang pemerintahan dan hal-hal yang harus dipatuhi oleh para Sultan Cirebon, bahwa Vereenigde Oostindische Compagnie adalah penguasa Cirebon, masalah pemerintahan di Cirebon akan dipimpin oleh masing-masing sultannya seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian sebelumnya, para sultan Cirebon tetap menjalankan pemerintahannya akan tetapi tetap dibawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie, para sultan Cirebon tidak boleh mengeluarkan perintah sendiri-sendiri melainkan harus melalui perundingan dengan para mantri (pejabat kesultanan), masing-masing sultan Cirebon memiliki lebih dari satu mantri, Sultan Sepuh memiliki 3 mantri, Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin (gusti Panembahan) masing-masing memiliki 2 mantri, para mantri harus dipilih oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka seluruh keputusan para mantri harus dengan sepengetahuan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie , pihak Vereenigde Oostindische Compagnie diperkenankan untuk membangun benteng di Cirebon sementara pihak kesultanan dilarang untuk membangun pertahanan disekitar keraton.[1]

Setahun kemudian setelah ditandatangani perjanjian 1685, pada tanggal 30 Maret 1686, pada masa kepemimpinan Adriaan Williamson[23] sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon, berdasarkan hasil rapat pemerintahan tinggi, Gubernur Jenderal Johannes Camphuys atas usulan Francois de Tack maka akan dibangun sebuah benteng yang diberi nama Fort de Beschermingh,[2] sejak itu Belanda mulai menghancurkan tembok Kuta Seroja atau tembok Kuta Cirebon, material dari tembok yang diperkirakan telah dibangun sebelum 1596[24] dengan bantuan Danang Sutawijaya dari Mataram ini kemudian dipergunakan oleh Belanda untuk membangun Fort de Beschermingh yang berlokasi di sekitar pelabuhan Cirebon. Fort de Beschermingh dipergunakan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bagi Residen Belanda untuk Cirebon.[1]

bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing

Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut,[25] terlebih pembagian wewenang dan kekuasaan atas wilayah belum ditentukan.[1]

Kasus Braja Pati dan hilangnya peran ulama dalam pengadilan di Cirebon

Pada awal tahun 1688 ada sebuah kasus perampokan bersenjata yang dikenal dengan nama kasus Braja Pati, dalam kasus tersebut terdapat dua orang yang merupakan bawahan Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya yang menjadi tersangkanya, hal ini kemudian memaksa Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya dan Willem de Ruijter (pejabat penghubung Belanda untuk kesultanan Cirebon) untuk membuka dialog. Pada dasarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya berkeinginan agar bawahannya yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut permasalahan hukumnya agar dilimpahkan kepada para ulama, melalui puteranya yaitu Pangeran Adi Wijaya, beliau mengutarakan keinginannya agar para bawahannya dihakimi dan dihukum oleh para ulama sesuai dengan aturan syariah yang terdapat dalam al Qur'an, dalam hal ini sebenarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya tidak berkeinginan jika para bawahannya mendapat hukuman, sebaliknya Pangeran Adi Wijaya berkeinginan agar mereka dihukum.[21]

Willem de Ruijter sebagai perwakilan Belanda dan Vereenigde Oostindische Compagnie di Cirebon memiliki pemikirannya sendiri berkaitan dengan lembaga mana yang lebih pantas dalam mengadili kasus Braja Pati tersebut, ketika Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya berpendapat agar kasus tersebut ditangani oleh para ulama, Willem de Ruijter mengemukakan bahwa

bahwa sesungguhnya Vereenigde Oostindische Compagnie telah menjalin dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat dengan para pangeran dan tidak dengan para ulama Cirebon, sehingga tidak pantas rasanya untuk mengganggu kami dengan pembicaraan tidak berarti seperti ini (seperti mengizinkan ulama untuk menentukan hukuman)

Pangeran Adi Wijaya kemudian melakukan intervensi terhadap kasus ini walau bertentangan dengan keinginan ayahnya dan ketua mantri, hal tersebut bertujuan untuk mencegah konflik antara Vereenigde Oostindische Compagnie dengan para penguasa Cirebon dalam hal masalah yang keislaman yang sensitif. Para tersangka akhirnya dibebaskan, hal tersebut dikarenakan kurangnya bukti yang dapat digunakan untuk memberatkan mereka.[21]

Implikasi dari tinjauan kasus Braja Pati tersebut adalah dituangkannya permasalahan kompetensi dibidang pengadilan dalam Perjanjian 1688 dan Layang Ubaya 1690 di mana para ulama tidak diikut sertakan dalam proses pengadilan di Cirebon.[21]

Willem de Ruijter dalam laporannya pada 13 April 1688 kepada Hooge Regeering (pemerintahan tinggi) beliau menjelaskan bahwa yang disebut dengan ulama adalah seperti Paus namun mengurusi masalah keislaman di Cirebon yang mana tugas utamanya dalam struktur administrasi tidak diketahui, selain itu istilah ulama juga terkadang digunakan untuk menjelaskan seseorang yang dianggap memiliki kesucian sebagai muslim.[21]

Perjanjian 1688, stempel keraton dan keluarga Gamel

Pada tahun 1688, pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon masih dipegang oleh Kapten Willem de Ruijter,[21] terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog[25] untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata[1] (keluarga Gamel) untuk mewakilinya.

Pada masalah pembuatan stempel masing-masing keraton, agar tidak terjadi kekacauan maka Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata mempertimbangkan seorang tua yang bijak, stempel harus dibuat serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom, beratnya masing-masing satu kati dua tail dan berbentuk bulat. Sultan Sepuh dan Sultan Anom diperkenankan mengganti ahli pembuat stempel yang telah ditunjuk oleh Ki Raksanegara dan Pangeran Suradinata dengan syarat stempel yang akan dibuat sesuai dengan yang ada.[1]

Perihal urusan syahbandar, maka disetujui untuk mengangkat Ki Raksanegara, syahbandar Cirebon akan bekerja atas nama para penguasa Cirebon, syahbandar dalam hal ini adalah Ki Raksanegara bertugas untuk menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Sultan Sepuh, Sultan Sepuh berkewajiban meneruskan laporan yang diterimanya kepada para penguasa lainnya yakni Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin[1]

Perihal masalah pendapatan hasil tanah, Ki Raksanegara yang telah diangkat menjadi Syahbandar Cirebon diperkenankan untuk mengurus pendapatan hasil tanah yang mana setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh dan setengahnya lagi diserahkan kepada Pangeran Nasiruddin, sementara Pangeran Suradinata dari Gamel diperkenankan untuk mengambil hasil tanah dari para orang-orang cina (bahasa Cirebon : sinko) untuk Sultan Anom.[1]

Perihal gelar untuk Pangeran Nasiruddin, Sultan Sepuh dan Sultan Anom sepakat memberi gelar Gusti Panembahan Cirebon kepada Pangeran Nasiruddin setelah sebelumnya bermusyawarah dengan utusan Belanda Johanes de Hartog dengan syarat bahwa Pangeran Nasiruddin harus tetap sebagaimana adanya dan tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom.[1] Pangeran Nasiruddin diberi wewenang untuk mengurus kesejahteraan rakyat, mengangkat dan menentukan hakim serta para mantri yang bertugas dalam suatu penyelidikan untuk ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon sesuai saran dari Vereenigde Oostindische Compagnie.[1]

Pada urusan menjalankan pemerintahan Cirebon disepakati agar diangkat 12 Mantri, Kasepuhan mendapatkan hak untuk mengangkat lima orang mantri, Kanoman mendapatkan hak untuk mengangkat empat orang mantri sementara Gusti Panembahan diberikan hak untuk mengangkat tiga orang mantri, dalam perjanjian 1688 yang dimediasi oleh Belanda ditegaskan bahwa ketiga penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh Syamsuddin, Sultan Anom Badruddin dan Gusti Panembahan Cirebon Nasiruddin berjanji untuk menyerahkan kepengurusan Cirebon kepada Pangeran Depati Anom (yang merupakan anak dari Sultan Sepuh) dan Pangeran Ratu.[1]

namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688[25] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)[26] tersebut tidak membuahkan hasil.

Pembatasan Picis (uang logam) Cirebon

Setelah adanya perjanjian Cirebon dengan Belanda tahun 1688 maka diperlukan pemberlakuan mata uang untuk berbagai transaksi perdagangan. Belanda kemudian membuat larangan agar Cirebon tidak boleh lagi membuat mata uang Picis kecuali dibuat oleh Raksa Negara (yang mewakili pihak Sultan Sepuh I Martawijaya) dan Pangeran Suradinata (yang mewakili pihak Sultan Anom I Kartawijaya)[27]

Perjanjian 1699, Belanda dalam masalah pribawa

Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon), kedua orang putera Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan tahta almarhum ayahnya, hal tersebut dikarenakan sebelum meninggal, Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya belum menunjuk penggantinya, Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat bahwa ia berhak mewarisi tahta ayahnya dikarenakan dia adalah putera tertua, pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak, masalah ini kemudian dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya sama dengan perjanjian 1688 hanya saja ditambahkan klausul berkenaan dengan pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya.[1] Pada perjanjian 1688 sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya) akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak akan tahta ayahnya, namun dengan timbulnya permasalahan ini membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan Pangeran Adi Wijaya.[2] Pangeran Adi Wijaya kemudian membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal[28] dengan gelar Pangeran Arya Cirebon.[2] Perjanjian 1699 ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699 di Batavia.[2]

Belanda atas dasar pribawa dengan berbekal perjanjian 1699 menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kamarudin[29] berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan[28](pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)

Belanda menguasai politik Cirebon

Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada tahun 1699[21] mengangkat Letnan Jacob Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon. Belanda setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung untuk wilayah Kesultanan Cirebon, dalam buku Sejarah Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1700 telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Letnan Jacob Palm.[30]

Pada tahun 1701, Belanda kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon[21]

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin[29] dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan peguron Kaprabonan pada tahun 1696 sekaligus menjadi rama guru di sana.

Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.[31]

Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap)[25]

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan menimbulkan perselisihan yang terus menerus, peristiwa inilah yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan Cirebon.

Besluit 1706 dan Jabatan Overseer Pangeran Adi Wijaya

Pembagian kuasa dan warisan Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya kepada kedua putranya yakni Pangeran Depati Anom Tajularipin dan Pangeran Adi Wijaya yang disepakati dalam perjanjian 1699 di mana Pangeran Adi Wijaya kemudian mendapat gelar Pangeran Arya Cirebon dan membentuk cabang keratonnya sendiri kemudian berimbas kepada diangkatnya beliau menjadi Overseer (pengawas) Belanda untuk wilayah Priyangan sebelah timur yang berada dibawah kendali Cirebon[1] melalui Besluit yang dikeluarkan pada tanggal 9 Februari 1706[32]

Permasalahan pembagian kuasa Cirebon antara Sultan Abdul Karim dan Pangeran lainnya

Pada masa ditawannya Sultan Abdul Karim di Mataram oleh Amangkurat, Mataram mengakui bahwa di Cirebon ada Pangeran yang memiliki kuasa sejajar dengan Sultan Cirebon, diantara Pangeran yang diakui adalah Pangeran Surya Negara.[21] Pada saat terjadi perjanjian Cirebon - Belanda 1681 yang menjadikan Cirebon sebagai daerah proktektorat (daerah dalam perlindungan) Belanda, Pangeran Surya Negara memilih untuk tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut dan menjaga agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen,[21] permasalahan ini tidak bisa diterima Belanda yang berfikir bahwa di Cirebon hanya ada satu penguasa untuk seluruh wilayah kesultanan sementara para pangeran lainnya yang memiliki kuasa semi-otonom pada masa Sultan Abdul Karim dianggap Belanda hanyalah sebagai bawahan kesultanan Cirebon saja.[21] Permasalahan pembagian kuasa ini kemudian berlarut-larut hingga mencapai tahun 1700an, pada tanggal 12 Juli 1721, Pangeran Surya Negara mengirimkan sebuah surat kepada residen Belanda Willem Tersmitten yang menyatakan bahwa dia dan Sultan Cirebon Abdul Karim memiliki derajat kuasa yang sama, oleh karenanya dia berhak memilih agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen[21]

Pada tahun 1729 dimasa Residen Jan Donker van der Hoff, dilakukan pendataan kepemilikan tanaman kopi dan masyarakat di wilayah kesultanan Cirebon, pendataan dilakukan oleh Kopral Jacob Titter atas perintah residen Belanda yang diawasi pelaksanaannya oleh para mantri (pegawai kesultanan) yang ditunjuk oleh masing-masing penguasa Cirebon[23]

Pada pendataan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa di desa Sayana (yang merupakan desa dibawah kekuasaan Sultan Sepuh III Djaenuddin) misalnya terdapat kepemilikan 300 pohon kopi milik Pangeran Surya Negara, begitupula di wilayah lainnya[23]

Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon

Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti[siapa?] dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat.[33] Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706,[33] secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut

"... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09"

[34]

Pembuatan Picis (uang logam) Cirebon oleh keturunan Cina

Pada tanggal 1 Januari 1710 atas persetujuan Panembahan Cirebon I Nasiruddin, Sultan Sepuh II Pangeran Depati Anom Tajul Arifin, Pangeran Arya Cirebon dan Pangeran Raja Depati Kusuma Agung (wakil kesultanan Kanoman) serta kapiten Cina (pemimpin komunitas keturunan cina) dan Syahbandar Cirebon Tan Siang Ko maka pembuatan picis (uang logam) Cirebon diserahkan kepada masyarakat keturunan Cina sepeninggal Raksa Negara dan Pangeran Suradinata[27]

Penyeleseian masalah Pribawa

Belanda akhirnya mengambil langkah untuk menyeleseikan permasalahan akibat perkara Pribawa (derajat paling tinggi diantara keluarga besar) setelah terjadinya konflik keluarga pada tahun 1715 setahun setelah meninggalnya Pangeran Nasiruddin (Panembahan Cirebon I) dan pada saat meninggalnya Sultan Anom Alimuddin pada tahun 1733.[21] Belanda akhirnya pada tahun 1752[35] (satu tahun sebelum meninggalnya Sultan Sepuh Raja Muhammad Djaenudin) memutuskan untuk menghentikan mekanisme pergeseran posisi peringkat diantara cabang-cabang dalam keluarga besar kesultanan Cirebon sekaligus menetapkan aturan agar pergantian penguasa diantara cabang-cabang keluarga kesultanan Cirebon dilakukan oleh putranya masing-masing[35]

Pengadilan Kerta

Pada proses pengadilan kerta melalui institusi jaksa pepitu, Kepangeranan Cirebon diwakili oleh seorang jaksa[36]

Daftar Pangeran Kacirebonan

  • Pangeran Adiwijaya bergelar Pangeran Aria Cirebon I Kamaruddin (1699 - 1723)
  • Pangeran Aria Cirebon II Muhammad Akbaruddin (1723 - 1734)
  • Pangeran Aria Cirebon III Muhammad Salihuddin (1734 - 1758)
  • Pangeran Soeria Diredja[37] bergelar Pangeran Aria Cirebon IV Muhammad Harrudin (1758 - 1768)

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
  2. ^ a b c d e f al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. Cirebon : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati
  3. ^ Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI: posisi dan fungsinya dari perspektif hukum. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
  4. ^ a b Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
  5. ^ a b Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint Jatinangor.
  6. ^ a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers
  7. ^ a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M). Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
  8. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon
  9. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
  10. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
  11. ^ a b c d Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  12. ^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java: verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
  13. ^ a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus, Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge
  14. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Penerbit Saudara
  15. ^ a b Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix
  16. ^ a b Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia
  17. ^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia
  18. ^ a b van der Chijs, Jacobus Anne. 1882. Slands Archief Batavia 1602-1816). Batavia : Batavia Landsdrukkerij
  19. ^ a b Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  20. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
  21. ^ Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka Jaya
  22. ^ a b c Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. Hove : Psychology Press
  23. ^ de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
  24. ^ a b c d Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Diarsipkan 2016-12-25 di Wayback Machine.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
  25. ^ Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney: Oughtershaw Press
  26. ^ a b Poesponegoro , Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam Di Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
  27. ^ a b Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. Yogyakarta: Deepublish
  28. ^ a b Tim Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013. Arsip Nasional - Surat Surat Diplomatik 1625-1812. Diarsipkan 2022-04-12 di Wayback Machine.Jakarta Arsip Nasional Republik Indonesia
  29. ^ P.S. Sulendraningrat. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
  30. ^ "Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan, Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  31. ^ Lubis, Nina Herlina. 2010. Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad Ke 17 - 18. Bandung : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPNB) Bandung
  32. ^ a b Mangintrk, Timothy Seta. 2016. Parahiyangan Guardian: Pengembangan Aplikasi Game Untuk Pembelajaran Interaktif Menggunakan Aksara Bahasa Sunda Berbasis Desktop. Bandung: Universitas Widyatama
  33. ^ Mujidiningrat, Raden Dulur Anom Rahadyan Ikhsanurud Daudi Akbar Guratpanuratrahsa Ahmad Elwangsih. 2018. Aksara Rikasara: Sebuah Peradaban yang Hilang. Cirebon: Desa Adat Gamel-Sarabahu
  34. ^ a b Bochari, Muhammad Sanggupri. Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
  35. ^ Viswandro, Maria Matilda, Bayu Saputra. 2018. Mengenal Profesi Penegak Hukum. Bantul : Media Presindo
  36. ^ 1882. Realia - Register op de Generale Resolutien van het Kasteel Batavia. Leiden : Gualth Kolff
Kembali kehalaman sebelumnya