KepublikanKepublikan (Publicness: dalam bahasa Inggris), merujuk pada terwujudnya nilai-nilai yang berorientasi pada upaya mengedepankan kepentingan, kemanfaatan, dan kebutuhan publik (Dwiyanto, 2011: 203). Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dalam mengelola publicness masyarakat, sehingga segala kebijakan yang diformulasikan pemerintah akan senada dengan kebutuhan publik. Meski demikian, kenyataannya saat ini isu publicness tidak hanya sebatas pada pengelolaan public goods dan public interest oleh organisasi publik saja, melainkan sudah mulai terbaca melalui pengelolaan barang publik oleh organisasi non-publik (swasta/pasar) (Margono dkk, 2014: 11). Dengan demikian, organisasi sosial/kelompok masyarakat pun kini memiliki peranan penting dalam menunjang terwujudnya isu publicness di masyarakat.[1] Sejak beberapa dekade ini, banyak para ahli yang tertarik membahas tentang kepublikan atau publicness. Menurut Bozeman dan Moulton (2011), Kepublikan mengacu pada suatu tingkatan dimana suatu organisasi dipengaruhi oleh otoritas politik. Istilah kata publicness pada awalnya tidak pernah benar-benar digunakan oleh para ilmuwan Ilmu Administrasi Publik pada awal abad ke-20, namun mereka memiliki suatu kerangka berpikir yang jelas bahwa organisasi haruslah digambarkan dalam kerangka perpaduan antara pengaruh politik dan ekonomi. Hal itu ditegaskan oleh Wamsley dan Zald (1970) dan juga Lindblom (1977).[2] Konsep kepublikan harus melembaga dan membudaya sebagai orientasi dan nilai yang harus ditransformasikan oleh institusi publik, swasta, dan juga masyarakat dengan mengedepankan kepedulian dan engagement mereka pada urusan dan domain publik.[3] Ada beberapa literatur Indonesia yang menyinggung tentang kepublikan dari segi pelayanan, seperti Islamy dalam Putra (2003:19). Ia mengatakan bahwa pengambil kebijakan harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh harapan yang cukup besar kepada administrator publiknya, yaitu dengan harapan agar administrator publik dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik. Dengan demikian, administrator publik perlu memiliki semangat kepublikan (the spirit of publicness).[2] Jenis KepublikanMenurut salah satu ahli yaitu Bozeman dan Moulton (2010) ia membagi publicness menjadi kepublikan empiris dan kepublikan normatif. Kepublikan empiris merujuk pada usaha untuk menjelaskan organisasi dan manajemennya, dengan memadukan pengaruh politik dan ekonomi pada suatu organisasi. Sedangkan kepublikan normatif didefinisikan sebagai sebuah pendekatan pada analisis nilai-nilai dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan mengenai otoritas ekonomi dan politik dari suatu institusi dan kebijakan-kebijakan lain adalah sebuah syarat dalam memahami potensi atas suatu institusi dan kebijakan dalam memenuhi nilai-nilai publik dan dalam rangka bekerja menuju idealisme kepentingan publik.[2] Pendekatan KepublikanMenurut pendapat Pesch (2009), ia mengkonstruksikan 5 pendekatan kepublikan yang berbeda, yaitu:[2]
Referensi
|