Keresidenan SurakartaKaresidenan Surakarta ( bahasa Jawa: ꦏꦫꦺꦱꦶꦝꦺꦤꦤ꧀ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ, translit. Karésidhènan Surakarta, EBI: Keresidenan Surakarta) adalah wilayah Karesidenan (bahasa Belanda: Residentie Soerakarta) di Jawa Tengah pada masa Kolonial Belanda dan beberapa tahun setelahnya. Wilayahnya mencakup daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mencakup luas 5.677 Km2. Setelah Keresidenan Surakarta ditiadakan pada tanggal 4 Juli 1950, maka dari wilayah tersebut dibentuklah Kota Surakarta dan 6 kabupaten di sekitarnya yang merupakan daerah tingkat II di Indonesia. SejarahEra Hindia-BelandaResiden Surakarta merupakan kepanjangan tangan administrasi Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia, khususnya pada masa kolonial. Pada tahun 1885 tercatat berpenduduk 1.053.985 jiwa.[1] Pascakemerdekaan IndonesiaPada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, wilayah keresidenan ini menjadi "Daerah Istimewa Surakarta", dengan Gubernur Sri Susuhunan Pakubuwono XII dan Wakil Gubernur Sri Mangkunegoro VIII (bersamaan dengan berdirinya DI Yogyakarta). Status ini tidak berumur panjang karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Tan Malaka untuk menentang berkuasanya kekuatan aristokrasi dan feodalisme di wilayah ini, sehingga setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Surakarta kehilangan otonominya dan wilayah ini menjadi Karesidenan Surakarta. Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[2] Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.[2] Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman. Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja. Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta. D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan MalakaBegitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, Susuhunan Surakarta (Sunan Pakubuwana XII) serta adipati Mangkunegaran (KGPAA Mangkunegara VIII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Kasunana dan Mangkunegaran) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[butuh rujukan] Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Persatuan Perjuangan. Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Pertumbuhan gerakan ini cepat dikarenakan ketidakpuasan rakyat Surakarta terhadap Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform) oleh gerakan sosialis. Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Ndalem susuhunan (Perdana Menteri raja), KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Susuhunan dan Adipati Mangkunegara. Bulan Maret 1946, Pepatih ndalem yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama. Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membekukan DIS dan menghilangkan sementara kekuasaan politik Kasunanan dan Mangkunegaran. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta. Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak. Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[3] Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara. Keresidenan SurakartaPada 16 Juni 1946, dibentuk Keresidenan Surakarta dan terdiri dari daerah-daerah berikut:[butuh rujukan]
Tanggal 16 Juni ini lalu diperingati setiap tahun sebagai tanggal lahir daerah Surakarta dan Kota Solo. Pembubaran
ResidenBerikut adalah daftar residen yang pernah memerintah Surakarta.
PeninggalanMeskipun Keresidenan Surakarta sudah tidak ada lagi, warga dari daerah ini masih dengan bangga menyebut dirinya orang 'Solo' (bentuk alternatif dari Surakarta) meskipun tidak berasal dari Kota Surakarta sendiri. Hal ini dilakukan sebagai identifikasi untuk membedakan diri mereka dari orang Semarang dan Yogyakarta. Terutama setelah runtuhnya Orde Baru dan terbentuk provinsi Banten serta dicanangkannya Otonomi Daerah, banyak terdengar suara-suara yang sebenarnya masih berbentuk wacana saja untuk pembentukan kembali "Provinsi Surakarta". Apakah ini harus berbentuk provinsi 'biasa' atau Daerah Istimewa seperti di Yogyakarta dengan seorang Raja sebagai Gubernur, tidaklah jelas. Perkembangan dalam administrasi pemerintahan menghapuskan tingkat Karesidenan, dan kemudian Keresidenan Surakarta, sebagaimana Karesidenan lainnya di Indonesia, menjadi Daerah Pembantu Gubernur Jawa Tengah untuk Wilayah Surakarta, hingga sekarang. Dalam usaha untuk mengintegrasikan pembangunan wilayah eks-Keresidenan Surakarta, ketujuh kabupaten/kota di wilayah ini membentuk suatu bounded zone yang disebut Subosukawonosraten (merupakan akronim dari nama-nama kabupaten/kota anggotanya).[4] Catatan kakiLihat pula
|