Kerja Sama Pembangunan Uni Eropa dengan Grup Daerah Afrika, Karibia, dan Pasifik
Kerja sama Pembangunan Uni Europa dengan Grup Daerah Afrika, Karibia dan Pasifik (African, Caribean and Pasific, disingkat ACP) merupakan bentuk kerja sama di bidang pembangunan yang telah dimulai sejak tahun 1975. Kini, kerja sama ini telah berevolusi dan memasuki babak baru. SejarahPada 23 Juni 2001 di Cotonou, Benin, kedua pihak menandatangani Perjanjian Kemitraan Uni Europa-ACP yang kemudian dinamakan Perjanjian Cotonou. Perjanjian ini berlaku selama 20 tahun dan akan berakhir pada Februari 2020.[1] Konvensi YaoundéSejarah permulaan hubungan resmi antara Uni Eropa dan Grup Daerah Afrika, Karibia dan Pasifik dapat dilihat dari pembentukan Komunitas Ekonomi Eropa yang didasarkan pada Traktat Roma tahun 1957.[2] Dalam Bagian IV Traktat Roma disebutkan bahwa adanya pertimbangan untuk membentuk asosiasi dari wilayah seberang lautan (overseas territory) dari Belgia, Prancis, Belanda dan Italia sorta ditambah Jerman dan Luxembourg dibawah naungan Dana Pembangunan Eropa (European Development Fund-EDF).[2] Berdasarkan data tahun 1956, kebanyakan dari wilayah seberang lautan tersebut berada di Afrika dengan 15 wilayah yang berada dibawah administrasi Prancis, dua dari Belgia dan satu oleh Italia. Pasca dekolonialisasi Afrika pada tahun 1960an, Eropa kemudian berusaha untuk terus mentalin hubungan dengan negara-negara tersebut. Pada 1959, dibentuklah Dana Pembangunan Eropa dan setiap lima tahun EDF memberikan rencana pembangunnya. Pada 1963, Konvensi Yaoundé ditandatangani bersama 18 negara Afrika yang baru merdeka yang dikenal dengan Asosiasi Negara-negara Afrika dan Madagaskar atau Associated African and Malgache Countries (EAMA) ditambah dengan enam negara yang tergabung dalam Komunitas Ekonomi Eropa.[2] Konvensi ini memberikan keuntungan komersial dan bantuan finansial kapada negara-negara bekas koloni Eropa di Afrika. Keuntungan komersial dan bantuan finasiat tersebut berada dibawah EDF Kedua (1964-1969).[3] Dalam masa konvensi ini, Prancis menjadi negara yang gigih mendorong perjanjian perdagangan dan bantuan dengan menempatkan Traktat Roma berada di tempat pertama. Upaya Prancis tersebut juga didorong oleh Belgia. Jerman dan Belanda sendiri baru muncul ketika awal 1960an, ketika mereka terlibat dalam kebijakan bantuan pembangunan seberang lautan (overseas development).[2] Konvensi Yaoundé kemudian direnegosiasi pada tahun 1969 dikenal dengan Yaoundé II. Konvensi ini berada dal am EDF Ketiga (1964-1969).[3] Salah satu isi kesepakatan dari Yaoundé II adalah adanya pembentukan wilayah perdagangan bebas sebagai bagian dari prinsip timbal-balik atau resiprositas yang dianut kedua pihak.[2] Perjanjian LoméKonvensi Lomé menandai hubungan kedua pihak ditahap berikutnya. Perjanjian ini merupakan respon dari masuknya Inggris dan negara-negara Persemakmuran ke dalam program kerja sama antara Komunitas Ekonomi Eropa dengan negara-negara ACP. Konvensi ini memberikan dasar dari prinsip-prinsip dan tujuan kerja sama antara kedua pihak.[4] Adapun karakteristik dari kerja sama Komunitas Ekonomi Eropa dengan negara-negara ACP adalah prinsip kemitraan, hubungan yang bersifat kontraktual, dan kombinasi antara aspek bantuan, perdagangan dan politik yang diiringi dengan perspektif jangka panjang.[4] Konvensi Lomé sendiri dibagi ke dalam empat masa perjanjian lima tahun. Konvensi Lomé I ditandatangani pada 1975 yang berada dibawah EDF Kempat. Adapun karakteristik utama dari perjanjian ini adalah pemberlakuan preferensi non-resiprokal dari sebagian besar ekspor ACP ke Eropa, kesetaraan di antara mitra, penghormatan terhadap kedaulatan, keutungan bersama dan saling ketergantungan, hak setiap negara untuk menentukan kebijakannya sendiri, serta hubungan keamanan yang didasarkan pada capaian dari sistem kerja sama yang berlaku. Dalam konvensi ini diperkenalkan juga system STABEX untuk memberikan kompensasi terhadap turunnya pendapatan ekspor kepada negara ACP akibat dari fluktuasi harga dan suplai beberapa komoditas.[4] Selain itu, dalam Lomé I salah satu prioritas yang menjadi sorotan adalah mengenai infrastuktur pertanian.[5] Dalam isu institusional, Lomé menghasilkan pembentukan institusi bersama antara negara donor dengan negara penerima bantuan seperti Dewan Menteri ACP-Uni Eropa, Pusat Pengembangan Industri (Centre for Development of Industry - CDI), Pusat Pengembangan Usaha (Centre for the Development of Industry-CDE) dan Pusat Teknis untuk Kerja Sama Pertanian (Technical Centre for Agricultural Cooperation-CTA).[5] Pada tahun 1979 ditandatangani Konvensi Lomé II (1980-1985) yang berada dalam EDF Kelima.[4] Konvensi ini ditandatangani oleh 58 negara-negara ACP. Dalam konvensi ini diperkenalkan sistem SYSMN yang sedikit menyerupai Stabex untuk membantu industri pertambangan yang menjadi tumpuan utama negara-negara ACP.[5] Mekanisme Sysmin membantu negara-negara ACP untuk meningkatkan kapasitas produksi dan mendiversifikasi sektor ekonomi pertambangan.[5] Konvensi Lomé III (1985-1990) ditandantangani pada 1984 dan berada dalam EDF Keenam. Dalam konvensi ini ada perubahan arah bantuan dari yang awalnya mempromosikan pembangunan industri menadi usaha untuk melakukan pembangunan secara mandiri didasarkan pada swasembada dan keamanan pangan.[4] Perubahan ini terjadi karena munculnya perasaan "kelelahan bantuan (aid fatigue)". Kekecauan sistem administrasi di beberapa negara dan perkembangan masalah demokrasi membuat para donor kehilangan antusiasmenya.[5] Di saat yang sama, masyarakat di negara-negara kaya mulai merasakan berakhirnya masa booming pasca perang dan memento pemerintahnya until mengurangi bantuan ke negara-negara berkembang.[5] Dalam Konvensi Lomé IV masa berlaku yang awalnya lima tahun diubah menjadi sepuluh tahun. Walaupun begitu, protokol finasial yang dimasukkan memiliki durasi salama lima tahun. Protokol finasial dibagi ke dalam dua periode, yakni periode pertama dari tahun 1990 hingga 1995 dan periode kedua dari tahun 1995 hingga 2000. Di antara dua periode tersebut diadakan Peninjauan Tengah Waktu pada tahun 1995. Dalam konvensi ini, hal yang menjadi fokus adalah promosi terhadap hak asasi manusia, demokrasi, tata kelola pemerintahan, memperkuat posisi perempuan, perlindungan lingkungan, kerja sama yang terdesentralisasi, diversifikasi ekonomi ACP, promosi terhadap sektor-sektor swasta dan meningkatkan kerja sama regional.[4] Perjanjian CotonouReferensi
|