Kerusakan hutan mangrove di BalikpapanFaktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove di Balikpapan adalah bisnis kelapa sawit, industri pesisir, dan perumahan.[1] Terhitung 20 ribu hektare kawasan hutan mangrove mengalami kerusakan.[2] Sebagian besar dari hutan mangrove yang rusak tersebut telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengelolaannya.[1] SebabKasus perusakan hutan mangrove di Balikpapan terus meningkat setiap tahunnya.[2] Sekitar 14 ribu hektare hutan mangrove di Balikpapan Barat dan Balikpapan Utara serta 6 ribu hektare hutan mangrove di Balikpapan Timur mengalami kerusakan.[2] Wilayah Teluk Balikpapan yang merupakan lokasi deretan hutan mangrove di pesisir barat Balikpapan, banyak ditemui sampah plastik dan rokok yang menyangkut di ranting ataupun mendangkalkan perairan teluk.[3] Pengembangan perkebunan kelapa sawit, industri pesisir terutama Kawasan Industri Kariangau[4] dan kompleks perumahan besar telah menebang mangrove di tepi pantai dan pinggiran sungai di teluk ini.[1] Penebangan yang paling parah terjadi di wilayah Ulu teluk, kawasan ini menjadi gersang akibat konversi lahan yang ekstensif untuk perkebunan sawit dan pabrik pengolahannya.[1] Kebijakan pemerintah untuk membabat 30% atau 6 hektare dari hutan mangrove di wilayah Teluk Balikpapan mengakibatkan kian terbukanya akses kawasan yang menjadi habitat satwa langka seperti bekantan yang jumlahnya tinggal 400 ekor di Balikpapan.[5][6] Pembangunan Jembatan Pulau Balang yang membutuhkan tiang jembatan, jalan penghubung ke Balikpapan beserta pagar pembatas mengakibatkan perambahan dan konversi hutan besar-besaran serta hancurnya semua koridor satwa yang menghubungkan ekosistem mangrove dengan Hutan Sungai Wain.[1] Pembangunan tiang pancang jembatan tersebut juga mengancam kelestarian terumbu karang.[7] Kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) di Teluk Balikpapan pun diketahui tidak berdasarkan investigasi lapangan yang rinci dan sering menggunakan data palsu.[1] Di wilayah Batuampar dan di wilayah Manggar, sebagian mangrove ditebang habis oleh warga untuk dibangun tempat usaha ikan dan membuat alat penangkap ikan,[8][9] di wilayah Margomulyo hingga Somber, hutan mangrove sudah berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan khusus perusahaan besar.[10] Di jembatan hutan mangrove Margomulyo, terdapat banyak sampah plastik makanan, minuman juga deterjen.[3] Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat setiap harinya secara tidak langsung turut memusnahkan hutan mangrove di rawa-rawa dan pinggiran laut yang dialihfungsikan menjadi sasaran pembangunan rumah-rumah dan tempat usaha.[11] Di pinggiran Sungai Somber, hutan mangrove telah dibabat dan dijadikan pemukiman warga.[12] Di Sungai Tempadung, mangrove dibabat oleh beberapa pabrik pengelolaan kelapa sawit mentah (CPO), padahal wilayah di luar Industri Kariangau tersebut merupakan kawasan lindung.[5] Di wilayah Muara Tempadung, beberapa perusahaan membangun pabrik pengelolaan minyak sawit mentah yang terdiri dari kilang, gudang dan pabrik tepat di kawasan hutan mangrove.[4] Sedangkan di wilayah Solok Puda, perusahaan pelabuhan di sana telah membuka dan mengeruk tanah hutan mangrove seluas tiga hektare di sepanjang sungai dan menimbunnya untuk dijadikan tempat kontainer pelabuhan peti kemas Kariangau.[4] Dampak
Perusakan hutan mangrove di Balikpapan mengakibatkan berbagai macam bencana ekologi. Sampah-sampah di perairan Teluk Balikpapan mengakibatkan pendangkalan teluk yang mengganggu perahu-perahu yang melintas di sana.[3] Beralih fungsinya hutan mangrove di wilayah Margomulyo mengakibatkan terjadinya banjir di beberapa titik. Aliran air hujan dari wilayah Gunung Empat dengan mudahnya menerobos parit-parit di wilayah sekitar yang lebih rendah, sehingga air meluber ke jalanan dan rumah penduduk.[11] Pembukaaan lahan kawasan hutan mangrove oleh pemerintah menimbulkan erosi, sedimentasi, intrusi air laut dan gelombang besar[10] di Teluk Balikpapan serta sungai-sungai di sekitarnya.[5] Gas karbon dan emisi gas rumah kaca di Balikpapan langsung dilepaskan ke atmosfer akibat berkurangnya pengikatan gas tersebut oleh hutan mangrove.[14] Produksi ikan di perairan Teluk Balikpapan menjadi berkurang drastis karena kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang[7] yang merupakan tempat berkembangnya "bayi" biota laut sehingga berdampak pada kehidupan ekonomi nelayan setempat.[5] Konsekuensi dari pembangunan Jembatan Pulau Balang yaitu kerusakan hutan dalam skala besar baik secara langsung maupun tidak langsung, pembukaan akses ke hutan, kebakaran lahan, pembangunan ilegal, perburuan hewan yang dilindungi[7] dan pengembangan industri yang tidak bisa dibatasi.[3][15] Pembangunan jembatan tersebut juga membuat hutan mangrove di Teluk Balikpapan terisolasi dengan hutan sekunder yang merupakan tempat bekantan mencari makan.[3] Kasus tersebut telah terjadi di Somber yang mengakibatkan bekantan mati keracunan akibat mengkonsumsi buah rambai laut di hutan mangrove secara berlebihan,[3] sehingga hewan berhidung panjang tersebut diprediksi akan punah pada tahun 2024.[1] Pembangunan jembatan tersebut juga mendapat kecaman internasional yang dibahas dalam Kongres Primatologi Internasional di Jepang karena mengancam keberadaan bekantan.[1] Apabila hutan mangrove di Teluk Balikpapan habis dan rusak, maka Balikpapan akan kehilangan keanekaragaman hayati yang masih hidup seperti bekantan, pesut teluk, Gynacantha bartai (spesies capung baru),[14] monyet, beragam ikan dan burung serta berbagai jenis tumbuhan.[16] Lihat pula
Referensi
|