Komisi Eropa untuk Bantuan KemanusiaanDivisi Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Sipil Komisi Eropa, yang sebelumnya dikenal sebagai Kantor Bantuan Kemanusiaan Komunitas Eropa (European Community Humanitarian Aid Office/ECHO), adalah divisi Komisi Eropa untuk bantuan kemanusiaan dan perlindungan sipil luar negeri. Pada tahun 2013, UE menyediakan dana sebesar €1,35 miliar untuk bantuan darurat melalui ECHO.[1] UE menjadi pendonor bantuan kemanusiaan terbesar kedua setiap tahun sejak tahun 2000 (data tersedia hingga 2012). Bersama dengan Negara-Negara Anggotanya, UE menjadi pendonor bantuan kemanusiaan terbesar di dunia, dengan menyediakan 50% lebih dari total bantuan kemanusiaan pada tahun 2009.[2] Proyek-proyek yang didanai ECHO mempengaruhi lebih dari 120 juta orang di 90 negara setiap tahun.[3] Untuk intervensi kemanusiaan, ECHO tidak melaksanakan sendiri program bantuannya, namun mendanai operasi melalui jaringan yang terdiri atas lebih dari 200 mitra (LSM, lembaga PBB, dan organisasi internasional seperti Gerakan Palang Merah/Bulan Sabit Merah).[4] Pada tahun 2013, ECHO memiliki 44 kantor lapangan di 39 negara, dengan 140 pakar kemanusiaan internasional dan 320 anggota staf nasional. Kantor lapangan ini memberikan analisis terbaru tentang kebutuhan saat ini dan mendatang di negara atau wilayah tertentu, berkontribusi terhadap pengembangan strategi intervensi dan pengembangan kebijakan, memberikan dukungan teknis terhadap operasi yang didanai ECHO, memastikan pemantauan yang memadai terhadap intervensi ini, serta memfasilitasi koordinasi pendonor pada tingkat lapangan.[5] Selain menyediakan pendanaan bagi bantuan kemanusiaan, ECHO juga bertanggung jawab terhadap Mekanisme Perlindungan Sipil UE. Mekanisme yang dibentuk pada tahun 2001 ini membantu kerja sama di antara otoritas perlindungan sipil nasional di seluruh Eropa. Saat ini, 31 negara menjadi anggota Mekanisme ini; seluruh Negara Anggota UE yang berjumlah 28 ditambah dengan Islandia, Norwegia, dan Makedonia. Mekanisme ini dibentuk untuk mengelola bantuan terkoordinasi dari negara-negara partisipan terhadap korban bencana alam dan bencana akibat manusia di Eropa dan di wilayah lain. Setelah UE dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2012, Komisi Barroso menerima uang penghargaan atas nama UE dan mengalokasikannya untuk program baru bernama Children of Peace. Dana berjumlah sekitar €2 juta disisihkan untuk proyek Children of Peace pada tahun 2013. Jumlah ini meningkat menjadi €4 juta pada tahun 2014.[6] SejarahKantor Bantuan Kemanusiaan Komunitas Eropa (European Community Humanitarian Aid Office/ECHO) didirikan pada tahun 1992 oleh Komisi Delors II. Dengan dihapuskannya Komunitas Eropa pada tahun 2009, kantor ini berubah menjadi divisi Bantuan Kemanusiaan Komisi Eropa atau Uni Eropa, namun singkatan ECHO tetap dipertahankan. Penunjukan komisioner baru pada tahun 2010 dengan portofolio untuk kerja sama internasional, bantuan kemanusiaan, dan respons krisis sesuai dengan pasal 214 dan 196 dalam Perjanjian Lisabon di mana Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Sipil memiliki peran yang berkelanjutan. Nama resmi ECHO diubah menjadi Direktorat Jenderal Bantuan Kemanusiaan dan Perlindungan Sipil. Transformasi ECHO mencakup peralihan unit Perlindungan Sipil dari Ditjen Lingkungan ke Ditjen ECHO. Transformasi ini dianggap sebagai langkah maju untuk kerja sama dan pengambilan keputusan yang lebih baik di lapangan di mana reaksi cepat akan menyelamatkan jiwa. Mekanisme Perlindungan Sipil UE juga meresmikan pembentukan Pusat Koordinasi Respons Darurat (Emergency Response Coordination Centre/ERCC) baru, sebuah 'pusat' perlindungan sipil untuk memantau bencana dan meningkatkan kesiapan serta ketahanan negara-negara yang rawan terhadap bencana. Penggunaan mekanisme Perlindungan Sipil terbaru dapat dilihat pada saat terjadinya banjir di Bosnia-Herzegovina dan Serbia.[7] Mandat dan PrinsipDalam bidang bantuan kemanusiaan, mandat ECHO adalah memberikan bantuan dan dukungan darurat (dalam bentuk barang dan jasa) kepada korban konflik serta bencana alam atau bencana akibat manusia di luar UE. Mandat ini juga mencakup pencegahan bencana dan operasi pascakrisis. Bantuan kemanusiaan Eropa didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas, keadilan, dan kebebasan. Karena itu, penerapannya tergantung pada penerapan hukum kemanusiaan internasional (International Humanitarian Law/IHL).[8] Kemanusiaan berarti bahwa penderitaan manusia harus diatasi di mana pun ditemukan, dengan perhatian khusus pada yang paling rentan. Netralitas berarti bahwa bantuan kemanusiaan tidak boleh mendukung pihak mana pun dalam konflik bersenjata atau sengketa lainnya. Keadilan berarti bahwa bantuan kemanusiaan harus diberikan semata-mata atas dasar kebutuhan, tanpa diskriminasi. Kebebasan berarti bahwa tujuan kemanusiaan bebas dari tujuan politik, ekonomi, militer, atau tujuan lainnya. Pada tahun 2007, atas inisiatif dari Komisioner Louis Michel, Komisi Eropa mengadopsi "Konsensus Eropa Tentang Bantuan Kemanusiaan" sebagai teks referensi politik Eropa pertama tentang bantuan kemanusiaan.[9] Sejumlah LSM berpartisipasi aktif dalam menyusun Konsensus Eropa dan pedoman ini dianggap sebagai "teks yang paling komprehensif dan posisi umum yang paling dekat dengan LSM".[10] Konsensus Eropa menegaskan kembali prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas, keadilan, dan kebebasan. Konsensus ini juga menetapkan bahwa "bantuan kemanusiaan bukanlah alat manajemen untuk manajemen krisis". Pada tahun 2012, ECHO mengembangkan revisi Konsensus yang pertama sejak penetapannya, dengan menyorot kebutuhan akan kemitraan yang lebih kuat melalui pemilihan mitra berkualitas dan memastikan akuntabilitas terhadap warga negara dan pihak-pihak berkepentingan.[11] Selain itu pada tahun 2012, ECHO dan pendonor lainnya bekerja sama dengan Inter-Agency Standing Committee (IASC) untuk membuat Agenda Transformatif. Prinsip-prinsip kepemimpinan, akuntabilitas, dan koordinasi kemanusiaan disepakati untuk meningkatkan kecepatan, efisiensi, dan efektivitas respons kemanusiaan. Selain itu, perlindungan sipil diadopsi sebagai bagian dari mandat ECHO untuk memastikan kerja sama dan perlindungan yang lebih baik pada saat terjadinya bencana di negara-negara regional dan pihak ketiga serta organisasi internasional. Undang-UndangSejak Perjanjian Lisabon diberlakukan, aksi bantuan kemanusiaan Uni Eropa diatur menurut Pasal 214 dalam Perjanjian tentang Fungsi Uni Eropa.[12] Bantuan kemanusiaan adalah kompetensi paralel bersama: ini artinya Uni Eropa menjalankan kebijakan otonom, yang tidak mencegah Negara Anggota untuk melaksanakan kompetensinya atau tidak membuat kebijakan Uni Eropa hanya sebagai “pelengkap” bagi Negara Anggota.[13] Sebelumnya, bantuan didasarkan secara default pada Pasal 179 dalam Perjanjian EC (kebijakan pengembangan). Semula kebijakan ini merupakan bagian dari portofolio Komisioner Pengembangan, yang pertama adalah Louis Michel dan berikutnya Karel de Gucht selama Komisi Barroso I. Sejak Perjanjian Lisabon diperkenalkan, untuk pertama kalinya bantuan kemanusiaan menjadi kebijakan tersendiri dalam Perjanjian Uni Eropa. Seperti dijelaskan dalam pasal 214, operasi UE di bidang bantuan kemanusiaan ditujukan untuk menyediakan bantuan dan dukungan khusus bagi warga di negara pihak ketiga yang menjadi korban bencana alam atau bencana akibat manusia. Pasal 214 juga menegaskan kembali prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan, dengan mengacu pada hukum internasional, dan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, netralitas, serta nondiskriminasi.[14] Komisi mengesahkan undang-undang baru pada tahun 2013 tentang Mekanisme Perlindungan Sipil UE yang memberikan koordinasi dan dukungan lebih baik untuk meningkatkan efektivitas pencegahan, persiapan, dan sistem respons pada saat terjadinya bencana. Undang-undang ini menetapkan gabungan materi dan kapasitas respons relawan yang telah didedikasikan, jaringan pelatihan untuk personel cepat tanggap, dan pendekatan baru untuk manajemen risiko bencana dari 31 negara partisipan.[15] Perjanjian Lisabon juga memperkenalkan Korps Relawan Bantuan Kemanusiaan Eropa (Pasal 214 dalam Perjanjian tentang fungsi Uni Eropa), yang memungkinkan warga Eropa yang ingin terlibat langsung dalam aksi kemanusiaan untuk bergabung. RELAWAN BANTUAN UEKomisi Eropa menetapkan program untuk menciptakan lebih dari 18.000 posisi bagi warga negara untuk menjadi relawan dalam situasi kemanusiaan di seluruh dunia antara tahun 2015-2020. Program ini melatih relawan bersama-sama dalam program pelatihan Eropa sebelum disebar ke berbagai organisasi kemanusiaan resmi.[16] Dukungan finansial, yang memfokuskan pada pembangunan ketahanan dan kapasitas perlindungan sipil, disepakati untuk lima proyek percontohan yang melibatkan sekitar 150 relawan pada tahun 2012. Parlemen Eropa (European Parliament/EP) menyatakan dukungan terhadap program ini pada bulan Februari 2014. Posisi relawan mencakup penugasan ke operasi kemanusiaan yang didanai UE di seluruh dunia, bekerja di organisasi kemanusiaan di UE, atau membantu operasi secara online dari rumah.[17] LSM yang berpartisipasi menjalani proses sertifikasi untuk memastikan kesesuaiannya dengan standar Eropa untuk mengelola relawan. AnggaranPada tahun 2012, anggaran bantuan ECHO berjumlah €874 juta, kurang dari satu persen dari seluruh anggaran UE. Selain itu, Komisi Eropa menggunakan dana cadangan bantuan Darurat untuk merespons krisis dan bencana tak terduga. Anggaran dengan dana cadangan memiliki nilai total €1,35 miliar pada tahun 2012. Untuk bantuan kemanusiaan, ECHO memberikan bantuan kemanusiaan kepada lebih dari 120 juta orang di 90 negara non-UE, di mana 39 di antaranya dinyatakan dalam situasi krisis. Untuk perlindungan sipil, mekanisme perlindungan sipil diaktifkan 38 kali pada tahun 2012 untuk krisis di dalam dan di luar UE. Bagian dana terbesar adalah untuk makanan dan nutrisi (40,3%). Sektor kesehatan dan pengobatan (termasuk dukungan psikososial) (13,2%), Air dan Sanitasi (12%), Tempat Tinggal (7,7%), dan Perlindungan (7,6%) adalah sejumlah bidang utama lainnya dari aktivitas ini. ECHO mengalokasikan 5,5% dari anggaran 2012 untuk Persiapan bencana, menurun dari tahun 2010. Pada tahun 2012, Perlindungan Sipil menggunakan 2% dari anggaran. Pada tahun 2012, 51% anggaran diberikan ke Afrika; 20% ke Asia, Amerika Latin, Karibia, dan Pasifik; serta 20% ke Timur Tengah dan Mediterania. Bantuan pengembangan mencapai nilai bersejarah pada tahun 2010. Bersama dengan bantuan yang diberikan oleh masing-masing negara anggota, Uni Eropa menjadi pendonor bantuan terbesar di dunia. Dari €9,8 miliar bantuan kemanusiaan yang diberikan di seluruh dunia pada tahun 2010, 41%-nya diberikan oleh UE.[18] Anggaran yang direncanakan untuk tahun 2014 mendekati komitmen €1 miliar untuk bantuan kemanusiaan dan perlindungan sipil.[19] StrategiECHO memiliki mandat untuk menyelamatkan dan melindungi nyawa dalam situasi darurat dan situasi mendesak pascadarurat, yang disebabkan oleh alam atau manusia. Dengan mengikuti prinsip ini, Komisi berkomitmen untuk mempersiapkan dokumen Strategi setiap tahun guna mengkoordinasikan dan memprogram aktivitas secara efisien serta mengadopsi pendekatan yang adil berdasarkan pada kebutuhan. Pada tahun 2013, ECHO berencana untuk memfokuskan bantuan kemanusiaannya di hampir 80 negara. ECHO mengidentifikasi lima operasi kemanusiaan terbesar yakni wilayah Sahel di Afrika Barat, termasuk respons lebih lanjut terhadap konflik di Mali (€82 juta), Sudan dan Sudan Selatan (€80 juta), Republik Demokratik Kongo (€54 juta),Pakistan (€42 juta), dan Somalia (€40 juta). Selain itu, 52% dari bantuan kemanusiaan ECHO ditujukan untuk Afrika Sub-Sahara.[20] Anggaran cadangan dimanfaatkan untuk merespons krisis kemanusiaan besar di Suriah, Mali, Sahel, Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo, Myanmar, dan Topan Sandy. ECHO juga mendanai krisis yang terlupakan, misalnya di Bangladesh, Kolombia, Yaman, Aljazair, Pakistan, dan Myanmar. Opini PublikSurvei Eurobarometer khusus tentang bantuan kemanusiaan yang dilaksanakan pada tahun 2012 mengungkapkan tingginya rasa solidaritas di kalangan warga Eropa terhadap para korban konflik dan bencana alam di luar perbatasan mereka, di mana 9 dari 10 warga berpikir bahwa "penting sekali agar UE mendanai bantuan kemanusiaan di luar perbatasannya" dan 8 dari 10 warga percaya bahwa "aksi perlindungan sipil UE yang terkoordinasi lebih efektif daripada aksi masing-masing negara".[21] Pranala luar
Referensi
|