Share to:

 

Kongsi Laita

Logo GKPS

Kongsi Laita adalah salah satu gerakan swadaya masyarakat Kristen Simalungun yang didirikan pada tanggal 15 November 1931[1] di Sondi Raya (dekat Pamatang Raya) untuk mengabarkan Injil pada seluruh orang Simalungun yang masih memeluk agama suku. Kesuksesan gerakan ini turut memperluas daerah pelayanan Kongsi Laita dari Sondi Raya ke seluruh daerah Simalungun hingga akhirnya diakui sebagai satu seksi dalam HKBP Simalungun. Saat ini nama Kongsi Laita diabadikan sebagai nama satu Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Sondi Raya dan pekan lahirnya kongsi ini diperingati tiap tahunnya oleh GKPS sebagai Minggu Bapa (Bapak).

Kelahiran

Kesuksesan Comite Na Ra Marpodah Simalungun (gerakan orang Kristen-Simalungun untuk memajukan suku Simalungun melalui percepatan pengabaran Injil) dalam meningkatkan penyebaran Injil bagi orang Simalungun dengan digunakannya penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar (berlawanan dengan bahasa Batak Toba yang digunakan RMG,Rheinische Missions-Gesselschaft, gerakan pengabaran Injil dari Jerman), turut menumbuhkan semangat seluruh orang Kristen Simalungun di berbagai daerah untuk turut menyebarkan Injil, dan untuk itu diperlukan komunitas yang terorganisir.

Seusai kebaktian minggu pada tanggal 15 November 1931, beberapa orang Kristen-Simalungun dari Sondi Raya sepakat untuk mengadakan rapat di rumah Gomar Saragih untuk membentuk suatu organisasi pekabaran Injil. Rapat tersebut dihadiri oleh:[2]

  1. St. Parmenas Purba Tambak
  2. Gomar Saragih Sumbayak
  3. Guru Williamar Sumbayak
  4. St. Jonas Girsang
  5. Sekia Sumbayak

Malam itu didirikanlah Kongsi Laita dengan susunan kepengurusan:[3]

  • Ketua: Guru Williamar Sumbayak
  • Sekretaris/Bendahara: St. Parmenas Purba Tambak
  • Komisaris:
    • St. Jonas Purba
    • Melanthon Saragih
    • Mailam Purba

Selanjutnya pekan kelahiran Kongsi Laita ini diperingati sebagai "Minggu Bapa," di mana seluruh pelayanan di Gereja pada hari Minggu itu ditangani oleh anggota Seksi Bapa.

Etimologi

Kata "Kongsi" serupa artinya dengan "Parhasomanon" (bahasa Simalungun) atau "Vereeniging" (bahasa Belanda) yang merujuk pada organisasi yang memiliki kepengurusan dan keanggotaan. Namun tidak ada kewajiban atau iuran bagi anggota sebagaimana organisasi umumnya. Pendanaan bagi setiap kegiatan di dalamnya bersifat swadaya, didorong oleh perasaan berhutang dalam tiap anggota pada saudara-saudaranya yang masih beragama suku.[4]

Kata "Laita" dalam bahasa Simalungun berarti "ayo kita pergi." yang mencerminkan semangat dan dorongan untuk bergerak memberitakan Injil.

Motivasi

Sesuai dengan makna namanya, Kongsi Laita merupakan komunitas yang terdorong untuk memberitakan injil ke pada saudara-saudaranya untuk memberitakan Injil . Semangat penginjilan Kongsi Laita didasarkan pada perintah amanat agung Yesus Kristus dalam Alkitab, Matius 16:15.[5] Beberapa hal yang secara khusus memotivasi didirikannya Kongsi Laita pada komunitas Kristen Simalungun yaitu:[6]

  1. Banyaknya jumlah orang Kristen-Simalungun di Sondi Raya, 167 orang, sepertiga dari jemaat HKBP Pematang Raya. 4 orang di antaranya juga telah menjadi Sintua (St. Jonas Girsang, St. Jakobus Sinaga, St. Natanael Purba dan St. Parmenas Purba). Sejak 1926 telah diadakan kebaktian rumah tangga (partonggoan) mingguan di antara komunitas ini yang juga mengakomodasi anggota yang tak mampu lagi berjalan kaki ke HKBP Pematang Raya.
  2. Sejak awal sudah banyak anggota komunitas ini yang mengikuti pendidikan Volkschool yang dibuka di Pematang Raya pada tahun 1904 (J. Markus Damanik, Jason Saragih, T. Justin Saragih, Ferdinand Saragih, Benyamin Damanik, Melanthon Saragih dan Williamer Saragih) dan sejak kelulusannya pada tahun 1914 diangkat menjadi guru sekolah di berbagai tempat di Simalungun.
  3. Kebiasaan anggota komunitas ini mendiskusikan khotbah kebaktian minggu dalam perjalanan pulang dari HKBP Pematang Raya yang menimbulkan kesadaran bahwa mereka berkewajiban untuk membawa saudara-saudaranya yang masih beragama suku ke dalam agama Kristen.

Metode

Gerakan ini berusaha menyebarkan Injil dengan cara dan pendekatan yang memanfaatkan kultur Simalungun. Selain menggunakan bahasa Simalungun sebagai pengantar, komunitas ini juga menggunakan adat Simalungun dalam mengabarkan Injil. Sebelum berkunjung ke rumah orang yang hendak di-injili, diadakan acara pendahuluan berupa "manurduk demban sayur,"[7] atau menyajikan makanan adat "dayok na binator."[8] Dalam pengabaran Injil mereka mengganti istilah "zending" dengan istilah "Mangarah"[9] yang maknanya lebih mendalam bagi orang Simalungun.[10] Kedalaman hubungan dengan orang yang diinjili juga semakin dekat secara emosionil dengan "Martutur."[11][12]

Misi pekabaran Injil sangat diutamakan oleh komunitas ini sehingga terciptalah aturan kongsi (pati-patian ni kongsi) yang berbunyi: "Anggo marsahap ham atap ija pe pakon sada halak, gabe anggo marbuali ningon ma bani hata palimakababahkon mansahapkon hata ni Naibata. Siotikon anggo samah Kristen manungkun atap marminggu do ia. Anggo naso tinanda gabe sungkunon atap na dob marminggu do ia"[13] (bahasa Simalungun, artinya: Kalau anda berbicara dengan seseorang di mana saja, haruslah anda selipkan firman Tuhan pada kalimat kelima. Minimal kalau pada sesama orang Kristen menanyakan apakah dia mengikuti kebaktian minggu. Kalau dengan orang yang tidak dikenal hendaknya ditanyakan apakah ia sudah beragama Kristen).

Cabang-cabang

Kongsi-kongsi

Kesuksesan gerakan ini terbukti dengan cepatnya penyebaran gerakan ini. Pada periode 1931-1938, telah bediri cabang-cabang sebagai berikut:[14]

  • Kongsi Andohar Jadi, di Bahapal Raya.
  • Kongsi Panoguan, di Pamatang Raya.
  • Kongsi Andohar Sauhur, bagi kalangan namaposo (bahasa simalungun untuk pemuda-pemudi) Kristen.

Pos Pengabaran Injil

Sampai tahun 1938, sudah ada 23 pos pengabaran Injil yang didirikan gerakan ini di seluruh Simalungun: 8 pos di Raya, 3 di Purba, 2 di Dolog Silou, 1 di Nagoridolog, 1 di Raya Kahean, 1 di Sidamanik, 1 di Pematangsiantar, 1 di Panei, 1 di Mangadei, 1 di Sinaman/Sirpang Raya, dan3 di Silimahuta/Saribudolok.[15]

Pada ulang tahunnya ke 10, 15 November 1941, Kongsi Laita mengangkat 5 orang Evangelis (penginjil) sukarela yang digaji seadanya. 5 orang tersebut berlatarbelakang datu (dukun) yang telah dibaptis, yaitu:[16]

  • Luther Purba (ditugaskan ke Nagoridolog)
  • Murdi Purba (Sinaman/Bangun Mariah)
  • Petrus Sinaga (Nagori/Haranggaol)
  • Josep Sipayung (Saranpadang/Dolog Silou)
  • Boas Purba (Dalig Raya)

Pengakuan

RMG turut mengakui efektivitas gerakan ini saat salah seorang pengabar Injilnya, Ds. Volmer, memanggil gerakan ini ke daerah Purba pada tahun 1938 untuk mengimbangi pengaruh Roma Katolik yang saat itu memasuki Simalungun Atas.

Pdt. Djaulung Wismar Saragih Sumbayak, seorang tokoh kebangunan suku Simalungun, sangat mendukung kegiatan kongsi ini dengan mengadakan kebaktian-kebaktian Penelaahan Alkitab dalam tiap pertemuan pengurus - anggota Kongsi Laita yang biasa diadakan di HKBP Pematang raya.[17] Ia menekankan perlunya kerjasama agar suku bangsa Simalungun seluruhnya dapat maju melalui kekristenan.[18]

Dalam Sinode Bolon HKBP Simalungun pada tahun 1956, Kongsi Laita resmi diakui menjadi satu seksi dalam tubuh HKBP-S yang diberi nama Seksi Kongsi Laita dan memiliki cabang di tiap jemaat HKBP-S.[19]

Masa Sulit

Pada bulan Februari 1942, tentara penjajahan Jepang masuk ke Simalungun melalui Tanjung Balai dan Pantai Cermin sampai akhirnya kota Saribudolog diduduki pada tanggal 13 Maret 1942.[20] Ketatnya pengawasan Gunseibu dan Kempeitai terhadap kegiatan Gereja memaksa Kongsi Laita untuk menghentikan kegiatannya dalam mengabarkan injil ke daerah pelosok di Simalungun.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Susukkara 2006, Kolportase GKPS, 2006.
  2. ^ J.B. Saragih, Sejarah GKPS Sondi Raya, hlm.19.
  3. ^ Catatan J.D. Girsang dalam Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, "Tole! Den Timorlanden das Evangelium!", Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 190.
  4. ^ Juandaha Raya P. Dasuha, Martin Lukito Sinaga, Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!, Kolportase GKPS, 2003, hlm.190.
  5. ^ Catatan J.D. Girsang dalam Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, "Tole! Den Timorlanden das Evangelium!", Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 190.
  6. ^ Jan Jahaman Damanik, Kristus di Tengah-tengah Suku Simalungun, Jakarta, 2002, hlm. 49-50.
  7. ^ Manurduk demban sayur yaitu adat Simalungun yang memberikan selembar sirih yang dilengkapi pinang, gambir dan kapur pada orang yang hendak diajak berdialog untuk menunjukkan itikad baik.
  8. ^ Dayok na binatur, adalah makanan adat Simalungun yang selalu disertakan dalam setiap upacara/perhelatan adat Simalungun berupa ayam yang dimasak dan diatur sedemikian rupa berbentuk ayam yang hidup.
  9. ^ Mangarah (bahasa Simalungun) berarti mengajak seseorang ke arah yang baik, tidak pernah digunakan untuk hal negatif.
  10. ^ P. Saragih, Pekabaran Injil dalam Ambilan pakon Barita edisi Jubileum/September 1978, hlm. 41.
  11. ^ Martutur adalah saling menunjukkan hubungan kekerabatan dengan membicarakan asal-usul, marga dan kampung asalnya.
  12. ^ Wawancara dengan Ny. J.D. Girsang br. Sumbayak, Sondi Raya, 8 Januari 2003, dalam Juandaha Raya P. Dasuha, Martin Lukito Sinaga, Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!, Kolportase GKPS, 2003, hlm.191.
  13. ^ J.B. Saragih, Sejarah GKPS Sondi Raya, hlm. 20.
  14. ^ I.B. Ansjwijk Sumbayak, Kongsi Laita dalam Sinalsal, Oktober 1941, hlm.2-5.
  15. ^ Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, "Tole! Den Timorlanden das Evangelium!", Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 194.
  16. ^ Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, "Tole! Den Timorlanden das Evangelium!", Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 195
  17. ^ Jan Jahaman Damanik, Tunggul yang Bertunas (Thesis Magister Theologia STT HKBP), Pematangsiantar, 1995, tidak diterbitkan, hlm. 109.
  18. ^ J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan Pdt. J. Wismar Saragih (Marsinalsal), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1977, hlm. 71.
  19. ^ P. Saragih, Partisipasi Warga Gereja dalam Pekabaran Injil dalam Ambilan pakon Barita GKPS, September/1978, hlm. 42.
  20. ^ Jasamen Saragih, The Impact of Christianization in Simalungun, 1903-1906 (Tesis Magister of Arts University of Sydney), 1979, hlm. 111.
Kembali kehalaman sebelumnya