Korps Marechaussee te Voet
Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Kekaisaran Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Awalnya Korps Marechaussee te Voet atau Marsose di Belanda dibentuk pada 26 Oktober 1814 oleh Pemerintah Belanda berdasarkan dekrit no 48.[1] Pencetus Pasukan Marsose adalah Mohamad Syarif yang berasal dari Minangkabau.[2] Marsose juga disebut sebagai tentara bayaran yang dalam istilah bahasa Inggris disebut mercenaries. Selain itu, pasukan ini populer dengan sebutan soldier of fortune yang artinya sebuah kesatuan prajurit yang disewa untuk memenangkan peperangan. Dalam kasus ini, marsose tidak memperdulikan siapa lawannya, baik itu pribumi atau orang asing. Terpenting adalah mereka mengabdi dengan sepenuh hati untuk orang yang membayar mereka. Maka dari itu, marsose adalah jawaban atas kesulitan Hindia Belanda dalam melumpuhkan perlawanan masyarakat Aceh pada saat itu.[3] Korps ini resmi diterjunkan di Aceh pada tanggal 20 April tahun 1890 untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu juga membantu dalam tugas kemiliteran.[4] Marsose tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda. Peran Marsose di Aceh mirip dengan infanteri atau pasukan jalan kaki dengan kemampuan kontra-gerilya yang merupakan cara yang paling cocok untuk melawan gerilyawan Aceh.[1] Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Si Singamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Si Singamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.[5] Korps Marsose dikomandoi oleh seorang kapten dibantu seorang letnan dan 12 sersan Eropa. Prajuritnya terdiri dari orang-orang bumiputera yang ditransfer dari KNIL berkekuatan 204 personil,m”[6] Pasukan kecil ini beroperasi dengan beranggotakan 18 personil di setiap unit brigadenya. Keunggulannya dalam pertempuran yang terkenal adalah tidak bergantung pada suplai logistik, tidak bergantung pada angkutan militer serta terbiasa jalan kaki, tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan senjata tajam seperti klewang untuk menghabisi lawannya dalam jarak dekat, memiliki daya gempur yang dahsyat, memiliki daya tahan yang tinggi di berbagai medan, memiliki kemampuan bertempur yang kuat dibanding pasukan biasa, dan merupakan unit infanteri dengan mobilitas tinggi. Tugasnya adalah mencari, mengejar, dan menghancurkan kelompok gerilyawan Aceh di perbukitan, pegunungan, hutan belukar, lembah-lembah pedalaman yang luas.[7] Didalam Korps Marsose juga terdapat sebuah unit baru bernama Kolone Macan yang didirikan di Cimahi, Jawa Barat. Unit pasukan khusus ini terdiri dari orang Ambon, dan orang Manado yang sangat beringas, kejam, jago berkelahi. Cara kerjanya lebih kejam dari unit lainnya, sehingga di juluki pembunuh berdarah dingin. Pada 1904 pasukan ini sudah membantai sebanyak 2.549 orang di Kampung Kute Reh, Badek, Cane Uken Tungul, Penosan, Tampeng, Likat dan Kute Lengat Baru.[8] IdentitasMohammad Syarif atau Arif Putera Minangkabau, jaksa kepala di Kutaraja, Aceh yang mendukung Belanda, adalah Pencetus atau yang mengusulkan Pembentukan Korps Marsose.[9] Korps Marsose pada awalnya terdiri dari 1 divisi (12 brigade) dengan masing-masing brigade terdiri dari 20 orang Ambon dan Jawa. Pada 1897 meningkat menjadi 2 divisi. Menjadi 5 divisi pada 1899. Total pasukan Marsose berjumlah 1.200 orang, terdiri dari orang Belanda, Perancis, Swiss, Belgia, Afrika, Ambon, Manado, Jawa, Madura, Sunda, Bali, Bugis, Nusa Tenggara, juga beberapa orang Nias dan Timor. Komandan marsose yang terkenal bengis dan sering membantai rakyat Aceh adalah Hans Christoffel yang berasal dari Swiss. Pada saat kepemimpinannya, pasukan terbaik marsose dikumpulkan untuk melakukan kekejaman terhadap rakyat Aceh. Pada leher baju tentara marsose dipilih simbol jari-jari berdarah dan melilitkan sapu tangan merah sebagai tanda bahwa pasukannya lebih berani dan kejam. Christoffel menyebut pasukannya sebagai kolone macan (Tijger Colonne).[10] SenjataSenjata yang digunakan oleh pasukan ini adalah bedil pendek (karaben). Selain itu, ada juga senjata tajam tradisional khas penduduk setempat yang dipakai, seperti klewang dan rencong. Pasukan ini tidak tergantung pada jalur suplai logistik dan angkutan militer, malah sudah terbiasa berjalan kaki. Karakter berani yang dimiliki dalam bertempur adalah tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan senjata tajam tradisional klewang yang diandalkan untuk menghabisi lawan dari jarak dekat. Penggunaan senjata tajam sangat membantu prajurit khusus ini sehingga bisa membunuh lawan tanpa bergaduh dan membuang-buang peluru.[11] Rujukan
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Korps Marechaussee te Voet. |