Di nu kiwari ngancik nu bihari, seja ayeuna sampeureun jaga (Sunda) Segala hal di masa kini adalah pusaka masa silam, dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan[1]
Kota Bogor dikenal dengan julukan Kota Hujan, karena memiliki curah hujan yang lumayan sangat tinggi. Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah 68 kelurahan. Pada masa Kolonial Hindia Belanda, Kota Bogor dikenal dengan nama Buitenzorg yang berarti tanpa kecemasan atau aman tentram.
Sejarah
Kerajaan Tarumanagara
Pada awal abad ke-5 Masehi, Kota Bogor merupakan pusat Kerajaan Tarumanagara dengan raja yang bernama Purnawarman.[5] Beberapa kerajaan lainnya lalu memilih untuk bermukim di tempat yang sama dikarenakan daerah pegunungannya yang secara alamiah membuat lokasi ini mudah untuk bertahan terhadap ancaman serangan, dan di saat yang sama adalah daerah yang subur serta memiliki akses yang mudah pada sentra-sentra perdagangan saat itu.
Kerajaan Sunda
Di antara prasasti-prasasti yang ditemukan di Kota Bogor tentang kerajaan silam, salah satunya adalah prasasti Batutulis menceritakan kekuasaan Prabu Surawisesa dari Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda yang memiliki ibukota di Pajajaran diyakini terletak di Kota Bogor, dan menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi yang dinobatkan pada 3 Juni 1482. Hari penobatannya ini diresmikan sebagai Hari Jadi Kota Bogor dan Kabupaten Bogor pada tahun 1973 dan diperingati setiap tahunnya hingga saat ini.
Zaman Kolonial Belanda
Setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakuan hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeeck pada tahun 1687. Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.
Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Jakarta dengan Bogor. Bogor direncanakan sebagai sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang.
Setahun kemudian, van Imhoff menggabungkan 9 distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan yang disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg.
Di kawasan itu van Imhoff kemudian membangun sebuah Istana Gubernur Jenderal. Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.
Pada masa pendudukan Inggris, yang menjadi Gubernur Jendralnya adalah Thomas Stamford Raffles, beliau cukup berjasa dalam mengembangkan Kota Bogor, dimana Istana Bogor direnovasi dan sebagian tanahnya dijadikan Kebun Raya (Botanical Garden), beliau juga mempekerjakan seorang arsitek yang bernama Carsens yang menata Bogor sebagai tempat peristirahatan yang dikenal dengan Buitenzorg.
Pada tahun 1903, terbit Undang-undang Desentralisasi yang bertujuan menghapus sistem pemerintahan tradisional diganti dengan sistem administrasi pemerintahan modern sebagai realisasinya dibentuk Staadsgemeente diantaranya adalah:
1. Gemeente Batavia (S. 1903 No.204)
2. Gemeente Meester Cornelis (S. 1905 No.206)
3. Gemeente Buitenzorg (S. 1905 No.208)
4. Gemeente Bandoeng (S. 1906 No.121)
5. Gemeente Cirebon (S. 1905 No.122)
6. Gemeente Soekabumi (S. 1914 No.310)
(Regerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1928 : 746-748)
Pembentukan Gemeente tersebut bukan untuk kepentingan penduduk Pribumi tetapi untuk kepentingan orang-orang Belanda dan masyarakat Golongan Eropa dan yang dipersamakan (yang menjadi Burgermeester atau Wali kota dari Staatsgemeente Buitenzoorg selalu orang-orang Belanda dan baru tahun 1940 diduduki oleh orang Bumiputra yaitu Mr. Soebroto).
Pada tahun 1922 sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap peran desentralisasi yang ada, maka terbentuklah Bestuursher Voorings Ordonantie atau Undang-undang perubahan tata Pemerintahan Negeri Hindia Belanda (Staatsblad 1922 No. 216), sehinga pada tahun 1922 terbentuklah Regentschaps Ordonantie (Ordonantie Kabupaten) yang membuat ketentuan-ketentuan daerah Otonomi Kabupaten (Staatsblad 1925 No. 79).
Provinsi Jawa Barat dibentuk pada tahun 1925 (Staatsblad 1924 No. 378 bij Propince West Java) yang terdiri dari 5 Keresidenan, 18 Kabupaten (Regentscape) dan Kotapraja (Staads Gemeente), dimana Buitenzorg (Bogor) salah satu Staads Gemeente di Provinsi Jawa Barat di bentuk berdasarkan (Staatsblad 1905 No. 208 jo. Staatsblad 1926 No. 368), dengan prinsip Desentralisasi Modern, dimana kedudukan Burgermeester menjadi jelas.
Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pemerintahan di Kota Bogor menjadi lemah karena pemerintahan dipusatkan pada tingkat keresidenan yang berkedudukan di Kota Bogor, pada masa ini nama-nama lembaga pemerintahan berubah namanya yaitu: Keresidenan menjadi Syoeoe, Kabupaten/Regenschaps menjadi Ken, Kota/Staads Gemeente menjadi Si, Kewedanaan menjadi/Distrik menjadi Gun, Kecamatan/Under Districk menjadi Soe dan desa menjadi Koe.
Setelah kemerdekaan
Pada masa setelah kemerdekaan, yaitu setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, terjadi upaya pemisahan secara lebih tegas antara pemerintahan kota dengan kabupaten di Bogor, terlebih setelah peleburan Kawedanan Jonggol pada 1938 (kemudian dibubarkan total pada tahun 1963 berdasarkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 1963)[6] menjadi otonomi dibawah kabupaten, membuat nomenklatur Kota Bogor berubah namanya menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarakan Udang-undang Nomor 16 Tahun 1950.[7]
Selanjutnya pada tahun 1957 nama pemerintahan berubah menjadi Kota Praja Bogor, sesuai dengan Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1957, kemudian dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 berubah kembali menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1995,[8] terjadi pemekaran wilayah Kotamadya Bogor yang menyebabkan perubahan batas-batas wilayah antara Kabupaten dan Kotamadya, beberapa desa dari kecamatan sekitar yang menjadi bagian Kotamadya Bogor adalah:
Kecamatan Ciomas (masih berdiri hingga kini), dari 25 desa yang ada terdapat 6 desa masuk ke wilayah Kotamadya Bogor (1995), antara lain:[9]
Desa Cikaret
Desa Pasir Jaya
Desa Pasir Kuda
Desa Pasir Mulya
Desa Gunung Batu
Desa Loji
Kecamatan Dramaga (masih berdiri hingga kini), dari 15 desa yang ada terdapat 5 desa masuk ke wilayah Kotamadya Bogor (1995), antara lain:
Desa Sindang Barang
Desa Bubulak
Desa Margajaya
Desa Balumbang Jaya
Desa Situ Gede
Kecamatan Semplak (dihilangkan status kecamatannya, sebagian wilayah menjadi bagian Kec. Bogor Barat, Tanah Sareal, Kemang, dan Sukaraja), dari 21 desa yang ada terdapat 10 desa masuk wilayah Kotamadya Bogor (1995), antara lain:[10][11]
Desa Cilendek Barat
Desa Cilendek Timur
Desa Curug
Desa Curug Mekar
Desa Semplak
Desa Kayu Manis
Desa Mekar Wangi
Desa Kencana
Desa Sukadamai
Desa Sukaresmi
Kecamatan Kedung Halang (dihilangkan status kecamatannya, sebagian wilayah menjadi bagian Kec. Bogor Utara, Bogor Timur, Tanah Sareal, dan Sukaraja), dari 19 desa yang ada terdapat 8 desa masuk wilayah Kotamadya Bogor (1995), antara lain:[12]
Desa Katulampa
Desa Cimahpar
Desa Tanah Baru
Desa Ciluar
Desa Ciparigi
Desa Kedung Halang
Desa Kedung Badak
Desa Kedung Waringin
Kecamatan Ciawi (masih berdiri hingga kini), dari 24 desa yang ada terdapat 11 desa masuk ke wilayah Kotamadya Bogor (1995), antara lain:[13]
Desa Cipaku
Desa Pakuan
Desa Tajur
Desa Sindangrasa
Desa Sindangsari
Desa Muarasari
Desa Harjasari
Desa Bojongkerta
Desa Rancamaya
Desa Kertamaya
Desa Genteng
Kecamatan Cijeruk (masih berdiri hingga kini), dari 21 desa yang ada terdapat 3 desa masuk ke wilayah Kotamadya Bogor (1995), antara lain:
Desa Mulyaharja
Desa Ranggamekar
Desa Pamoyanan
Dengan diberlakukanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor diubah menjadi Kota Bogor.[14] Hal ini juga berlaku pada seluruh wilayah lainnya yang ada di Indonesia.
Geografis
Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT–106°51’00”BT dan 6°30’30”LS – 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 km.
Seperti wilayah lain di Indonesia, Bogor memiliki iklim tropis dengan tipe Hutan Hujan Tropis. Kondisi iklim di Kota Bogor suhu rata-rata tiap bulan 26 °C dengan suhu terendah 21,8 °C dan suhu tertinggi 30,4 °C.
Kelembaban udara ≥70%, curah hujan rata-rata setiap tahun di Kota Bogor sangatlah tinggi, yaitu sekitar 3.500–4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Januari, karenanya Kota Bogor dijuluki sebagai "Kota Hujan".[15]
Kota Bogor memiliki 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Pada tahun 2022, jumlah penduduknya mencapai 1.114.018 jiwa dengan luas wilayah 118,50 km² dan sebaran penduduk 10.001 jiwa/km².[19][20]
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kota Bogor, adalah sebagai berikut:
The New American Cyclopaedia pada 1867 melaporkan bahwa Buitenzorg (nama Bogor pada saat itu) memiliki populasi sebesar 320.756, termasuk 9.530 Etnis Tiongkok, 650 Etnis Eropa, and 23 Etnis Arab.[22]
Menurut sensus nasional yang dilakukan pada Mei-Agustus 2010, terdapat 949.066 orang yang tercatat sebagai penduduk di Bogor. Rata-rata kepadatan penduduk adalah sekitar 8.000 orang per km2.[23]
Bahasa utama yang digunakan di Kota Bogor adalah bahasa Sunda dialek Bogor dan penggunaannya meliputi seluruh wilayah Kota Bogor.[25] Di bagian utara, tepatnya di beberapa kelurahan dalam lingkup kecamatan Tanah Sareal, bahasa Sunda dan bahasa Betawi digunakan secara bersamaan dan dianggap sebagai wilayah peralihan bahasa.[26][27]
Selain itu, Kota Bogor juga memiliki 1 stasiun yang sudah berhenti beroperasi, 3 stasiun KA Pangrango, 1 stasiun KRL Commuter Line, dan 1 stasiun LRT Jabodebek yang sedang dalam usulan, yaitu:[29]
^"Tepas Salapan Lawang Dasakerta". Pemerintah Kota Bogor. 2016-12-07. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-29. Diakses tanggal 2021-12-29. Sedangkan di puncaknya tertulis semboyan ‘Di nu kiwari ngancik nu bihari, seja ayeuna sampeureun jaga’.