Kritik kanonikKritik kanonik atau disebut juga Kritik kanon adalah salah satu metode atau pendekatan yang dipakai dalam menafsir Alkitab berdasarkan teks Alkitab yang sudah jadi dalam tradisi Kristen.[1][2][3] Kritik Kanon selalu merujuk pencetusnya, yaitu Brevard S. Child.[2][4] Pendekatan atau kritik kanonik hanya berfokus pada teks yang sudah jadi pada Alkitab sebagai produk akhir.[3][5] Brevard Childs sendiri sebenarnya menolak pemakaian kritik ini tanpa didampingi kritik lain[5] Cara Membaca Alkitab dengan Kritik KanonikSifat dari kritik ini adalah sinkronik, setiap kata dicari maknanya pada konteks pembaca saat ini.[1] Pertimbangannya adalah bahwa Alkitab yang sudah dikanonisasi tersebut memiliki arti sendiri dalam dunia pembaca secara otonom.[1] Bagi Childs, Alkitab Perjanjian Lama memiliki kebenaran yang berbeda antara yang terdapat pada umat Israel dan umat masa kini yang berada di berbagai penjuru dunia.[2][4] Jadi kebenaran dalam masa Musa misalnya, tidak pernah sama benarnya pada abad modern.[4] Sebagai contoh, pesan dari 2 Kitab Tawarikh yang mengisahkan tentang kembalinya umat Israel ke Yerusalem untuk membangun Bait Allah kembali, berbeda dengan pesan dalam Kitab Maleakhi tentang nabi Elia yang menyerukan kedatangan hari Tuhan, padahal peristiwa yang diceritakan sama.[3] Kritik Kanonik tidak mempertimbangkan arti setiap kata yang berubah-ubah sesuai perkembangan zaman mulai dari terbentuknya Alkitab hingga saat ini, atau yang sering kita sebut proses diakronik.[1] Kritik ini sama sekali tidak mempertimbangkan kritik sejarah yang ada di balik peristiwa dalam Alkitab.[1] Pendekatan Kritik Kanonik adalah menarik pesan dari teks tertentu tanpa dapat dipisahkan dari teks-teks lain, setiap pesan tidak boleh bertentangan dengan kebenaran Alkitab secara keseluruhan.[1] Misalnya cara membaca Alkitab dalam Perjanjian Baru harus juga diterangi dengan pesan yang didapat dari membaca Perjanjian Lama atau sebaliknya.[1] Alkitab sebagai buku suci memiliki dayanya tersendiri terlepas dari sejarah dan konteks penulisannya.[1] Sejarah Kritik KanonikAgustinus, seorang bapa gereja abad 4-5 (354-430) telah memulai memakai kritik kanonik.[1] Cara tersebut diperbolehkan karena ia percaya bahwa Allah dapat berfirman secara langsung, atau menyatakan kehendak-Nya melalui Alkitab yang sudah jadi itu kepada umat-Nya.[1] Relasi antara teks dan pembaca sangat mempengaruhi hasil tafsir akhirnya, artinya konteks pembaca lebih dominan dalam menghasilkan tafsiran.[1] Kewibawaan Alkitab dalam Kritik Kanonik ini, Akitab diibaratkan sebagai kendaraan untuk mengenal Allah.[1] Menurut John Van Seters mengatakan bahwa Origenes (abad 6) pernah mengusulkan kritik teks atau filologi dalam menafsir Alkitab, hal ini senada dengan Kritik Kanonik.[4] Kritik Kanon memang dikembangkan oleh Brevard S. Childs tahun 1970-an, namun dia sendiri sebenarnya memraktikkan kritik sejarah dan kritik kanonik dalam menafsir Alkitab.[2][4] Satu-satunya aspek penting dari Kritik Kanonik adalah, bahwa firman Allah memiliki relasi yang kuat dengan umat beriman, komunitas yang dibentuk Allah sendiri dalam sejarah.[4] Melalui Alkitab yang kita pegang sekarang, Allah sanggup menyatakan dirinya kepada umat manusia.[2] Lihat pulaReferensi
|