Kuil Buddhis KoreaKuil Buddha Korea merupakan bagian dari arsitektur dan aspek seni Buddhis yang berkembang di Korea.[1] Buddhisme merupakan agama yang terbesar dianut bangsa Korea selama ribuan tahun. Kuil Buddha Korea yang berkaitan erat dengan lingkungan alam di sekitarnya menciptakan suatu bentuk estetika visual seni khas Korea. Kuil Buddha Korea biasanya diberi nama dengan akhir kata sa (寺) yang berarti “kuil Buddha”.[2] Sebagian besar Kuil Buddha Korea terlibat dalam program Tinggal di Kuil (bahasa Inggris: Templestay), yang memungkinkan pengunjung untuk merasakan budaya Buddha dan bahkan menginap semalam di kuil tersebut. SejarahArsitektur Korea dimulai dengan transfer budaya dari daratan Tiongkok. Aspek-aspek arsitektur Tiongkok di Korea berkembang dengan elemen-elemen asli, dikembangkan dan dibina selama berabad-abad sehingga menciptakan keunikan tersendiri. Praktik Buddhisme di Korea telah dimulai sejak abad ke-4 Masehi pada periode Tiga Kerajaan (57 SM-668 M).[1] Perkembangan Buddhisme dalam jangka waktu yang sangat panjang ini membuatnya menyerap unsur-unsur kepercayaan asli setempat yang lebih lama berakar. Tiga Kerajaan mendukung Buddhisme sebagai agama resmi dan aktif membangun kuil-kuil Buddha.[3] Pada Periode Silla Bersatu (668-935) seni Buddha yang paling bermutu diciptakan bersamaan dengan pendirian kuil-kuil, pagoda, arca dan menara genta.[1] Mengingat Semenanjung Korea merupakan kawasan yang rawan penyerbuan dan perang, sisa arsitektur dari zaman ini hampir-hampir tidak ada yang tersisa. Kuil-kuil besar Baekje runtuh di saat pendudukan Silla. Penggalian arkeologis berhasil mendapatkan informasi tentang jejak kuil penting di Baekje seperti Kuil Jeongrim, Kuil Mireuk dan Kuil Wangheung. Kuil Buddha zaman Baekje, Silla, atau Goguryeo yang kini masih berdiri merupakan pembangunan kembali dari periode Goryeo dan Joseon. Periode Goryeo dan Joseon pun tak lepas dari invasi bangsa asing. Periode terparah terhadap penghancuran arsitektur kemungkinan terjadi ketika Invasi Mongol ke Goryeo yang melanda sebagian besar semenanjung, sehingga konon tak ada satu pun bangunan kayu yang luput dari amukan pasukan Mongol. Kuil Hwangryong yang amat besar juga musnah oleh penyerbuan Mongol. Kuil-kuil besar pada zaman kuno menunjukkan dukungan besar dari penguasa kepada Buddhisme. Walau dianggap lenyap dari semenanjung Korea, arsitektur Tiga Kerajaan, terutama Baekje ternyata terpelihara di Jepang.[4] Penyebaran agama Buddha di Jepang pertama kali dilakukan oleh paderi asal Baekje. Imigran-imigran Baekje yang terampil telah dipekerjakan untuk membangun kuil-kuil Buddha di Jepang. Keluarga Kongo dari Baekje diundang oleh Pangeran Shotoku untuk membangun Kuil Horyuji di Nara, hingga kini dianggap sebagai salah satu dari bangunan kayu tertua di dunia yang masih berdiri. Penelitian lain menunjukkan adanya kaitan kuat antara arsitektur Korea kuno dengan kuil lain di Jepang seperti Kuil Asuka dan Shitennō-ji. Seni dan arsitektur Buddhis berlanjut pada periode Goryeo (918-1392). Sebagian besar kuil Buddha yang tersisa telah direnovasi mengikuti perkembangan zaman. Kehidupan religi terkonsentrasi pada kuil-kuil ini. Di antara yang terpenting adalah Kuil Bulguk di Gyeongju.[3] Tiga kuil besar lain dianggap sebagai perlambang tiga ratna-–"Buddha, dharma, dan sangha".[3] Buddha dilambangkan dengan Kuil Tongdo (Busan) yang menyimpan relik Sakyamuni dalam stupa. Korea menyerap arsitektur Buddhis Tiongkok, dimana stupa telah berbentuk pagoda. Kuil Haein yang melambangkan dharma memiliki perpustakaan yang menyimpan teks-teks suci.[3] Kuil Songgwang dibuat sebagai lambang sangha. Arsitektur Buddhis Korea memiliki keunikan tersendiri dan cenderung didekorasi dengan lebih rumit dibanding bangunan berarsitektur khas Konfusianisme. Ia telah menyerap unsur kepercayaan Korea kuno ke dalamnya. Walau Kristiani telah mendapatkan banyak pengikut di Korea dan banyak tempat ibadah Kristen dibangun, arsitektur-arsitektur Buddhis merupakan mayoritas situs warisan budaya yang dilindungi pemerintah di seluruh negeri. Pada tanggal 2 Juli 2018, komplek kuil-kuil gunung Korea yakni Bongjeongsa, Seonamsa, Daeheungsa, Beopjusa, Magoksa, Tongdosa, Buseoksa ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO karena nilai-nilai historis yang dimilikinya.[5] Kuil-kuil gunungSebagian besar kuil Buddha didirikan di kawasan pegunungan karena gunung dianggap sebagai lambang spiritual kuil itu sendiri.[2] Penempatan di wilayah yang lebih tinggi ini dikarenakan faktor politik - sosial, geomansi dan kepercayaan lokal. Sejak lama bangsa Korea menghormati gunung sebagai tempat keramat, tempat bersemayamnya dewata-dewata gunung. Tradisi memilih lokasi yang strategis untuk mendirikan bangunan (geomansi), juga amat dipengaruhi oleh keberadaan gunung. Kondisi geografi Korea memungkinkan dipraktekkannya geomansi.[2] Terdapat tiga jenis kuil Buddha berdasarkan lokasinya, yaitu di dataran rendah, pegunungan dan gua.[2] Pada awal berkembangnya Buddhisme sebelum Joseon, kuil-kuil didirikan di pusat kota atau pemukiman dengan dukungan dari pemerintah.[2] Pada periode Joseon ketika Buddhisme mulai ditekan, para pemuka agama mundur ke daerah yang lebih jauh dari pusat kota. Saat ini, kuil-kuil sebagian besar masih berdiri di kawasan pegunungan, hanya sedikit tersisa kuil Buddha di kawasan perkotaan. Kuil Buddha di pegunungan atau lembah dibangun mengikuti geomansi dan pengaruh Zen dan merupakan kategori terbanyak. ArsitekturArsitektur tradisional Korea dirancang dengan fokus pada bagian tengah yang empat sisinya dibatasi oleh bangunan.[2] Penempatan kuil didesain sedemikian rupa dengan menara genta yang berada pada sisi selatan dan pintu masuk di bawahnya. Bangunan yang terpenting, balairung rupang Buddha ditempatkan di sisi utara. Bangunan kuil lain ditaruh di sisi kiri dan kanan. Konstruksi seperti ini diyakini meniru bentuk gunung yang mengelilingi kompleks kuil. Bangunan dalam komplek kuil umumnya berupa tempat ibadah, tempat tinggal, ruang meditasi, ruang belajar dan kuil-kuil dewa gunung.[2] Seseorang yang hendak memasuki komplek setidaknya harus melewati bagian-bagian yang diatur sedemikian rupa.[1] Gerbang pertama untuk masuk ke kuil disebut ”gerbang tunggal” (iljumun). Gerbang kedua dibuat untuk patung empat dewa langit (cheonwang) yang membawa masing-masing alat khusus di tangannya sebagai pelindung kuil.[1] Patung-patung ini biasanya diukir dari kayu yang dilukis. Setelah gerbang empat dewa, bertemulah dengan gerbang menara genta. Gerbang ini umumnya digunakan sebagai tempat menggantung empat instrumen; genta perunggu, bedug, gong serta kentongan kayu berbentuk ikan.[1] Selanjutnya di depan halaman utama kuil terdapat balai agung yang menjadi bagian terutama komplek. Balai agung merupakan pusat peribadatan, di dalamnya terdapat rupang Sakyamuni maupun Vairocana atau tokoh-tokoh lain.[1] Di belakang rupang terdapat lukisan gulung bertema buddhis (thaenghwa). Di salah satu sisi dinding bangunan utama terdapat lukisan dewa penjaga berwujud jenderal.[1] Di luar kuil biasanya dibangun suatu kompleks kecil sebagai bentuk penghormatan bagi dewa gunung (sansin), menandakan Buddhisme telah bersanding lama dengan kepercayaan lokal.[6] Bangunan kuil direnovasi secara berkala, kayu yang baru menggantikan kayu lama yang telah rusak.[1] Tiang dan balok disambungkan bersama menggunakan sistem breket yang juga dapat dilepaskan kembali untuk proses rekonstruksi. Tiang dan balok diwarnai dengan teknik dancheong yang berwarna merah, hijau, kuning dan biru. Bagian atap ditutup dengan genting berwarna gelap. Lekuk genting yang menurun di bagian tengah lalu naik sedikit pada bagian ujung melambangkan garis lekuk gunung-gunung yang mengelilingi kuil. Di sisi lain balai agung terdapat bangunan tambahan bernama “bangunan penghakiman” berisi patung tokoh neraka yang menghakimi orang setelah kematiannya. Di sini juga berisi catatan kematian. Bangunan lain berisi lukisan tokoh paderi zen yang memimpin kuil pada masa lalu.[1] Referensi
|