Kuk NormanKuk Norman adalah istilah yang mengacu kepada aspek-aspek zalim dari feodalisme di Inggris, yang erat dikait-kaitkan dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan William Penakluk, Raja Inggris pertama dari bangsa Norman, dan anak buahnya, maupun anak-cucu mereka. Istilah ini digunakan di dalam wacana-wacana nasionalisme dan demokrasi di Inggris sejak pertengahan abad ke-17. SejarahPetawarikh Abad Pertengahan, Orderikus Vitalis, menulis di dalam risalahnya, Sejarah Gerejawi, bahwa orang Norman memikulkan kuk ke atas pundak orang Inggris: "Maka orang Inggris pun menjerit lantaran hilang kemerdekaannya, dan tak jemu-jemu mencari daya upaya untuk menghempaskan kuk yang sedemikian tak tertanggungkan lagi asing bagi mereka."[1] Risalahnya yang ditulis lebih belakangan, tentang masa pemerintahan Raja Henry I dan situasi negeri Inggris lima puluh tahun sesudah ditaklukkan bangsa Norman, bernada lebih positifː "Raja Henry memerintah negeri ... dengan adil dan bijaksana melewati untung maupun malang. ... Baginda berlaku santun dan bermurah hati kepada para pembesar. Baginda menyantuni rakyat jelata dengan mengundangkan hukum-hukum yang adil, serta melindungi mereka dari pemalak dan penyamun."[2] Istilah "kuk Norman" yang bermuatan budaya ini pertama kali muncul di dalam sebuah karya sastra apokrip yang diterbitkan pada tahun 1642 di tengah-tengah kecamuk Perang Saudara Inggris dengan judul Cermin Hakim-Hakim, terjemahan dari Mireur a justices, sekumpulan fabel politik, kehakiman, dan budi pekerti yang ditulis pada abad ke-13 dalam bahasa Prancis Norman-Inggris, kendati diduga baru dikumpulkan dan disunting pada awal abad ke-14 oleh Andrew Horn, seorang sarjana kenamaan di bidang ilmu hukum.[3] Meskipun sudah bukan rahasia lagi bagi orang-orang yang hidup pada abad ke-14 bahwa buku itu adalah sebuah karya fiksi, ketika diterbitkan pada tahun 1642, Cermin Hakim-Hakim disajikan dan diterima sebagai fakta sejarah. Para kritikus pengusung gagasan kuk Norman sering kali mengedepankan Raja Alfred Agung atau Raja Edward Pengaku Iman sebagai cerminan keadilan. Dalam konteks semacam ini, Magna Carta dipandang sebagai ikhtiar untuk memulihkan hak-hak yang dinikmati bangsa Inggris sebelum ditaklukkan bangsa Norman, sekalipun hanya untuk tuan-tuan tanah. Ketika memperbaiki tatanan kehakiman Inggris, Sir Edward Coke suka mengeluarkan pernyataan bahwa asas-asas hukum adat Inggris melampaui ingatan maupun catatan awal mana pun dan mendahului penaklukan bangsa Norman, sekalipun ia tidak menggunakan frasa "kuk Norman". Gagasan kuk Norman mencitrakan kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah Inggris sebagai keturunan bangsa asing yang datang merenggut dan merusak zaman kegemilangan bangsa Saksen-Inggris. Fikrah semacam ini sangat kuat gaungnya di kalangan masyarakat yang lebih miskin di Ingris. Sekalipun Edward Coke, John Pym, Lucy Hutchinson, dan Sir Henry Vane memandang hak-hak Magna Carta lebih sebagai hak-hak golongan berharta, argumen-argumen tersebut juga dicuatkan dengan nada lebih radikal pada masa krisis konstitusional yang berlarut-larut pada abad ke-17 di Inggris dan Skotlandia. Pihak-pihak yang mengemukakan argumen-argumen yang lebih radikal mencakup tokoh-tokoh seperti Francis Trigge, John Hare, John Lilburne, John Warr, dan Gerrard Winstanley dari Kaum Penggali yang radikal. Gerrard Winstanley bahkan menyerukan supaya hak kesulungan dihapuskan dan tanah digarap bersama-sama. "Sesudah menyaksikan rakyat jelata Inggris atas karsa dan upaya bersama sudah mengusir Charles, yakni orang Norman yang selama ini menindas kita, maka dengan kemenangan ini sudah kita bebaskan diri kita dari kungkungan kuk Norman", demikian tulis Winstanley atas nama Kaum Penggali di dalam risalah The New Law of Righteousness pada bulan Desember 1649. Di dalam selebaran bertajuk The True Levellers Standard Advanced, Winstanley mengemukakan sebagai berikut:
Kembali diminatiMinat terhadap gagasan kuk Norman kembali mencuat pada abad ke-18. Gagasan ini muncul di dalam berbagai karya tulis semisal Historical Essay on the English Constitution (terbit tahun 1771) dan risalah John Cartwright yang berjudul Take Your Choice (terbit tahun 1777), serta diangkat di dalam debat Thomas Paine lawan Edmund Burke. Thomas Jefferson juga mengusung gagasan ini.[4] Pada abad ke-19, gagasan kuk Norman kehilangan semua signifikansi historis yang pernah dimilikinya dan tidak lagi menjadi "gelagat buruk" di dalam debat politik, tetapi masih memiliki kebergunaan sejarah-populernya, yakni memunculkan angan-angan muluk tentang zaman kegemilangan Inggris di dalam benak orang. Di dalam novelnya, Ivanhoe (terbit tahun 1819), Sir Walter Scott membuat tokoh Wamba melisankan "peribahasa Saksen" berikut ini (Bab xxvii):
Umat Protestan pada masa pemerintahan Ratu Victoria kadang-kadang mengait-ngaitkan gagasan "kuk Norman" dengan Antikatolisisme. Mereka mengklaim bahwa jemaat Kristen di Inggris lebih bebas dari pengaruh Sri Paus ketika bangsa Saksen-Inggris masih berdaulat daripada sesudah kedatangan bangsa Norman.[5] Sebagai buktinya, mereka mengungkit peristiwa-peristiwa seperti Paus Aleksander II mendukung William Penakluk dan raja-raja kulawangsa Plantagenet bersembah bakti kepada Sri Paus.[5] Pengait-ngaitan nasionalisme "Saksen-Inggris" dengan Antikatolisisme memengaruhi penulisan novel Charles Kingsley yang berjudul Hereward the Wake (terbit tahun 1866). Seperti novel Ivanhoe, Hereward the Wake turut mempopulerkan gambaran tentang negara bangsa Saksen-Inggris yang aman dan makmur diporakporandakan oleh bangsa Norman.[5][6] Di lain pihak, Thomas Carlyle justru menafikan gagasan "kuk Norman". Di dalam bukunya, History of Friedrich II of Prussia (terbit tahun 1858), Carlyle menggambarkan penaklukan bangsa Norman sebagai peristiwa yang berfaedah, karena bersumbangsih terhadap penyatuan Inggris.[7] Menurut sejarawan Marjorie Chibnall,
Penulis cerita fantasi, J. R. R. Tolkien, yang juga seorang profesor kajian Saksen-Inggris, diduga dipengaruhi teori ini, khususnya dalam menggambarkan masyarakat Hobbit yang "hidup santai di desa, terluput dari perhatian" di dalam The Lord of the Rings.[9][10] Pada abad ke-21, Michael Wood mencuatkan konsep kuk Norman di dalam konteks yang jamak dinamakan "sejarah buku-komik" yang sangat dimitologisasi untuk serial BBC History bertajuk In Search of England.[11] Baca jugaKutipan
Rujukan
|