LelangitLelangit atau langit-langit mulut atau palatum adalah bagian rongga mulut sebelah atas yang dijumpai pada hewan-hewan mamalia dan manusia.[1] Struktur lelangit terutama dibentuk oleh tulang palatina, yang menjadi pemisah antara rongga mulut dan rongga hidung.[2][3] Bagian tubuh serupa dapat ditemukan pada hewan buaya. Sebagian besar hewan-hewan tetrapoda lainnya tidak memiliki rongga mulut dan rongga hidung yang benar-benar terpisah. StrukturLelangit terbagi atas dua bagian, yaitu lelangit keras di bagian depan yang menjadi letak tulang palatina, serta lelangit lunak (disebut juga velum atau tekak) yang hanya tersusun atas otot-otot mulut.[4][5] Lelangit kerasLelangit keras dibentuk oleh tulang palatina. Pada saat janin berusia 9 minggu, prosesus palatina yang berasal dari prosesus maksilaris tumbuh ke arah medial (tengah-tengah) dan bergabung dengan septum nasalis membentuk garis median (garis tengah).[6] Penyatuan tersebut kemudian ditutupi oleh membran mukosa istimewa yang keras (durum) dan kadang membentuk lipatan (raphe) di tengah. Lelangit keras membentuk 2/3 dari keseluruhan bagian lelangit.[7] Struktur anatomi pada lelangit keras antara lain foramen incisivum, foramen palatinus mayor, foramina palatinus minor dan rugae palatine.
Lelangit lunakLelangit lunak atau velum atau tekak tersusun atas jaringan aktif yang berada di antara batas posterior (belakang) lelangit keras hingga sampai di daerah faring. Bagian ini hanya terdiri dari lipatan membran mukosa yang menutupi otot, struktur kelenjar, pembuluh darah, dan saraf. Lelangit lunak membentuk 1/3 bagian lelangit.[7] Selama penelanan, lelangit lunak akan naik dan membantu menutup jalur udara dari hidung pada bagian faring agar makanan tidak masuk ke rongga hidung.[8] Celah lelangit
Celah lelangit atau lelangit sumbing merupakan keadaan terpisahnya atap rongga mulut, dan umumnya dianggap sebagai kelainan yang lebih parah dari bibir sumbing. Celah pada lelangit dapat mengakibatkan masalah gangguan pada berbicara, pendengaran, penelanan, fungsi pernafasan, perkembangan wajah, dan keadaan malposisi gigi-geligi. Selain itu, celah lelangit dapat menimbulkan gangguan fisiologis terutama pada faring yang berhubungan dengan fosa nasal, bicara, dan pendengaran. Klasifikasi celah lelangit adalah sebagai berikut.
Faktor penyebab terjadinya celah lelangit adalah genetik dan lingkungan. Sebagai contoh, faktor genetik adalah sindroma patau (trisomi 13) dihubungkan dengan pembentukan celah dari bibir atau maksila. Sedangkan, faktor lingkungan adalah efek dari teratogen khusus seperti pengaruh folik antogonis atau anti kejang.[6] Lelangit lunak dan keras harus diinspeksi untuk menemukan celah komplit atau celah submukosa, dan memperhatikan konturnya jika lengkungan lelangit sangat tinggi atau uvulanya bifida. Pada lelangit keras, di salah satu lipatan (rafe) mungkin dapat dijumpai pengelompokan sel epitel yang sifatnya sementara, disebut mutiara Epstein. Kista retensi yang serupa mungkin juga ditemukan pada gusi. Keduanya menghilang secara spontan. biasanya dalam beberapa minggu setelah lahir. Kelompok folikel berwarna putih kecil atau kuning, atau ulkus di atas dasar eritematosa mungkin ditemukan pada penopang tonsil anterior, paling sering pada umur han ke-2 atau ke-3. Dengan penyebab yang belum diketahui, mereka hilang tanpa pengobatan dalam 2 sampai 1 hari.[10] Referensi
|