Share to:

 

Lex fori

Lex fori adalah prinsip yang menolak prinsip tradisional hukum perdata internasional bahwa suatu tindakan hukum mengandalkan satu titik taut saja. Dalam lex fori, suatu tindakan hukum memiliki beberapa titik taut dalam suatu sistem hukum yang berlaku sebagai penyebab (lex causa) suatu tindakan hukum dalam perkara hukum perdata internasional yang sejenis. Menurut Ehrenzweig, sumber hukum utama hukum perdata internasional adalah pengadilan/ hakim. Namun, apabila pengadilan tidak memiliki prinsip hukum perdata internasional, atau ada namun tidak dapat diimplementasikan, maka pengadilan harus menemukan hukum sendiri (rechtvinding) untuk kaidah hukum perdata internasionalnya sendiri.[1]

Dalam menemukan lex causa/penyebab yang memiliki titik taut yang majemuk, ada pola pikir yuridis yang harus dipahami, yakni adalah:[2]

  1. Mencari titik taut primer/ utama, untuk mengidentifikasi apabila hal tersebut adalah suatu perkara perdata internasional.
  2. Apabila hal tersebut adalah perkara perdata internasional, maka dilakukan kualifikasi fakta menurut lex fori/mencari titik taut.
  3. Mencari titik taut sekunder menurut lex fori, untuk menentukan sistem hukum yang berlaku, mengidentifikasi penyebab (lex causa).
  4. Titik taut yang ada tersebut akan menentukan kaidah hukum yang mana yang berlaku dalam perkara perdata internasional tersebut.
  5. Jika titik taut sudah ditentukan hukum materiil mana yang seharusnya berlaku, maka hakim akan menentukan penyelesaian masalah dan menjatuhkan putusan.

Kaidah hukum perdata ini sebagian besar adalah kaidah hukum lokal. Untuk memutus perkara HPI perlu menyelidiki politik hukum/ legal policies yang melandasinya, terlebih apabila tidak ada yurisprudensi lokal atau prinsip hukum perdata internasional tertulis. Melalui analisa tersebut, pengadilan dapat mengetahui apakah perkara layak dimasukkan ke pengadilan yang bersangkutan atau tidak, apabila jawaabannya tidak, maka pengadilan dapatmenggunakan asasforum non-convniens dan mengarahkan para pihak ke pengadilan yang lebih tepat.[3]

Referensi

  1. ^ Seto, Bayu (2013). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Kota Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hlm. 226. 
  2. ^ Yulia, Dr (2016). Hukum Perdata Internasional. Lhokesumawe: Unimal Press. hlm. 54. 
  3. ^ A. A, Ehrenzweig (1967). Private International Law. 
Kembali kehalaman sebelumnya