LontiokLontiok adalah rumah tradisional masyarakat Kampar, Riau yang berbentuk rumah panggung.[1][2][3] Kata lontiok (dialek Kampar) dalam bahasa Indonesia berarti lentik.[3] Nama rumah ini didapatkan dari bentuk atapnya yang melengkung lentik.[3] Nama lain dari rumah ini yaitu Rumah Lancang atau Pencalang. Nama tersebut diambil karena bentuk rumah yang menyerupai perahu lancang.[4][2] Rumah tradisional ini memiliki kemiripan tipoplogi dengan arsitektur Rumah Gadang (Minangkabau), Rumah Bumbung Panjang (Negeri Sembilan, Malaysia) dan Rumah Melayu lainnya.[5] Rumah ini memiliki fungsi sebagai tempat tinggal maupun acara adat.[6] Rumah Lontiok tercatat pada tahun 2017 Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Riau.[3] Rumah Lontiok saat ini sudah mulai jarang ditemukan karena sudah mulai termakan usia dan sudah mulai terlihat tidak terawat.[7] Salah satu rumah Lontiok yang sudah tidak terawat lagi terletak di Dusun Pulau Belimbing Desa Sipungguk.[8] Namun, rumah Lontiok masih dapat menjadi objek wisata yang menarik.[7] Ciri khasRumah Lontiok ditopang oleh beberapa tiang penyangga.[7] Rumah ini sengaja dibangun tinggi dengan beberapa tujuan.[7] Pertama, tingginya rumah Lontiok berguna untuk melindungi keluarga yang berada dalam rumah dari serangan binatang buas seperti ular atau harimau.[7] Selain binatang buas, tingginya rumah Lontiok berguna juga menghindari serangan dari suku-suku lain dalam masyarakat Kampar.[7] Kedua, tinggi rumah Lontiok juga berguna untuk memelihara hewan atau berternak.[7] Bagian kolong rumah yang cukup luas dipakai sebagai kandang hewan.[7] Selain kandang hewan, terkadang bagian kolong rumah lontiok juga berfungsi sebagai gudang baik untuk tempat penyimpanan makanan juga untuk tempat penyimpanan perahu.[7] Tingginya rumah Lontiok mengakibatkan dibutuhkan tangga untuk dapat masuk ke dalam rumah.[7] Tangga yang digunakan untuk masuk ke dalam rumah Lontiok menjadi salah satu ciri khas dari rumah itu.[7] anak tangga umumnya berjumlah ganjil karena disesuaikan dengan keyakinan masyarakat Kampar.[7] Bentuk atap rumah Lontiok yang melengkung juga menjadi ciri khas dari rumah Lontiok.[9] Bentuk atap rumah yang melengkung ini mempunyai makna hubungan manusia dengan Tuhan.[9] Masyarakat Kampar percaya bahwa bentuk melengkung atap rumah Lontiok menjadi simbok penghormatan terhadap Tuhan yang mahakuasa.[9] Tidak hanya kepada Tuhan, bentuk atap yang melengkung itu merupakan penghormatan kepada sesama ciptaan Tuhan.[9] Pada zaman dahulu kala, rumah Lontiok hanya dibangun oleh masyarakat Kampar yang memiliki status ekonomi menengah ke atas.[9] Hal ini menyebabkan rumah Lontiok menjadi lambang status sosial dari masyarakat Kampar.[9] Masyarakat Kampar juga memandang bahwa rumah Lontiok adalah tempat yang sakral.[9] Bentuk rumahBentuk rumah Lontiok sangat identik dengan bentuk perahu dengan bentuknya yang melengkung.[3] Rumah ini mempunyai dinding yang miring keluar.[9] Dinding rumah ini ditempelkan dengan ukiran-ukiran yang terdapat pada balok atap rumah.[9] Balok ini menjadi penyangga sekaligus penghubung antara atap rumah dan dinding rumah yang miring.[7] Balok atap rumah pun miring dan atap murah mempunyai bentuk melengkung yang mengarah ke langit.[9] Pintu masuk rumah terhubung dengan anak tangga yang digunakan oleh anggota keluarga untuk dapat masuk ke dalam rumah.[9] Umumnya, anak tangga disusun dengan jumlah ganjil.[9] Rumah Lontiok dibangun atas beberapa tiang penyangga yang menopang lantai dan seluruh badan rumah.[9] Bahan dasar rumah ini adalah kayu.[7] Kayu tersebut juga bukan kayu sembarangan tetapi kayu pilihan yang mampu bertahan lama dalam berbagai cuaca.[7] Rumah Lontiok berbentuk seperti rumah panggung.[9] Tipe konstruksi rumah panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas, dan terjangan banjir. Selain itu kebiasaan masyarakat Kampar adalah memanfaatkan kolong rumah sebagai kandang ternak, ruang penyimpanan perahu, tempat bertukang, atau untuk tempat anak-anak bermain. Mereka juga memanfaatkan kolong rumah sebagai gudang penyimpanan kayu untuk persiapan menyambut bulan puasa. Bagian-bagian rumahSecara umum rumah ini dibagi ke dalam 3 bagian yaitu; rumah induk yang terdiri atas ruang besar dan kamar tidur, dapur dan penghubung rumah induk dan dapur. Ruang-ruang yang ada bangunan ini:[10]
TiangTiang pada Lontiok memiliki fungsi sebagai penopang kerangka dinding sebelah bawah. Tiang pada umumnya berbentuk persegi empat, enam, sampai sembilan. Menurut keterangan daripada pemangku adat, segi-segi pada tiang tersebut memiliki makna sebagai berikut:[11]
Tiang utama adalah "Tiang Tuo ", yaitu tiang yang terletak pada deretan kedua pintu masuk (muka) sebelah kiri dan kanan. Pada tiang yang terletak di bagian luar di beri hiasan khusus, biasanya motif daun dan bunga, yang disebut tiang gantung.Tiang-tiang lain tidak ditentukan jumlahnya, tergantung pada besarnya rumah. TanggaTangga digunakan sebagai sarana untuk memasuki rumah panggung ini. Anak tangganya berjumlah ganjil, lima anak tangga, merupakan bentuk ekspresi keyakinan mereka. Seluruh dinding luar Lontiok miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, terkadang disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding. Oleh karena itu, rumah ini terlihat seperti perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung atau selembayung. Sementara sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasannya beragam, misalnya menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, atau taji.[12] Akulturasi arsitekturKeberadaan Lontiok merupakan hasil dari alkulturasi dari masyarakat Kampar yang berbaur dengan Minangkabau. Dasar dan dinding rumah berbentuk seperti perahu, ini adalah ciri khas masyarakat Kampar, dan bentuk atap lentik (lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses alkulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, antara Limopuluah Koto, Minangkabau, menuju dari Limo Koto, Kampar.[13][5] Lihat pulaBacaan lanjutAhadrian, dkk, Ari (2015). Ensiklopedia Mozaik Seni dan Budaya Indonesia, Rumah Adat dan Perabotan Tradisional Indonesia. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama. hlm. 46. ISBN 9786022342984. Referensi
|