Makam W.R. Soepratman
Makam W.R. Soepratman merupakan tempat peristirahatan terakhir dari Wage Rudolf Soepratman, seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Makam ini terletak di Jalan Kenjeran, Rangkah, Tambaksari, Surabaya.[1][2] SejarahMakam WR Soepratman adalah tempat peristirahatan terakhir Wage Rudolf Soepratman, seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Makam ini terletak di Jalan Kenjeran, Rangkah, Tambaksari, Surabaya. Wage Rudolf Soepratman lahir di Desa Somongari Kecamatan Kaligesing, Purworejo dan meninggal dunia di Jalan Mangga 21 Surabaya. Beliau meninggal di usia muda yaitu 35 tahun pada tahun 1938. Beliau adalah seorang guru, wartawan, pemain biola, dan komponis pada zaman Hindia Belanda². Rumahnya di Jalan Mangga No. 21, Surabaya, Jawa Timur, tempat ia menghabiskan hari-hari terakhirnya, kini telah diubah menjadi museum dan juga bangunan cagar budaya. Rumah ini awalnya dimiliki oleh kakak perempuan tertuanya, Roekiyem Soepratijah. Pada tahun 1937, W.R. Soepratman pindah dari Pemalang ke Surabaya dan tinggal di sana hingga wafatnya pada tanggal 17 Agustus 1938. Setelah meninggal, W.R Soepratman dimakamkan di Pemakaman Umum Rangkah, Jalan Tambak Segaran Wetan, Surabaya. Namun pada sekitar tahun 1960, atas permintaan keluarga dan pemerintah, almarhum dipindah ke depan makam Rangkah. Waktu itu kebetulan ini adalah tanah kosong, sehingga bisa digunakan untuk makam pribadi W.R. Soepratman. Lokasi makam beralamat di Jalan Kenjeran, Rangkah, Kecamatan Tambaksari, Surabaya. Lokasinya berada di tepi jalan besar arah ke Jembatan Suramadu sehingga mudah diakses. Makam dan rumah tersebut merupakan situs bersejarah penting yang berfungsi sebagai pengingat akan kontribusi Wage Rudolf Soepratman bagi bangsa Indonesia.[3][4] KeunikanMakam W.R. Soepratman berada di cungkup dengan lantai marmer. Makam Sang Maestro juga dimarmer di semua sisi, sementara bagian yang tidak dimarmer tepatnya di bagian tengah diukir hingga membentuk biola. Pada bagian yang tidak dimarmer ini biasanya digunakan peziarah untuk menabur bunga.[5] Referensi
|