Malajoe Batawi
Malajoe Batawi: Kitab deri hal Perkataan-Perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar (lebih dikenal dengan judul Malajoe Batawi; EYD: Melayu Betawi) adalah buku tata bahasa Melayu yang dipertuturkan di Batavia (sekarang Jakarta) yang ditulis oleh Lie Kim Hok. Buku 116 halaman ini pertama diterbitkan tahun 1884 dan memiliki dua cetakan. Buku ini dianggap sebagai "prestasi luar biasa dalam sastra bahasa Melayu Tionghoa".[1] Latar belakang dan penulisanPada akhir 1800-an, beberapa buku dan surat kabar yang diterbitkan di Batavia menggunakan bahasa Melayu kreol. Buku-buku ini, termasuk terjemahan sastra Tiongkok, tidak memakai bahasa standar. Beberapa di antaranya bahkan ditulis dalam satu kalimat saja; satu huruf kapital di awal dan satu titik di akhir.[2] Lie Kim Hok (1853–1912) adalah seorang jurnalis dan guru yang sering menulis menggunakan bahasa kreol. Ia melihat ketiadaan standardisasi cukup mengganggu, lalu mulai merancang tata bahasa untuk menjamin keteraturan pemakaiannya.[2] Pada tahun yang sama dengan penerbitan Malajoe Batawi, ia meluncurkan Kitab Edja, buku ejaan untuk anak sekolahan.[3] IsiMalajoe Batawi terdiri dari 116 halaman. 23 halaman di antaranya membahas penggunaan huruf kapital dan tanda baca, 23 lain membahas kelas kata, dan sisanya membahas struktur dan penulisan kalimat.[4] Lie mengulas berbagai morfem, termasuk morfem aktif-transitif [me(N)-] dan aktif-intransitif [ber-].[5] Lie mengidentifikasi sepuluh kelas kata dalam Malajoe Batawi:[5]
Rilis dan tanggapanMalajoe Batawi diterbitkan tahun 1884 oleh W. Bruining & Co. di Batavia. Tio Ie Soei, dalam biografi Lie karyanya, menyebut buku ini sebagai tata bahasa Melayu Betawi pertama,[4] sedangkan pakar bahasa Waruno Mahdi menyebutnya "tata bahasa dialek Melayu yang terperinci dengan citarasa modern".[1] Buku ini awalnya dicetak sebanyak 500 eksemplar.[4] Menurut Tio, buku ini mulai dipertimbangkan untuk dipakai sebagai bahan ajaran di sekolah-sekolah setempat. Akan tetapi, perusahaan penerbit meminta beberapa perubahan yang kemudian ditolak Lie dan ujung-ujungnya tidak tercapai kesepakatan.[2] Edisi keduanya diterbitkan oleh Albrecht & Rusche tahun 1891.[6] Sebelum kematiannya tahun 1912, Lie menulis edisi baru Malajoe Batawi, namun ia meninggal dunia sebelum karyanya selesai.[4] Tahun 1979, C.D. Grijns berpendapat bahwa berdasarkan sifat orang Betawi yang cenderung oral, Lie tidak mendasarkan Malajoe Batawi-nya pada bahasa ujaran (oral), melainkan bahasa tertulis yang dipakai para pedagang Tiongkok.[7] Sejarawan pers Malaysia Ahmat B. Adam mengatakan Lie meninggalkan "jejak besar dalam perkembangan bahasa Indonesia modern",[8] sementara Mahdi menulis bahwa tata bahasa ini adalah "prestasi luar biasa dalam sastra Melayu Tionghoa" dari sudut pandang seorang linguis.[1] Catatan kakiReferensi
|