Manajemen gaya TionghoaManajemen gaya Tiongkok adalah pola manajemen yang diterapkan di negara-negara Asia bagian Asia Timur dan Asia Tenggara.[1] Jumlah imigran Tiongkok dan keturunannya diperkirakan kurang lebih 40 juta orang dan mereka disebut "Tionghoa perantauan" (overseas Chinese). Lebih dari 50% Tiongkok Perantauan ini tinggal di negara-negara yang mayoritas penduduknya Tiongkok, seperti Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Sisanya tersebar di negara-negara Asia lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Tiongkok perantauan umumnya berasal dari Tiongkok Selatan. Mereka atau nenek moyang mereka berimigrasi secara bergelombang sejak abad ke-17 dan gelombang perantauan dari Tiongkok makin bertambah jumlahnya dalam abad ke-19 dan 20. Kegiatan bisnis para Tiongkok perantauan pada umumnya pada umumnya terkonsentrasi pada perdagangan, keuangan, dan jasa, yang sebagian besar modalnya berupa harta lancar dan mudah dipindahkan. Dalam praktik bisnis, Tiongkok perantauan atau pengusaha keturunan Tiongkok berpegang pada falsafah Kong Hu Cu. Karena besarnya pengaruh ajaran Kong Hu Cu (Kong Hu Cu) dalam praktik bisnis yang diterapkan golongan tersebut, gaya manajemen ini sering disebut manajemen gaya Kong Hu Cu. Dasar falsafah Kong Hu Cu mengutamakan hubungan antar-manusia yang terdiri atas lima pola hubungan (Wu lun), yaitu (1) hubungan antara ayah dan anak harus ada kasih sayang; (2) hubungan antarpenguasa dan rakyat harus didasarkan pada kebenaran dan keadilan; (3) hubungan antara suami dan istri harus saling memperhatikan peran masing-masing. Tanggung jawab suami adalah di luar rumah, sedangkan istri bertanggung jawab mengatur rumah tangga; (4) hubungan antara kakak dan adik harus ada ketertiban dan kedamaian; (5) Hubungan antara kerabat dan teman-teman harus didasarkan pada kesetiaan. Dari kelima hubungan tersebut, hubungan antara ayah dan anak adalah hubungan yang utama. Hormat dan menurut pada orang tua adalah akar dari segala moral kehidupan, karena orang tua yang memberi kehidupan pada anak-anak, mendidik dan membesarkan mereka; karena hubungan inilah yang paling alami dan utama; dan yang terpenting karena tidak mungkin orang bisa berbuat baik terhadap orang lain kalau ia tidak baik terhadap orang tuanya sendiri. Sebab itu penekanan ajaran Kong Hu Cu adalah pada wewenang ayah sebagai kepala keluarga, dan ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga. Berbakti terhadap orang tua dan setia kepada keluarga adalah suatu keharusan. Sejak kecil orang Tiongkok diajarkan kepatuhan moral, perlunya berkompromi, menegndalikan diri, memiliki rasa tanggung jawab, berterima kasih pada orang tua, serata menghormati mereka yang lebih senior. Di samping falsafah Kong Hu Cu, pengusaha Tiongkok juga mendasarkan praktik bisnisnya pada 16 prinsip yang dikenal dengan "Prinsip-Prinsip praktik bisnis yang baik". Ke-16 prinsip tersebut disusun Fan LI (yang menggunakan nama samaran T'ao Chu Kung), seorang pengusaha kaya dan politikus ulung yang hidup dalam abad ke-5. Fan Li adalah seorang menteri dalam pemerintahan Pangeran Goujian. Konon pada puncak kariernya sebagai pejabat tinggi ia mengundurkan diri, dan menjadi seorang usahawan yang amat sukses. Ia dipercayai sebagai jutawan Tiongkok pertama, dan kemudian bahkan menjadi pelindung/orang suci bagi pengusaha-pengusaha Tiongkok. Setiap prinsip Fan Li dirumuskan dalam dua frasa yang berlawanan: positif dan negatif. Penyajian gaya positif negatif ini melambangkan dasar falsafah yang yang (positif/terang) dan yin (negatif/gelap). Prinsip-prinsip tersebut dicantumkan pada kalender-kalender, hiasan-hiasan rumah, dan bahkan dalam buku-buku agenda bisnis. Secara bebas ke-16 prinsip tersebut diterjemahkan sebagai berikut:
Referensi |