Mangga Dua Selatan, Sawah Besar, Jakarta Pusat
Informasi umumBatas-batasnya, di sebelah utara adalah Jalan Mangga Dua Raya; di sebelah timur adalah rel kereta api (antara Stasiun Kampung Bandan dengan Rajawali) dan kanal banjir di tepi Jalan Gunung Sahari; di sebelah selatan adalah Jalan Mangga Besar Raya; dan di sebelah barat adalah rel kereta api layang antara Stasiun Mangga Besar dan Jakarta Kota.[3] Sampai dengan tahun 2016, jumlah penduduk kelurahan ini adalah sebanyak 34.944 jiwa, terdiri dari 17.877 orang laki-laki dan 17.067 orang perempuan. Kepadatan penduduk rata-rata adalah 271 orang perhektare.[2] Mata pencaharian warga kelurahan ini kebanyakan adalah pedagang (12.776 orang), pegawai swasta (10.030 orang), serta pegawai negeri dan tentara (7.053 orang).[2] Kelurahan Mangga Dua Selatan memiliki kode pos 10730. SejarahKampung Manggadua keberadaannya setidak-tidaknya sudah tercatat semenjak tahun 1685; ketika itu telah dihuni oleh sejumlah kecil suku Ambon muslim.[4] Pada tahun-tahun tersebut, Pemerintah Tinggi VOC (de Hoge Regering) mulai menata kampung-kampung di kawasan Ommelanden, yakni wilayah di luar benteng Batavia, untuk mengawasi dan mengendalikan berbagai kelompok etnis yang tinggal di Batavia dan sekitarnya. Tiap-tiap etnis dikumpulkan dalam satu, atau beberapa, kampung yang tersendiri dan diletakkan di bawah pengawasan dan pengaturan kapitan masing-masing. Semua ini dilakukan untuk mencegah dan mengurangi keributan antar suku dan menjaga Batavia dari pencurian, perampokan serta gangguan keamanan yang kemungkinan dilakukan oleh penghuni Ommelanden.[4][5] Namun, upaya untuk memilah-milah dan memisahkan aneka suku bangsa yang tinggal di Batavia dan sekitarnya itu terbilang gagal.[5] Berselang dua puluhan tahun, sebagaimana dicatat oleh Chastelein dan juga de Haan, pada awal abad ke-18 Kampung Manggadua telah diramaikan oleh pelbagai suku bangsa yang tinggal berbaur di sini, termasuk di antaranya suku-suku Bali, Jawa, dan Cina. Nama kampung ini berasal dari dua batang pohon mangga yang besar, yang tumbuh di dekatnya.[4] Pada masa-masa selanjutnya, Kampung Manggadua berkembang menjadi permukiman yang banyak dihuni oleh orang-orang Jawa; meski suku lain pun turut bertambah banyak. Sebuah masjid tua pernah berdiri di sini, dikitari oleh pekuburan yang luas, konon dibangun pada tahun 1841. Kini disebut Masjid Nurul Abrar, Masjid Nurul Abror, atau Masjid Manggadua, tempat ibadah ini dipugar total pada tahun 1986, dengan menyisakan empat tiang utama (soko guru) yang masih asli. Makam-makam yang sekarang ada di dalam dan di sekitarnya mencerminkan bahwa memang Kampung Manggadua telah lama ditinggali oleh berbagai suku bangsa. Di antaranya, makam Sayid Abubakar bin Sayid Aluwi dan makam Bahsan Jamalulail (suku Arab), serta makam Rd. Tumenggung Anggakusumah Dalem-Gadjah (suku Sunda). Seorang dari keluarga Kesultanan Banten pun tercatat pernah tinggal di sini, yakni Pangeran Ratu Bagus Urip Mohammad (wafat 1685).[6][7] Angkutan umum
Catatan kaki
Pranala luar
|