Masjid Kauman Semarang
Masjid Agung Semarang atau biasa disebut Masjid Kauman Semarang (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦑꦲꦸꦩ꧀ꦩꦤ꧀ꦯꦼꦩꦫꦁ) adalah sebuah masjid tertua di Semarang, Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang dan erat kaitannya dengan sejarah berdirinya kota Semarang. Masjid yang kini telah menjadi cagar budaya dan harus dilindungi menjadi kebanggaan warga Semarang karena bangunannya yang khas, mencaerminkan jatidiri masyarakat pesisir yang lugas tetapi bersahaja. Seperti halnya pada masjid-masjid kuno di pulau Jawa, Masjid Agung Semarang berada di pusat kota (alun-alun) dan berdekatan dengan pusat pemerintahan (kanjengan) dan penjara, serta tak berjarak jauh dari pusat perdagangan (pasar Johar), merupakan ciri khas dari tata ruang kota pada zaman dahulu. Dalam sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia, Masjid Agung Semarang juga menyimpan cerita yang menarik. Masjid ini nenjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia secara terbuka hanya beberapa saaat setelah diproklamirkan. Seperti diketahui peristiwa proklamasi yang dibacakan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta di Pegangsaaan Timur no 56 Jakarta pada hari Jum’at pukul 10.00 pagi. Lebih kurang satu jam setelah itu yaitu pada saat sebelum sholat Jum’at, Alm. dr. Agus, salah seorang jama’ah aktif di Masjid Agung Semarang melalui mimbar Jum’at dan dihadapan jama’ah mengumumkan terjadinya proklamasi RI. Keberanian Alm. dr. Agus harus dibayar mahal, karena setelah peristiwa itu beliau dikejar-kejar tentara Jepang dan melarikan diri ke Jakarta hingga meninggal di sana. Sebagai penghargaan atas peristiwa tersebut pada tahun 1952, Presiden RI pertama Ir. H. Soekarno menyempatkan diri hadir untuk melakukan sholat jumat dan berpidato di masjid ini. Lokasi Masjid Agung SemarangLetak Masjid Agung Semarang tadinya berdiri megah di depan alun-alun kota Semarang. Namun kemudian sejak tahun 1938 alun-alun tersebut beralih fungsi menjadi kawasan komersial yaitu dengan adanya Pasar Johar, Pasar Yaik, gedung BPD dan Hotel Metro yang kemudian menjadi area Kawasan Perdagangan Johar. Pada tahun 2021, depan Masjid Agung Kauman Semarang yang sebelumnya merupakan Pasar Yaik, sekarang telah direnovasi kembali menjadi Aloon-Aloon Masjid Agung Semarang bersamaan dengan pemugaran bangunan cagar budaya Pasar Johar[1]. Masjid Agung Semarang kini terjepit di antara bangunan bangunan tinggi yang mengepungnya. Masjid ini beralamat di Jl. Alun-alun Barat Nomor 11 Semarang. Sekarang Masjid Agung Semarang letaknya tidak lagi berada dalam wilayah Kampung (Kelurahan) Kauman, tetapi masuk dalam wilayah Kelurahan Bangunharjo Semarang Tengah. Sejarah Masjid Agung SemarangMenurut inskripsi berbahasa dan berhuruf jawa yang terpatri di batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk ke Masjid Agung Semarang, masjid ini dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1749M. lengkapnya inskripsi tersebut berbunyi seperti berikut: “Pemut kala penjenengane Kanjeng Tuwan Nikolas Harting hedelir gopennar serta sarta Direktur hing tanah Jawi gennipun kangjeng Kyahi Dipati Suradimanggala hayasa sahega dadosse masjid puniki kala Hijrat 1170” Dalam bahasa Indonesia nya: “Tanda peringatan ketika kanjeng Tuan Nicoolass Hartingh, Gubernur serta Direktur tanah Jawa pada saat Kanjeng Kyai Adipati Suramanggala membangun hingga jadinya masjid ini pada tahun 1170 Hijrah” Tuan Nicoolass Hartingh sendiri seperti yang disebutkan dalam inskripsi tersebut adalah tokoh utama penggerak lahirnya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah wilayah Kesultanan Mataram atau dikenal dengan Palihan Nagari menjadi wilayah kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat berpusat di Yokyakarta dan Kasunanan Surakarta. Atas upayanya Nicoolas Hartingh kemudian dihadiahi rumah dinas oleh pemerintah penjajahan Belanda (VOC) di daerah tugu muda dengan nama De Vredestein atau Wisma Perdamaian. A.MASA AWAL BERDIRINYA Hingga saat ini masih belum diperoleh keterangan ataupun data yang akurat yang dapat memastikan kapan masjid Agung Semarang mulai dibangun dan didirikan. Berdasarkan catatan-catatan sejarah dan cerita-cerita tutur yang dapat dijadikan dasar rujukan, masjid ini didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI masehi atau pada masa kesultanan Demak. Alkisah seorang dari kesultanan Demak bernama Made Pandan, seorang maulana dari Arab yang nama aslinya Maulana Ibnu Abdul Salam mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar yang ajarannya dianggap menyimpang. Bersama putranya, Made Pandan meninggalkan Demak menuju ke daerah barat di suatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirangan dan membuka hutan dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan nama daerah itu menjadi Semarang. Made Pandan mula-mula mengawali tugasnya dengan membangun sebuah masjid yang sekaligus dijadikan sebagai padepokan untuk pusat kegiatan dalam mengjarkan agama Islam. Masjid inilah yang merupakan cikal-bakal Masjid Agung Semarang. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini belum menempati tempatnya yang sekarang. Terletak di kawasan Mugas (sekarang termasuk wilayah kecamatan Semarang Selatan). Sebagai pendiri desa dan pemuka agama di daerah setempat, Made Pandan bergelar Ki Ageng Pandan Arang. Lambat laun pengaruh Ki Ageng Pandan Arang semakin besar dan daerah tersebut juga semaki menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat terpenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, dinobatkan menjadi Bupati Semarang yang pertama. Peristiwa itu bertepatandengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. Pada tanggal itu “secara adat dan politis berdirilah kota Semarang”. B. MASA KESULTANAN MATARAM Setelah dinobatkan menjadi bupati Semarang yang pertama, Ki Ageng Pandan Arang menjadi masjid yang dibangunnya sekadar untuk tempat ibadah dan tempat mengajarkan agama saja, tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Seiring dengan perkembangan waktu, daerah Mugas dianggap kurang strategis sebagai pusat pemerintahan, sehingga beliau pindah di daerah yang lebih strategis di kota Semarang bagian bawah di Bubakan. Beliau juga memindahkan Masjid Agung Semarang di daerah tersebut, tetapi lokasinya juga buka di tempatnya sekarang. Lokasi di mana masjid ini belum dapat dipastikan. Peta kuno Semarang yang tersimpan di Rijks Archief di Belanda menggambarkan bahwa waktu itu Masjid Agung Semarang terletak di seblah timur laut dari kabupaten Semarang yaitu di sekitae daerah Pedamaran. Konon tidak lama setelah itu Ki Ageng Pandan Arang wafat dan dimakamkan di bukit Pakis Aji. Kedudukannya sebagai bupati sekaligus sebagai pemimpin dan penyebar agama digantikan oleh putranya yang begelar Ki Ageng Pandan Arang II. Beliau hanya tigatahun menduduki tahta kabupaten karena atas nasihat Sunan Kalijaga, beliau lebih mengutamakan tugasnya sebagai penyebar agama daripada tugas memimpin pemerintahan. Ki Ageng Pandan Arang II kemudian melanglang buana ke arah selatan untuk menyebarkan agama Islam di kawasan yang kemudian dinamakan Salatiga, Boyolali dan terus menuju Klaten. Beliau juga mendirikan padepokan sebagai pusat penyebaran agama di suatu tempat yang dinamakan Tembayat, sehingga beliau juga terkenal dengan sebutan Sunan Tembayat. Beliau wafat di tempat itu pada tahun 1553 dan dimakamkan di bukit Jabalkat (dari bahasa arab Jabal Qof). Sesudah bupati Pandan Arang II mengundurkan diri, kedudukan sebagai Bupati dan pemimpin agama agama di Semarang digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Ki Ageng Pandan Arang III (1553-1586) sekaligus juga bergelar pangeran Mangkubumi I. Beliau digantikan putranya yang bernama Kyai Khalifah yang bergelar Pangeran Mangkubumi II. Kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Kyai Mas Tumenggung Tambi (1657-1659), selanjutnya Kyai Mas Tumenggung Wongsorejo (1659-1666), Kyai Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670), Kyai Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674). Sampai pada masa Bupati ini, kabupaten Semarang masih di bawah Kesultanan Mataram. C. MASA PENJAJAHAN Bangsa penjajah mulai memasuki kota Semarang pada masa pemerintahan bupati ke-10, bernama Kyai Mas Tumenggung Judonegoro, yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo I (1674-1701). Kemudian beliau digantikan Kyai Tumenggung Mertoyudo yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo II (1743-1751). Pada masa pemerintahan Adipati Suro Hadimenggolo II terjadi peristiwa kebakaran bewsar yang memusnahkan masjid peninggalan ki Ageng Pandan Arang. Peristiwa bermula akibat terjadinya pemberontakan orangorang Tionghoa terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dipicu permasalahan persaingan dagang oleh VOC. Karena lokasi Masjid Agung Semarang berdekatan dengan VOC di Bubakan dan juga tak jauh dari kampung Pecinan maka mengakibatkan Masjid Agung Semarang ikut terbakar habis. Usaha mendirikan masjid dilakukan oleh Bupati Suro Hadimenggolo II dan lokasinya tidak menempati tempa yang lama, tetapi pindah ke lokasi yang lebih srtategis di sebelah barat Bubakan yaitu tempatnya yang sekarang di kawasan Alun-alun Barat Semarang. Tepatnya diujung Jalan Kauman, si sebelah barat Alun-alun arah depan, sebelah kiri dari pendapa Kabupaten yang lazim disebut “kanjengan”. Pengganti Suro Hadimenggolo III bernama Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Suro Hadimenggolo III (1751-1773). Pada masa ini terjadi usaha perbaikan besar-besaran terhadap bangunan Masjid Agung Semarang. Hingga menjadi sebuah masjid yang benar-benar megah dan anggun pada waktu itu. Karena peran Bupati Suro Hadimenggolo III dalam pembangunan Masjid, ada yang menjulukinya sebagai “desticher van de ecrste te Semarang” (pendiri masjid besar yang pertama di Semarang). Perbaikan masjid berlangsung selama dua tahun yaitu mulai tahun 1759 sampai 1760. Beliau wafat kira-kira 13 tahun setelah selesainya pembangunan masjid. Dan sejak tahun 1773 beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Suro Hadimenggolo IV, selanjutnya digantikan oleh Pangeran Terboyo yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo V, dan digantikan Raden Tumenggung Surohadiningrat, kemudian digantikan Putro Suhadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), sampai pada masa ini tidak tercatat adanya perubahan atau peristiva yang berarti terhadap Masjid Agung Semarang. Hal ini menunjukkan betapa kokohnya bangunan Masjid semasa pemerintahan Bupati Suro Hadimenggolo III. Baru kemudian pada masa pemerintaha bupati Raden Mas Suryokusuma (1860-1887), terjadi perbaikan masjid pada tahun 1867. Namun demikian maksud baik Bupati Suryokusumo tidak berjalan lancar karena kurangnya pendanaan. Perbaikan masjid yang sudah termakan usia dilanjutkan oleh Bupati yang menggantikannya yakni Bupati Raden Reksodirejo (1887-1891). Namun belum sampai selesai, beliau wafat dan digantikan oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Purbaningrat. Raden Mas Tumenggung Purbaningrat dengan kewibawaan dan kekuasaannya berhasil mengatasi kesulitan dana dan memulai pembangunan kembali masjid ini. Mulai tahun 1883 masjid telah difungsikan kembali dengan konstruksi yang cukup megah dan kuat. Namun hanya dalam tempo dua tahun setelah masjid disungsikan tepatnya pada tanggal 10 April 1885 kembali terjadi musibah kebakaran. Seluruh bangunan berikut barang-barang berhaga yang terdapat di dalamnya tidak ada yang dapat diselamatkan, sehingga umat islam di kota Semarang pada waktu itu benar-benar dalam suasana duka yang amat dalam. Konon kebakaran terjadi akibat tersambar petir pada malam hari sekitar pukul 20.30 WIB. Usaha membangun kembali masjid yang terbakar dilaksanakan pada tahun 1889 pada masa pemerintahan Bupati Cokrodipiro, dibantu oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir.G.A Gambier dan berhasil diselesaikan dalam tempo yang sangat singkat sehingga sejak bulan april 1890 masjid telah dapat difungsikan kembali hingga sekarang. Peristiwa terbakarnya masjid dan pembangunannya kembali diabadikan pada prasasti empat bahasa (Arab, Jawa, Belanda dan Melayu) yang dipasang menyatu dalam bagian dinding gapura masjid. Pada masa pemerintahan Raden Mas Soebiyono (1897-1927), yang bergelar Raden Mas Tumenggung Adipati Purboningrat menganugerahkan tiga buah pusaka untuk disimpan di dalam masjid yaitu berupa tombak bernama Kyai Plered, Kyai Puger dan Kyai Mojo, sampai saat ini masih terawat dan tersimpan sebagai pusaka masjid. Selanjutnya jabatan Bupati Semarang Raden Mas Amin Sujitno (1927-1942) Raden Mas AA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945) dan Raden Soediyono Taruna Kusumo (1945), hanya berlangsung satu bulan karena memasuki masa kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. D. MASA KEMERDEKAAN Setelah Indonesia merdeka, bupati Semarang dijabat oleh M. Soemardjito Priyohadisubroto. Kemudian pada masa Pemerintahan RIS yaitu pemerintahan federal diangkat Bupati RM. Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserahterimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetojo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat berkembangnya Semarang sebagai Kota Praja. Dampak dari perkembangan Semarang sebagai Kota Praja adalah Masjid Agung Semarang yang sebelumnya menjadi urusan Bupati Semarang diserahkan kepada wali kota Semarang. Sehingga pada tahun 1950, wali kota Semarang RM Hadi Soebeno Sosrowerdojo (1951-1958), melakukan upaya pembangunan serambi guna menambah kapasitas tempat sholat. Pada tahun 1962 atas desakan uma islam, karena adanya aksi-aksi penjarahan oleh PKI/BTI terhadap aset-aset masjid, maka pemerintah Republik Indonesia memberikan status hukum tersendiri terhadap Masjid Agung Semarang, yaitu dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 92/Tahun 1962, Masjid Agung Semarang bersama-sama dengan Masjid Agung Demak, Kaliwungu dan Kendal dinyatakan sebagai masjid wakaf dan sebagai nadzirnya ditunjuk Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) yang merupakan salah satu lembaga di bawah Departemen Agama. Semasa pemerintahan Orde Baru Masjid Agung Semarang telah berulang kali mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Pada tahun 1979-1980 memperoleh dana bantuan presiden sebesar Rp 10 juta yang dialokasian untuk perbaikan atap dan interior masjid. Kemudian bantuan dari Presiden diterima lagi pada tahun197-1988 sebesar Rp 150juta yang dialokasikan untuk biaya pemugaran total terhadap serambi Masjid. Wali kota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990) secara khusus juga menaruh perhatian terhadap Masjid Agung Semarang. Pada tahun 1982-1983 beliau memprakarsai pembangunan menara (terbuat dari baja) berikut sound system dan sirine (pengganti bom udara) untuk tanda waktu imsak dan berbuka puasa di bulan Ramadhan. Pembiayaannya diperoleh dari kas APBD Kota Semarang. E. BADAN PENGELOLA MASJID AGUNG SEMARANG Pada mulanya, BKM yang ditunjuk sebagai nadzir Masjid Agung Semarang melaksanakan tugasnya dengan baik. Untuk pengelolaan masjid dibentuklah Yayasan yang diketuai oleh ketua BKM Semarang (ex-officio). Maksudnya adalah untuk mempermudah koordinasi terutama dalam penyelamatan aset masjid berupa bondo tanah wakaf yang jumlahnya mencapai 120 hektare. Namun dalam perkembangannya, BKM justru bertindak tidak amanah dan melakukan kelalaian dalam kasus ruislaag tanah wakaf yang bermasalah. Pengelolaan masjid yang seharusnya menjadi tanggung jawab BKM lambat laun kurang diperhatikan. Sehingga kondisi masjid semakin lama semakin terpuruk dimakan usia. Dana kas masjid yang terkumpul juga tidak mencukupi kebutuhan operasional, Seiring era reformasi, masyarakat yang tergabung di dalam Jamaah Peduli Masjid Agung Semarang mengusulkan terbentuknya kepengurusan baru di Masjid Agung Semarang yang melibatkan jama’ah dalam kepengurusannya. Maksud dari gagasan ini untuk memakmurkan Masjid Agung Semarang dan sekaligus membantu BKM dalam pengelolaan Masjid Agung Semarang. Keterlibatan jama’ah yang independen, dimaksudkan afar menghindari birokrasi pemerintahan yang justru akan merugikan Masjid Agung Semarang. Wali kota Semarang, pada waktu itu H. Sukawi Sutarip SH.SE. (2000-2010) menyambut baik gagasan itu. Setelah melalui beberapa kendala terutama dengan pihak BKM Kota Semarang dan Yayasan yang ada, maka dibentuklah Badan Pengelola Masjid Agung Semarang yang melibatkan masyarakat dalam kepengurusannya. Keberadaan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang diperkuat dengan terbitnya Keputusan Wali kota Semarang. Pelantikan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang yang pertama diselenggarakan pada tanggal 30 Desember 2002. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang bersama-sama dengan pemerintah dan jama’ah melaksanakan kembali pembangunan masjid yang sempat terhenti beberapa saat. Hingga saat ini banyak pembgnunan yang telah diselesaikan, diantaranya adalah
ArsitekturPengaruh walisongo pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa yang begitu kuat, memengaruhi ciri arsitektur Masjid Agung Semarang. Ini semua bisa dilihat dari atap Masjid yang berbentuk tajuk tumpang (tingkat) tiga. Arsitektur ini juga mirip dengan Masjid Agung Demak yang dibangun pada masa kesultanan Demak. Atap tingkat tiga merupakan representasi dari makna filosofi Iman, Islam dan Ikhsan. Berbeda dengan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Semarang dibungkus dengan bahan seng bergelombang, pada waktu itu merupaan bahan yang langka dan secara khusus harus didatangkan dari Belanda. Arsitektur Masjid Agung Semarang ini sering disebut dengan konsep tektonika. Sistem yang mirip dengan struktur tumpang pada bangunan tumpang berpenyangga berpilar lima pada bangunan bangunan pra Islam di tanah Jawa. Menurut Ir. Totok Roesmanto, diterapkannya sistem tektonik dalam pembangunan Masjid Agung Semarang ini bukan menggunakan soko guru layaknya Masjid Agung Demak, menunjukkan ketidakmampuan ahli bangunan Belanda pada masa itu mencerna aplikasi sistem konstruksi brunjung empyak pada bangunan tajuk tradisional. Penggunaan sistem tektonik ini mengarah kepada struktur bangunan yang rigid. Empat sokoguru digantikan dengan pilar pilar bata penopang rangkaian pilar dan balok kayu di atasnya. Pada rangkaian bangunan ini juga dikenal sistem dhingklik yang menopang pilar pilar balok kayu yang lebih kecil di atasnya dan bntuk bangunan itu dan seterusnya. Dari tahun pendirian Masjid Agung Semarang ini, menjadikan Masjid Kauman Semarang sebagai masjid pertama di Jawa yang bercitra tradisional, namun menggunakan konstruksi modern. Karya demikian dikenal dengan sebutan arsitektur masjid modern tradisionalistik. Masjid Agung Semarang memiliki ciri arsitektur Jawa yang khas, dengan bentuk atapmnya menyiratkan bangunan gaya Majapahit. Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil, sedangkan tajug tertinggi berbentuk limasan. Semua tajug ditopang dengan balok-balok kayu berstruktur modern. Yang membedakan lagi, bangunan utama Masjid Demak disangga empat soko guru, sedang atap Masjid Agung Semarang ditopang 36 soko (pilar) yang kokoh. Bentuk atap limasan yang diberi hiasan mustaka, sementara pintunya berbentuk rangkaian daun waru, melambangkan arsitektur Persia atau Arab. Di ruangan masjid, terdapat mihrab yang terlihat runcing dengan langit-langit dari beton, terdapat mimbar imam yang terbuat dari kayu jati dilengkapi ornamen ukir yang indah. Konon pada zaman dahulu mimbar ini dibuat sepasang, salah satunya untuk tempat sholat bupati Semarang.Pada bagian utama masjid, yaitu ruang salat, hanya diperbolehkan bagi muslim laki-laki. Di pojok terdapat pula jam bandul kuno yang masih digunakan. Untuk mencapai ruang salat utama, jamaah melewati beberapa pintu di sisi kanan dan kiri (bagi perempuan). Barisan pintu ini pun terbuat dari kayu jati bermotif pahatan kotak-kotak sederhana. Komplek masjid dibatasi oleh pagar tembok dan pagar besi. Entrance utama berupa gerbang masuk gapura (tepatnya di JL. Alun-alun Barat) dan pada samping (tepatnya pada Jl. Kauman) terdapat pintu gapuro yang lebih kecil. Masjid aslinya sendiri kini cukup sulit untuk dilihat karena sudah tertutup oleh bangunan masjid baru dibagian depan masjid asli ditambah dengan himpitan gedung gedung disekitarnya.aslinya masjid ini beratap seng, kini sudah diganti dengan genteng beton. Sebuah menara yang cukup tinggi juga sudah menjadi pelengkap bagi Masjid Agung Semarang ini. Tampakan depan nya sudah jauh lebih modern tanpa kehilangan keaslian bangunan aslinya. Tradisi Ramadhan di Masjid Agung SemarangSelama bulan ramadhan di Masjid Agung Semarang, usai shalat dzuhur hingga menjelang ashar, selalu dipenuhi banyak orang. Mereka mendengarkan pengajian Al Qur'an yang dipimpin oleh seorang ulama yang mampu menghafal Al Qur'an di luar kepala atau dikenal dengan sebutan Al Hafiz. Sepanjang sejarah, Masjid Agung Semarang selalu ramai dikunjungi oleh umat muslim dari berbagai penjuru, terutama para musafir yang berdagang di Pasar Johar, Semarang. Selama bulan ramadhan usai sholat dzuhur, ratusan umat muslim memadati serambi masjid, guna mengikuti fadillah atau pengajian Al qur'an yang dipimpin oleh Kyai Haji Ahmad Naqib, seorang ulama Semarang, yang mampu menghafal Al Qur'an di luar kepala, atau dikenal dengan sebutan Al Hafiz. Selain hafal Al Qur'an, Al Hafiz juga mampu menafsirkan inti dari setiap kata dan ayat Al Qur'an, yang disampaikan dalam bahasa Jawa. Prosesi Pawai DugderanSejak zaman pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat, tepatnya sejak tahun 1881 yaitu dua tahun sebelum peristiwa naas terbakarnya Masjid akibat tersambar petir, di Masjid Agung Semarang telah memilai dikembangkan suatu tradisi khas untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang disebut “DUGDERAN” (ada juga yang menyebut “megengan”). Merujuk data sejarah, pengagas Dugderan adalah Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Purboningrat (1860-1887). Pertama kali diadakan tahun 1881 dan dilatarbelakangi kebiasaan masyarakat Semarang menggunakan rukyah dalam penetapan awal bulan Ramadhan. Seperti diketahui, kondisi geografis Semarang yang terbagi dalam dua bagian (Semarang atas dan Semarang bawah) sangat tepat untuk melakukan rukyah (melihat bulan sebagai tanda awal bulan Ramadhan). Agar tidak terjadi perbadaan pendapat tentang hasil rukyah, Bupati mengumpulkan Alim Ulama guna halaqoh (musyawarah) agar tercapai keputusan bersama. Kemudian keputusan Alim Ulama tentang jatuhnya awal bulan Ramadhan ini diumumkan oleh bupati kepada masyarakat yang telah berduyun-duyun dari pelosok daerah berkumpul di Masjid Agung Semarang. Berkumpulnya masyarakat juga membawa dampak ekonomi dan sosial. Dampak ekonomi tercermin dengan kehadiran para penjual yang mremo di sekitar Aloon-aloon, sedangkan dampak sosial adalah berbaurnya seluruh masyarakat dari berbagai etnis, baikpribumi (Jawa), Arab dan Cina. Perbauran ketiga etnis digambarkan secara elok berupa hewan rekaan bernama “Warak”. Hewan ini merupakan perpaduan antara kambing Jawa, unta dan naga. “Warak” berasal dari bahasa Arab “Waro’a” yang berarti menjaga diri dari perbuatan yang syubhat. Seorang yang mencapai derajat “Waro’a” akan membawa manfaat bagi agama dan lingkungannya. Derajat “waro’a” disibolkan dengan “ngendhog”, maka jadilah “Warak Ngendhog”. Perkembangan berikutnya, tradisi dugderan tidak lagi menggunakan meriam tetapi digantikan mercon besar. Bahkan lebih dari itu tradisi tadi berkembang lebih semarak dengan datangnya para pedagang yang menjajakan bermacam-macam mainan anak-anak sehingga menjadi pasar malam yang memberikan warna baru terhadap tradisi dugderan. Tradisi ini pada masa pemerintahaan Orde Baru, tepatnya dimulai pada tahun 1983, pada masa Wali kota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990), lebih disemarakkan dengan diadakannya pawai karnaval yang melibakan ribuan santri dan siswa-siswa sekolah serta segenap lapisan masyarakat dengan bermacam-macam atraksi keseniannya masing-masing. Pawai karnaval dugderan menyambut semaraknya tradisi tersebut, dimulai dari halaman Balai Kota di Jalan Pemuda dan berakhir di halaman Masjid Agung Semarang di Jalan Kauman. Namun demikian, kalau pada mulanya dugderan ditandai dengan pembunyian bedug dan meriam, kemudian meriamnya diganti dengan bom udara, maka sejak masa pemerintahan wali kota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH bom udara itu tidak lagi digunakan. Di samping karena adanya kebijakan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang melarang pembunyian bom udara dalam acara dugderan untuk menandai datangnya bulan suci Ramadhan maupun untuk tanda datangnya waktu maghrib dan imsak juga dirasa tidak efisien sekaligus mengandung risiko yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, atas kebijakan wali kota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH di halaman Masjid Agung Semarang didirikan menara sirine dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah daerah Kota Semarang. Menara sirine tadi selain berfungsi untuk tanda waktu maghrib dan imsak pada bulan Ramadhan, sekaligus digunakan untuk memasang loudspeaker (pengeras suara) yang digunakan untuk sarana mengumandangkan adzan (panggilan sholat) setiap waktu.[2] Gambar-gambar
Referensi
Pranala luar |