Share to:

 

Medievalisme baru

Medievalisme baru (atau neo-medievalisme) adalah istilah lama[1] yang mengandung makna teknis dalam dua bidang keilmuan. Dalam teori politik (hubungan internasional modern), Hedley Bull menafsirkan neo-medievalisme sebagai pandangan bahwa tatanan politik dunia global serupa dengan Eropa pada puncak abad pertengahan, ketika tidak satupun negara, agama, atau penguasa wilayah yang memegang kedaulatan penuh; semuanya berinteraksi dalam sistem multikedaulatan yang kompleks, bertindihan, dan tidak sempurna.[2] Dalam teori sastra, istilah ini bermakna penggunaan dan penyalahgunaan teks dan klise Abad Pertengahan dalam pascamodernitas; makna istilah ini dipaparkan oleh Umberto Eco dalam esai berjudul "Dreaming of the Middle Ages" (1986).[3]

Teori politik

Neomedievalisme dalam teori politik pertama kali digagas oleh teoriwan Hedley Bull dalam buku The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics (1977) untuk menjelaskan terkikisnya kedaulatan negara dalam dunia modern yang terglobalisasi:

Negara berdaulat bisa saja hilang dan digantikan bukan oleh pemerintahan dunia, melainkan pemerintahan modern dan sekuler seperti organisasi politik universal yang berdiri di dunia Kristen Barat pada Abad Pertengahan. Dalam sistem tersebut, tidak satupun penguasa atau negara memegang kedaulatan dalam artian berkuasa atas wilayah dan penduduk Kristen tertentu; masing-masing dari mereka harus berbagi kedaulatan dengan vazal-vazal di bawahnya dan dipimpin oleh Paus dan Kaisar Romawi Suci (di Jerman dan Italia). Tatanan politik universal dunia Kristen Barat merupakan alternatif bagi sistem negara yang belum menyerupai pemerintahan universal.[4]

Bull mengatakan bahwa masyarakat bisa saja beralih menuju "medievalisme baru" atau "tatanan politik universal neo-medieval", tempat terkikisnya kedaulatan bangsa oleh hak-hak individu dan paham "kemaslahatan bersama global". Ia memperkirakan bahwa sistem ini dapat "menghindari ancaman-ancaman yang menjadi ciri khas sistem negara berdaulat melalui struktur dan aliansi tumpang-tindih yang menyatukan semua bangsa dalam masyarakat universal sekaligus menghindari pemusatan kekuasaan dalam pemerintahan dunia", tetapi "apabila wujudnya sama seperti Kristen Barat, sistem ini akan menghasilkan kekerasan dan kekacauan berkelanjutan dalam jumlah besar daripada sistem negara yang ada saat ini".[5]

Menurutnya, globalisasi menghasilkan sistem internasional yang menyerupai sistem abad pertengahan, ketika kewenangan politik dijalankan oleh berbagai pihak yang saling bertindihan seperti lembaga agama, kepangeranan, imperium, dan negara-kota, bukan penguasa politik tunggal berbentuk negara yang memegang kedaulatan penuh atas wilayahnya. Proses lain yang mencerminkan "medievalisme baru" adalah bertambahnya kekuasaan organisasi-organisasi regional seperti Uni Eropa serta maraknya devolusi atau otonomi pemerintahan subnasional seperti Skotlandia dan Katalunya. Proses-proses ini mengancam kewenangan eksklusif yang dimiliki negara. Perusahaan militer swasta, perusahaan multinasional, dan kebangkitan aliran agama global (misalnya Islamisme) menunjukkan bahwa peran negara semakin menyusut dan kekuasaan sekaligus kewenangan semakin tidak terpusat (desentralisasi).

Pada tahun 1998, Stephen J. Kobrin menambahkan ekonomi dunia digital ke dalam konsep neomedievalisme. Dalam artikel berjudul "Back to the Future: Neomedievalism and the Postmodern Digital World Economy" di Journal of International Affairs,[2] ia berpendapat bahwa negara berdaulat pada umumnya – ditandai oleh perbatasan wilayah tertentu – akan berubah drastis atau bahkan lenyap. Salah satu penyebabnya adalah ekonomi dunia digital yang tercipta berkat Internet. Ia menulis bahwa ruang siber adalah ranah transwilayah yang berada di luar wilayah hukum (yurisdiksi) negara.

Anthony Clark Arend juga menulis dalam buku berjudul Legal Rules and International Society (1999) bahwa sistem internasional sedang bergerak ke arah sistem "neo-medieval". Ia mengklaim bahwa proses yang disorot Bull tahun 1977 semakin nyata pada akhir abad ke-20. Arend berpendapat bahwa munculnya sistem "neo-medieval" akan berdampak besar bagi perumusan dan pelaksanaan hukum internasional.

Meski Bull awalnya membayangkan neomedievalisme sebagai proses yang positif, konsep ini juga menuai kritik. Dalam Neomedievalism, Neoconservatism, and the War on Terror, Bruce Holsinger menulis bahwa kaum neokonservatif "memanfaatkan keluwesan konsep neomedievalisme untuk keuntungan taktisnya sendiri."[6] Dalam "Neomedievalism, Civil War and the New Security Dilemma" (1998), Philip G. Cerny juga memandang neomedievalisme sebagai proses negatif dan mengklaim bahwa desakan globalisasi pelan-pelan melemahkan negara-bangsa dan tata kelola antarnegara "dengan mengabaikan keterkaitan antara sektor ekonomi dan ikatan sosial".[7] Ia menyebut globalisasi sebagai "gangguan tak terhentikan" yang akan menciptakan dilema keamanan baru seperti pada Abad Pertengahan. Cerny mengidentifikasi enam ciri-ciri dunia neomedieval yang memicu "gangguan" ini: banyak lembaga yang bersaing; tidak ada tekanan penguasaan wilayah dari luar di tingkat subnasional dan internasional; ketidaksetaraan konsolidasi ruang, celah, konflik, dan kesenjangan baru; pencabutan hak-hak properti; dan persebaran pasar gelap "zona abu-abu" di luar hukum.

Kajian abad pertengahan

Makna neo-medievalisme yang dipaparkan Umberto Eco pertama kali digunakan dalam "The Hedgehog and the Fox" karya Isaiah Berlin tahun 1953:

Tidak ada keterkaitan antara dia [Joseph de Maistre] dan mereka yang benar-benar yakin bahwa masa lalu mungkin akan terwujud kembali – kalangan neo-medievalis mulai dari Wackenroder dan Görres dan Cobbett sampai G. K. Chesterton, dan kaum Slavofil dan Distributis dan Pra-Raffaellit dan orang-orang romantis nostalgis lainnya; karena dia meyakini sebaliknya seperti Tolstoy: yakin dengan kekuatan masa kini yang "tak terbendung": yakin dengan ketidakmampuan kita untuk merombak semua kondisi yang menentukan kategori dasar kita, sebuah tatanan yang tidak akan pernah bisa kita jabarkan atau ketahui kecuali dengan menyadarinya secara langsung.[8]

Pada tahun 1986, Umberto Eco mengatakan bahwa "saat ini kita melihat bangkitnya ketertarikan terhadap Abad Pertengahan di Eropa dan Amerika disertai pergeseran antara neomedievalisme fantasi dan pendalaman filologi secara ilmiah".[3] Belakangan ini, konsep ini diangkat oleh berbagai kalangan seperti sejarawan abad pertengahan yang memandang neomedievalisme sebagai percampuran fantasi populer dengan sejarah abad pertengahan[9] sekaligus istilah yang menjelaskan kajian pascamodern terhadap sejarah abad pertengahan.[10]

Gelombang ketertarikan masyarakat terhadap tema-tema abad pertengahan dalam budaya populer, khususnya permainan komputer seperti MMORPG, film dan televisi, musik neo-medieval, dan sastra populer, disebut gelombang neomedieval. Kritikus menyoroti penyebab abad pertengahan menjadi daya tarik bagi masyarakat modern yang semakin canggih. Salah satu penyebab yang dikemukakan adalah kebutuhan romantisasi narasi sejarah untuk menjelaskan berbagai peristiwa politik dan budaya modern yang membingungkan.[11]

Para akademisi terus mendalami dan mengembangkan neomedievalisme. Di antara karya-karya mereka adalah makalah Carol L. Robinson dan Pamela Clements tahun 2009 berjudul “Living with Neomedievalism” di jurnal Studies in Medievalism,[12] antologi Robinson dan Clements berjudul The Medieval in Motion: Neomedievalism in Film, Television and Electronic Games, kumpulan makalah MEMS (Medieval Electronic Multimedia Organization),[13] jurnal ilmiah Studies in Medievalism: Defining Neomedievalism(s),[14] diskusi panel bertajuk “Neomedievalist Communities” and “Gaming Neomedievally” di Kongres Kajian Abad Pertengahan Internasional 2009 di Kalamazoo, Michigan, dan topik "Neomedievalisms" dalam Konferensi Medievalisme Internasional ke-22 tahun 2007.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ "neo-medieval", s.v. "neo-, comb. form." OED Online. Oxford University Press, June 2017. Web. 27 August 2017.
  2. ^ a b Stephen J. Kobrin. "Back to the Future: Neomedievalism and the Postmodern Digital World Economy".
  3. ^ a b Umberto Eco, "Dreaming of the Middle Ages," in Travels in Hyperreality, transl. by W. Weaver, NY: Harcourt Brace, 1986, pp. 61–72.
  4. ^ Hedley Bull, The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, 3rd edn (Basingstoke: Palgrave, 2002), pp. 245–46 [first publ. London: Macmillan, 1977].
  5. ^ Hedley Bull, The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics, 3rd edn (Basingstoke: Palgrave, 2002), p. 246 [first publ. London: Macmillan, 1977].
  6. ^ "Neomedievalism, Neoconservatism, and the War on Terror". University of Chicago Press Books. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-02. Diakses tanggal 2017-12-05. While international-relations theorists promote neomedievalism as a model for understanding emergent modes of global sovereignty, neoconservatives exploit its conceptual slipperiness for their own tactical ends. 
  7. ^ Cerny, Philip G. (1998). "Neomedievalism, civil war and the new security dilemma: Globalisation as durable disorder". Civil Wars. 1 (1): 42. doi:10.1080/13698249808402366. 
  8. ^ Isaiah Berlin, The Hedgehog and the Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History (London: Weidenfeld & Nicolson, 1953), p.76.
  9. ^ David Ketterer (2004). "Chapter 18: Fantasic Neomedievalism" by Kim Selling, in Flashes of the Fantastic.
  10. ^ Cary John Lenehan. "Postmodern Medievalism", University of Tasmania, November 1994.
  11. ^ Eddo Stern. "A Touch of Medieval: Narrative, Magic and Computer Technology in Massively Multiplayer Computer Role-Playing Games". Tampre University Press 2002. Diakses tanggal 2006-12-17. 
  12. ^ Carol L. Robinson and Pamela Clements, “Living with Neomedievalism,” Studies in Medievalism 18 (2009): 55–75
  13. ^ The Medieval in Motion: Neomedievalism in Film, Television and Electronic Games Diarsipkan 2015-08-14 di Wayback Machine. at MEMS.
  14. ^ Karl Fugelso (ed.), Studies in Medievalism: Defining Neomedievalism(s), D. S. Brewer, Cambridge, 2010. ISBN 9781843842286

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya